Toni Ervianto, alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia
Perjanjian MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 telah memberikan berkah tersendiri bagi rakyat Aceh, karena MoU tersebut menjadi “solusi akhir” untuk menyelesaikan konflik bersenjata yang lama tidak terselesaikan di Aceh. Oleh karena itu, adalah wajar jika kemudian MoU Helsinki dipandang sebagai berkah dan masyarakat Aceh mulai menata masa depannya sejak saat itu.
Namun, setelah 7 tahun penandatanganan MoU Helsinki tersebut ternyata “benih-benih separatisme” masih belum terhapus sama sekali di Aceh, bahkan “semangat perlawanan” terhadap pemerintah pusat juga masih cukup kental. Walaupun sejak MoU Helsinki tersebut, pihak-pihak yang selama ini melawan pemerintah pusat seperti mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebenarnya sudah cukup terakomodir kepentingan politiknya dan masyarakat Aceh “mengikuti” kehendak politik mereka dengan memilih Partai Aceh sebagai pemenang Pilkada 2007 dan Pemilu 2009 dengan mendominasi DPR Aceh serta pada Pilkada 2007 telah memilih Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Aceh yang waktu itu dinilai juga cukup mengakomodasi kepentingan eks kombatan GAM.
Meskipun dalam perkembangannya justru antara mantan kombatan GAM dengan Irwandi Yusuf ataupun Muhammad Nazar semakin keruh hubungan silaturahmi dan hubungan politisnya, sehingga sebagai “ganjaran” terhadap Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, akhirnya mereka kalah dalam Pemilukada Gubernur-Wakil Gubernur Aceh pada 2012 karena masyarakat Aceh akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Gubernur-Wakil Gubernur yang dinilai dapat mewakili aspirasi rakyat Aceh pada umumnya dan mantan kombatan GAM pada khususnya yaitu Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Seperti kita ketahui, Zaini Abdullah adalah mantan Menteri Kesehatan GAM di era Hasan Tiro dan Muzakir Manaf adalah Panglima TNA GAM di era Hasan Tiro.
Perkembangan Terakhir
Kemenangan Partai Aceh dalam Pemilukada 2007 yang dilanjutkan dengan kemenangan hampir mutlak di Pemilukada 2012 di beberapa Kabupaten/Kota di Aceh ternyata diikuti dengan munculnya sikap arogan beberapa mantan anggota GAM, hal ini dengan indikasi terjadinya konflik ataupun bentrokan antara masyarakat dengan eks GAM karena masyarakat sudah muak dengan arogansi mantan GAM tersebut. Diantara beberapa konflik dan bentrokan tersebut terjadi dengan cara saling membakar rumah, mobil ataupun menembak diantara sesama mereka.
Tidak hanya itu saja, beberapa informasi yang diterima oleh Redaksi menyebutkan bahwa mantan kombatan GAM terutama yang merasa “belum diuntungkan” dengan penandatanganan MoU Helsinki juga konon kabarnya masih terlibat dalam praktik-praktik kriminal seperti perampokan, pencurian, debt collector, berusaha mendapatkan proyek di pemerintahan dengan jalan memaksa ataupun memungut pajak nanggroe. Bahkan, menjelang Milad GAM tahun ini dikabarkan juga banyak terjadi pemungutan pajak nanggroe, yang konon hasilnya juga akan dibagikan kepada anak-anak mantan kombatan GAM yang tewas, korban konflik dan janda-janda mereka.
Menjelang Milad GAM pada 4 Desember 2012 ini, indikasi masih adanya “semangat separatisme” juga antara lain ditunjukkan dengan masih berkibarnya bendera GAM di sejumlah wilayah di Aceh seperti di Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat yang ditemukan di depan Kantor PLTD, Kecamatan Samatiga masih di kabupaten yang sama, di sekitar Gunung Alue Krit yang terletak di jalan raya yang menghubungkan Meulaboh-Medan tepatnya di daerah Tapaktuan – Blang Pidie, Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan, di daerah perbatasan jalan protokol Takengon-Bireuen, Simpang 4 Kecamatan Bebesan, Kabupaten Aceh Tengah, kemudian juga ditemukan bendera GAM di Desa Lukup Badak, Kecamatan Pegasing, masih di Kabupaten Aceh Tengah, serta sejumlah daerah lainnya di kawasan Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Pidie, Kota Lhokseumawe ataupun Kabupaten Aceh Utara (daerah Bayu dan Simpang Keuramat).
Menghadapi peringatan atau Milad GAM juga diadakan sejumlah rapat internal di kalangan Komisi Peralihan Aceh (KPA) di beberapa daerah antara lain yang memutuskan lokasi pelaksanaan Milad GAM dan agenda Milad GAM. Untuk wilayah Kabupaten Aceh Utara, kemungkinan Milad GAM akan dilaksanakan di lapangan sepakbola Bayu yang akan diikuti masyarakat dari tiga wilayah yaitu Cunda, Kandang dan Simpang Keuramat.
Menurut informasi yang diperoleh oleh Redaksi bahwa bagi anggota KPA yang ikut dalam rapat tersebut mendapat dana sebesar Rp. 500.000,- per orang untuk mendukung pelaksanaan acara Milad GAM yang akan diadakan pada tanggal 4 Desember 2012.
Sementara itu di Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar juga telah dilaksanakan rapat internal KPA dalam rangka menyambut Milad. Keputusan rapat antara lain, Milad GAM akan diawali dengan ziarah ke makam tokoh-tokoh perjuangan GAM, mengibarkan bendera Aceh serta menyanyikan lagu Bangsa Atjeh. Kemungkinan tokoh-tokoh utama mereka akan hadir dalam Milad ini antara lain, Malik Mahmud, Muzakir Manaf, Zakaria Saman dan lain-lain.
Semangat “separatisme” tampaknya tidak terjadi di tataran grassroots saja melainkan juga di tingkat level diatasnya, hal ini terlihat dalam pembahasan Raqan Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh. Dalam kesempatan tersebut, salah seorang pejabat legislatif di Aceh Besar mengatakan, lambang Singa Buroq ini tidak ada sedikitpun mencerminkan dalam bidang pendidikan, oleh karena itu kami berharap lambang ini ditambahkan simbol yang mencerminkan bidang pendidikan. Hal senada juga disampaikan salah seorang tokoh dari Aceh Jaya dengan mengatakan, bendera dan lambang ini merupakan harga mati dan tidak bisa dirubah lagi, sehingga perlu segera disahkan, walaupun banyak ditentang. Pendapat tersebut didukung oleh tokoh legislatif di Kabupaten Nagan Raya.
Redaksi hanya ingin menggarisbawahi bahwa adalah sesuatu yang sangat ironis jika pemimpin atau tokoh di Aceh masih mewacanakan “separatisme” padahal situasi di Aceh sekarang ini jelas-jelas sudah mengakomodir kepentingan politik mereka.
Kalau mau dianalisis secara jernih dan cerdas, sebenarnya penggunaan lambang yang diminta oleh Komisi A DPRA adalah bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan RI (UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara dan PP No. 77/2007 tentang Lambang Daerah serta MoU Helsinki point 4.2. tentang larangan penggunaan lambang dan simbol GAM setelah penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM tanggal 15 Agustus 2005. Mudah-mudahan Milad GAM nanti dapat dijadikan wadah introspeksi bagi pengurus dan simpatisan GAM agar mereka berpikir ulang dan cerdas dalam menyikapi perkembangan situasi politik yang terjadi, dan jangan sampai melakukan “blunder politik” dengan tetap mengusung semangat “separatisme” seperti pengibaran bendera, karena pada akhirnya akan dapat mencederai perdamaian itu sendiri.
Facebook Comments