Chandra Tri Himawan, Pemerhati masalah Politik, pewarta masyarakat dan aktif pada Kajian Demokrasi untuk Kesejahteraan Rakyat
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang telah berjalan sejak 2005 oleh sebagian fraksi di DPR RI akan diganti ke mekanisme perwakilan melalui DPRD. Hal ini disebabkan karena mayoritas anggota DPR, yang awalnya setuju pilkada langsung, kini berubah sikap. Fraksi Golkar, PPP, PAN, Gerindra, dan Demokrat (65 persen suara di DPR) mendukung pilkada melalui DPRD atau pilkada tidak langsung yang dituangkan dalam RUU Pilkada.
Para anggota DPR tersebut berdalih bahwa pilkada langsung berbiaya politik mahal, membudayakan politik uang, menimbulkan konflik horizontal dan memakan korban, serta tidak menciptakan pemerintahan yang bersih, bahkan banyak kepada daerah terjerat kasus korupsi.
Undang-undang yang melatar belakangi lahirnya mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung atau tidak langsung yaitu Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Pemaknaan kata demokratis tersebut tentu berbeda-beda.
Menyikapi hal tersebut Pakar Hukum Tata Negara dan Pemilu Refly Harun di Hotel Sahid, Jakarta, meminta kepada Presiden SBY untuk menolak rancangan pilkada tersebut. Menurutnya, jika pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD maka kedaulatan rakyat otomatis dirampas dan menjadi mandul. Oleh karena itu, Presiden SBY harus bersikap tegas dalam menyikapi RUU Pilkada. Kamis (11/9).
Untuk dapat memahami lebih dalam manakah yang terbaik atas mekanisme pilkada (langsung atau tidak langsung) harus di cermati dari sisi kelebihan dan kekurangan atas setiap proses yang akan dijalankan. Setidaknya terdapat 3 kelemahan jika pilkada dilakukan secara langsung, yaitu :
- Melakukan Pemilihan Umun secara langsung bagi calon kepala daerah tanpa disadari menyisakan 3 masalah besar. Permasalahan yang pertama adalah jika Pemilihan kepala daerah ini diselenggarakan secara langsung maka dibutuhkan anggaran yang teramat besar untuk setiap kali penyelenggaraan. Ini berarti jika di Indonesia terdapat 33 Provinsi akan ada 33 kali pemlihan Gubernur dalam setahun belum lagi jumlah kota dan kabupaten di Indonesia yang lebih dari 200 kota/kabupaten. Bisa jadi dalam setahun Indonesa melakukan pemilihan Kepala daerah setiap hari. Bisa dibayangkan berapa uang rakyat anggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah hanya untuk pilkada.
- Banyaknya tindakan anarkisme yang dilakukan pendukung calon yang kalah dalam pemilihan. Para Pendukung ini merasa bahwa PILKADA yang terselenggara tidak berlandaskan atas asas LUBER JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil) sehingga calon yang mereka usung kalah yang akhirnya para pendukung ini tidak terima dan melakukan tindakan anarkisme dengan menyerang pendukung calon yang menang ataupun calon lain yang menurut mereka melakukan penyimpangan.Timbulnya polemik dalam masyarakat justru akan mengakibatkan dampak yang lebih besar hal ini dikarenakan masing-masing pihak saling mengunggulkan dan mempertahankan pasangan masing-masing guna untuk bisa memenangkan pemilihan tersebut dengan segala cara.
- Pemilihan secara langsung berpotensi menimbulkan money politik. Kegiatan money politik dapat melemahkan mental bangsa. Suara-suara yang dapat dibeli tersebut mengindikasikan ketidak jujuran dan malah melemahkan pemerintahan. Karena pasangan calon yang membeli suara saat pemilihan akan berusaha sekeras mungkin akan mengembalikan uang yang mereka keluarkan dengan berbagai cara. Karena uang tersebut kemungkinan pinjaman dari partai yang mengusung mereka. Inilah yang menyebabkan korupsi terhadap anggaran APBD.
Sedangkan kelemahan pilkada tidak langsung (melalui DPR) adalah
- Apabila pilkada melalui DPRD mengingkari semangat dan jiwa demokratisasi di Indonesia. Sebuah langkah mundur jika DPR menarik kembali hak rakyat memilih pemimpin daerah. Mekanisme pilkada melalui DPRD akan menyingkirkan kedaulatan rakyat dalam menentukan dan memilih pemimpin daerah. Bisa dipastikan bahwa pemilihan dengan sistem perwakilan sering kali mengingkari pemikiran, kedaulatan rakyat, dan proses demokrasi. Upaya menjadikan pilkada melalui DPRD potensial merusak sistem demokrasi dan perjuangan reformasi hanya dengan pertimbangan pragmatis dalam penyusunan UU Pilkada
- Apabila pilkada dikembalikan ke DPRD, peluang transaksi politik uangnya semakin besar. Mahar politik kepada parpol untuk menjadi kandidat juga makin mahal. Begitu pula DPRD yang diberi wewenang memilih bupati dan wali kota, tentu akan mematok harga.
- Selain itu, apabila pilkada dilakukan melalui DPRD, dikhawatirkan, bukan pemimpin daerah berkualitas yang terpilih, melainkan “raja-raja” kecil yang mengeruk kekayaan daerah untuk kepentingan pribadi dan golongan. Pilkada oleh DPRD akan menutup ruang partisipasi warga dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di daerah.
- Seperti membeli “kucing dalam karung”. Masyarakat tidak mampu mengetahui secara mendalam apakah kepala daerah benar-benar mampu mewujudkan harapan mereka di atas permasalahan yang terjadi.
Terkait hal tersebut, apapun keputusannya kiranya rakyat hanya berharap akan terlahir pemimpin-pemimpin masa depan yang benar-benar memperhatikan rakyat, berjuang mewujudkan kemandirian daerah, mampu memperluas lapangan pekerjaan, mencerdaskan kehidupan bangsa hingga rakyat memperoleh kesejahteraan adil makmur. Untuk itu diperlukan kajian yang mendalam secara jernih dan jujur serta tdak berlandaskan emosi serta kepentingan-kepentingan poltik sesaat yang dapat menciderai demokrasi dan kepentingan sesungguhnya yaitu mensejahterahkan rakyat.