Menghina Presiden RI sama dengan Menghina NKRI

Bagikan artikel ini

Herdiansyah Rahman, peneliti di Galesong Institute dan LSISI, Jakarta

Pimpinan Komite Peralihan Aceh wilayah Pase, Tgk Zulkarnaini Bin Hamzah, mengaku bosan menunggu langkah Pemerintah Pusat dalam menuntaskan isi butir kesepakatan damai Helsinki. Tengku Ni–sapaan Zulkarnaini–mengatakan terlalu banyak harapan yang disampaikan pusat.

“Kita memang dalam bingkai NKRI. Namun pusat harus komit dengan perjanjian yang tertuang dalam butir-butir MoU. Di sini kita kendalikan (kombatan) dari bawah hingga sampai ke atas untuk NKRI. Dengan harapan pusat memberikan hak-hak orang Aceh,” kata Tengku Ni di sela-sela memperingati Maulid Nabi Muhammad saw di kantor DPW PA Geudong, Aceh Utara, Kamis (7/4/2016).

Dia juga mengingatkan pemerintah bahwa tak mudah mengendalikan keamanan di Aceh. Di pihak Gerakan Aceh Merdeka, mereka telah menghancurkan semua senjata demi rakyat Aceh. Penolakan terhadap butir-butir perdamaian dan turunan Undang-Undang Pemerintah Aceh dinilainya sebagai suruhan untuk kembali mengangkat senjata.

Dalam pidatonya, Tengku Ni menegaskan pemerintah pusat membohongi Aceh dari sisi politik dan ekonomi. Bahkan Aceh, kata dia, tidak memiliki kebebasan dalam membentuk qanun. Dia juga mengkritik sikap pemerintah pusat yang tidak memberikan bantuan kepada anak yatim piatu korban konflik.  Tengku Ni juga mengaku siap mengajak para anak tersebut, jika diperlukan, untuk melawan Pemerintah Indonesia.

Banyak media online di Aceh juga mengabarkan bahwa Tengku Ni melakukan pelecehan terhadap Presiden Jokowi yang dilakukan Tengku Ni terjadi saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan Partai Aceh di Kantor DPW Partai Aceh, Geudong, Aceh Utara, Kamis (7/4/2016). Di mana saat itu Tgk Ni menyatakan secara terbuka presiden kurus kering dan cacian dan dalam bahasa Aceh.

Tidak Didukung

Pernyataan Ketua KPA Wilayah Pase, Tgk Zurkarnaini Hamzah alias Tgk Ni saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan Partai Aceh di Kantor DPW Partai Aceh, Geudong, Aceh Utara, Kamis (7/4/2016) yang dianggap telah menghina menghina Presiden Jokowi tidak didukung elemen masyarakat Aceh bahkan meraih kecaman.

Menurut Ketua Acheh Legal Consult Langsa, Muslim Agani, SH, ucapan Tgk Zulkarnaini Hamzah alias Tgk.Ni mengingatkannya pada waktu kuliah dulu tentang bagaimana memahami karakter masyarakat dalam berbicara sehari-hari menurut daerah masing-masing. “Kalau ucapan Tengku Ni seperti itu tentu masuk dalam kategori pencemaran nama baik kepala negara, dipastikan tidak boleh,” ujar Muslim.

Tapi kata dia, jika melihat kultur masyarakat Aceh, ada tempat-tempat tertentu bahasa seperti itu merupakan bahasa sehari-hari dipakai, semisal daerah pesisir, ucapan seperti itu kerap terdengar dan itu biasa. Hal ini karena mereka tidak mendapat pengetahuan bagaimana berbahasa yang lebih santun apalagi terhadap seorang kepala negara.

“Semua itu disebabkan SDM yang kurang, dan terkait dengan Bendera Aceh kalau kita mau jujur dan menjadikan bendera sebagai simbol daerah seharusnya ikuti aturan yang telah ada,” terang Muslim. Tanggapan yang sama disampaikan Direktur LBH Bening Sukri Asma. Kata dia, pemerintah telah memberi peluang buat orang-orang yang bermental bobrok untuk berbuat seperti itu.

Mestinya hukum harus ditegakkan tanpa kecuali, semua tahu banyak hal. Bila yang berbuat adalah kelompok penguasa, seakan hukum mandul menghadapinya, soal bendera pemerintah mestinya tegas. Karena hanya ada satu bendera dalam satu negara, merah putih dalam NKRI.

Sementara itu kata Sukri, bagi yang coba mengancam kedaulatan negara ini harus ditumpas. Untuk itu sebaiknya polri menindak tegas orang yang telah menghina Presiden Joko Widodo.

Sementara itu, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Aceh mendesak Kepala Kepolisian Daerah Aceh menangkap Tengku Zulkarnaini Hamzah alias Tengku Ni. Tokoh partai yang juga merupakan Ketua KPA Wilayah Pase itu dinilai menghina simbol negara, Presiden. “Kami mengecam pernyataan tersebut karena melambangkan sikap orang Aceh. Rakyat Aceh harusnya mengedepankan sikap santun dan ramah tamah,” kata Ketua GMNI Aramiko Aritonang, Rabu (13/4/2016).

GMNI Aceh juga mendesak Kepala Polri, Panglima TNI dan DPR RI segera bertindak. Termasuk menangkap Tgk Ni karena mendorong masyarakat untuk melawan pemerintah dengan senjata. Ini, kaa Aramiko, adalah tindakan makar. Seruan ini disampaikan Tgk Ni karena kecewa atas tindakan Pemerintah Pusat yang urung mengesahkan Bendera Bulan Bintang sebagai bendera resmi Aceh.

Aramiko juga menyayangkan kata-kata Tgk Ni yang menyebut Bangsa Aceh masih dijajah Jawa dan Indonesia serta ditipu, baik dari segi politik, ekonomi, dan tidak diberikan kebebasan dalam membuat qanun oleh pemerintah pusat.

Pernyataan ini, kata Aramiko, memperkeruh suasana damai. Pernyataan ini, kata Aramiko, sangat berbeda dengan realitas di lapangan. Aramiko juga menunjuk gaya hidup sebagian bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka yang hedonis dan hidup berkecukupan, terutama mereka yang dekat dengan sumbu kekuasaan (http://www.ajnn.net/news/gmni-aceh-kepolisian-harus-tangkap-tengku-ni/index.html)

Menurut penulis apa yang disampaikan Muslim Agani, SH dan Aramiko Aritonang segera direspons oleh Polri melalui Polda Aceh, karena membiarkan kasus ini berlalu tanpa melalui meja hijau akan menjadi pembelajaran tidak baik bagi rakyat Aceh. Jika kasus ini diabaikan, setidaknya akan memberikan implikasi negatif antara lain : pertama, akan muncul image buruk terhadap kinerja Polda Aceh yang kurang respons terkait dugaan pelanggaran hukum terutama yang dilakukan petinggi mantan kombatan GAM, padahal seharusnya Polri menjadi garda terdepan melaksanakan prinsip equality before the law.

Kedua, menghina Presiden Republik Indonesia jelas merupakan penghinaan terhadap NKRI atau seluruh rakyat Indonesia, sehingga membiarkan kasus ini akan melegitimasi kasus-kasus serupa terjadi kembali di Aceh dan wilayah lainnya.

Ketiga, ekses tidak langsungnya adalah mereka-mereka yang sedang dengan dengan sumbu kekuasaan di Aceh dan mantan kombatan GAM akan semakin berani melakukan pelanggaran hukum. Jika ini berlanjut, maka intervensi dan intimidasi diestimasikan juga akan terjadi di Aceh pada Pilkada 2017 mendatang seperti pelaksanaan Pilkada-Pilkada sebelumnya di Aceh.

Elemen demokrasi dan civil society lainnya didorong oleh penulis juga untuk berani bersikap seperti yang ditunjukkan Ketua Acheh Legal Consult Langsa dan Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Aceh, karena mengamankan dan menjaga demokratisasi yang sudah semakin membaik di Aceh dari praktik-praktik hate-speech terutama terhadap NKRI dan simbol-simbol negara adalah kewajiban bersama seluruh stakeholders di  Aceh. Kasus ini juga menjadi pembelajaran penting bagi rakyat Aceh agar dalam Pilkada 2017 tidak memilih calon kepala daerah yang emosional, tidak memahami permasalahan secara komprehensif dalam konteks Aceh dan nasional dan sering menebarkan hate-speech.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com