Republik Rakyat Cina sedang memperingati salah seorang tokoh penting yang berperan besar pada pembangunan negara itu: Deng Xiaoping.
Yang diperingati bukan sekadar tanggal kelahirannya, 22 Agustus, yang baru beberapa hari lalu. Tapi, dan terutama, adalah warisan pemikirannya dalam pembangunan Cina.
Salah satu pikiran Deng yang populer adalah “sosialisme dengan karakter Cina”. Prinsip ini kemudian dikembangkan dengan sangat serius oleh Presiden Xi Jinping sejak ia terpilih sebagai Sekjen Partai Komunis Cina (PKC) dalam Kongres Nasional Ke-18 PKC tahun 2012, dan dijadikan doktrin emas dalam Kongres Nasional Ke-19 PKC tahun 2017.
Awalnya “sosialisme dengan karakter Cina” merupakan semacam jalan tengah yang diambil Deng Xiaoping untuk menghindarkan Cina dari praktik ekonomi Marxis klasik dan ekonomi terencana yang terpusat ala Uni Soviet yang kaku dan menghilangkan hak individu, tak nyambung dengan akar budaya dan peradaban negeri bambu.
Sebaliknya, Deng mendorong agar individu memiliki peran dan terlibat dalam sektor ekonomi.
Keengganan Deng Xiaoping terjebak pada Marxis klasik ini juga tercermin pada sikapnya yang tidak mendukung Revolusi Kebudayaan yang berlangsung selama satu dekade dari pertengahan 1960an hingga 1970-an.
Sebagai akibat dari sikap negatifnya itu, Deng beserta sejumlah politisi senior lainnya sempat disingkirkan.
Nama Deng direhabilitasi Perdana Menteri Zhou Enlai di tahun 1973. Setahun kemudian Deng Xiaoping diangkat Zhou menjadi Wakil Perdana Menteri Pertama dan bertugas mengendalikan jalannya pemerintahan sehari-hari. Lalu di tahun 1975 ia terpilih sebagai salah seorang Wakil Ketua Komite Pusat PKC.
Di bulan Februari 1976, Zhou Enlai meninggal dunia dan digantikan Hua Guofeng. Bulan September di tahun yang sama, Mao Zedong meninggal dunia dan Hua Guofeng juga yang menggantikannya sebagai Ketua PKC.
Dengan dua jabatan itu, Hua menjadi penguasa baru di Cina dan perlahan menyingkirkan pendukung fanatik Mao termasuk Kelompok Empat yang mensponsori Revolusi Kebudayaan.
Untuk membantunya melakukan pembersihan politik, pada Juli 1977 Hua menyerahkan sejumlah jabatan penting kepada Deng Xiaoping, yakni Wakil Ketua Komite Pusat PKC, Wakil Ketua Komisi Militer, dan Kepala Staf Umum Tentara Pembebasan Rakyat.
Dengan kekuasaan yang sedemikian besar, pada akhirnya Deng pun mengambil alih kekuasaan dari tangan Hua. Kelihatannya Hua tak keberatan atau setidaknya tidak memberikan perlawanan.
Ketika menjadi penguasa de facto, Deng Xiaoping menempati posisi sebagai Ketua Konferensi Konsultasi Politik Rakyat Cina(1978-1983) dan Ketua Komisi Pusat Militer RRC (1983-1990).
Sementara posisi resminya di partai adalah Wakil Ketua (1977-1982), juga Ketua Komisi Militer Pusat PKC (1981-1989), dan Ketua Komisi Penasihat Pusat (1982-1987).
Walau tak pernah menduduki posisi Ketua PKC maupun Perdana Menteri, tetapi Deng Xiaoping diakui sebagai pemimpin tertinggi Cina pada masa-masa yang amat krusial dan memiliki peran yang besar dalam pembangunan Cina.
Selain “sosialisme dengan karakteristik Cina”, Deng Xiaoping sering disebut sebagai penutur ungkapan “tidak penting putih atau hitam, selama bisa menangkap tikus, itu adalah kucing yang baik” dan ungkapan “mencari kebenaran di antara fakta-fakta”.
Sedikit catatan menyebutkan bahwa kedua ungkapan itu sudah dikenal masyarakat sebelum Deng mempopulerkannya dengan makna baru dan lebih praktikal. Ungkapan tentang “kucing hitam dan kucing putih” konon adalah pribahasa klasik dari Provinsi Sichuan di baratdaya Cina.
Sementara “mencari kebenaran di antara fakta-fakta” merupakan kutipan dari pernyataan Mao Zedong pada 1936 untuk mendorong kader PKC agar terus belajar sehingga PKC tumbuh menjadi partai yang kuat dan dapat diandalkan dalam pembangunan Cina.
Istilah itu diperkenalkan secara luas oleh Deng Xiaoping dan diartikan sebagai upaya mencari solusi ekonomi dan politik yang dapat bernilai praktis dan diandalkan serta tidak terjebak pada ideologi politik yang kaku.
Deng Xiaoping yang lahir di Sichuan, 22 Agustus 1904 meninggal dunia di Beijing, 19 Februari 1997. Sampai akhir hayat dia tak kenal lelah memberikan kontribusi bagi kemajuan Cina.
*
Harian berbahasa Inggris, China Daily, edisi 24-25 Agustus 2024 memuat dua tulisan mengenai Deng Xiaoping. Koran ini saya dapatkan dari pramugari saat memasuki Boeing 737-800 yang dioperasikan Hainan Airlines dari Xiamen menuju Chongqing.
Artikel pertama di pojok kanan atas halaman 3 yang judulnya, bila diindonesiakan, “Pejabat Menggugah Pelajari Teory Deng Xiaoping”. Artikel ini diangkat dari seminar selama tiga hari yang digelar Partai Komunis Cina (PKC) di Beijing pekan lalu untuk memperingati 120 tahun kelahiran Deng Xiaoping.
Anggota Komite Tetap Biro Politik Komite Pusat PKC Cai Qi meminta akademisi China untuk mempelajari dan mempraktikkan teori Deng Xiaoping serta memperkuat keyakinan pada sosialisme dengan karakter Cina.
Artikel kedua berupa komentar atau opini berjudul “Warisan Deng Diperingati” yang ditulis Zhou Yuehui dan Hu Cuanxhu.
Zhou adalah profesor bidang ekonomi di Sekolah Partai yang dikelola Komite Pusat PKC. Sementara Hu merupakan mahasiswa pascasarjana di sekolah itu. Redaksi China Daily memberikan catatan bahwa artikel yang ditulis Zhou dan Hu itu tidak mewakili sikap media.
Seperti artikel kecil di halaman 3, opini yang ditulis Zhou dan Hu di halaman 4 pun mengapresiasi peranan sosialisme berkarakter Cina yang dikembangkan Deng Xiaoping sebagai jawaban atas kelemahan sistem ekonomi terencana yang dianut sejak RRC berdiri 1949.
“Sejak reformasi dan keterbukaan diluncurkan pada 1978, perekonomian Cina yang berkembang pesat telah meningkatkan mata pencaharian dan standar hidup masyarakat,” tulis mereka.
Namun bukan berarti Cina kini tak menghadapi tantangan sama sekali.
Untuk menghadapi berbagai tantangan itu, tulis mereka, PKC berpegang teguh pada empat keyakinan, yakni keyakinan terhadap jalan, teori, sistem dan budaya sosialime dengan karakteristik Cina. Serta, menjauhi stereotip dan sikap dogmatis.
Lentur dan pragmatis seperti bambu yang walaupin ditiup angin kencang namun tidak patah dan tetap tumbuh ke atas dan semakin rimbun. Kira-kira begitu.
Teguh Santosa, wartawan senior dan staf pengajar program studi Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.