“Move on” dan Pembungkaman Hak Berekspresi

Bagikan artikel ini

Pipit Apriani, Mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia, Research Associate Global Future Institute

Istilah “move on” atau dalam bahasa Indonesia berarti “bangkit” (dari kegalauan dan keterpurukan) sedang trend saat ini, khususnya di media sosial. Sebuah istilah yang bermakna positif tetapi kemudian setelah banyak digunakan dalam situasi terkini, istilah ini menjadi mungkin akan memiliki makna yang melenceng dari makna awalnya.

Pelantikan Jokowi – JK sebagai presiden RI pada 20 Oktober 2014 dan kehadiran Prabowo dalam acara tersebut ternyata tidak bisa meredam “perang kata” antara kedua belah pendukungnya. Pendukung Jokowi yang “gerah” dengan pihak pendukung Prabowo meminta pendukung Prabowo untuk berhenti mengkritik Jokowi dan kegiatan-kegiatan yang dan akan dilakukan oeh Jokowi dengan menggunakan istilah “move on” pada social media mereka.

Sebagai pegiat demokrasi, saya melihat bahwa penggunaan istilah “move on” yang awalnya positif, akan merembet ke arah pembungkaman hak berekspresi dan hak mengeluarkan pendapat. Orang tidak boleh lagi berbeda pendapat, orang tidak boleh lagi mengkritik pihak lain, khususnya kepada pejabat publik dan layanan publik. Dan karena perolehan suara antara Prabowo dan Jokowi hanya selisih tipis, maka “perseteruan” antara kedua belah pendukung akan terus berlangsung hingga 5 tahun ke depan. Karena itu saya yakin juga, istilah “move on” akan terus dikumandangkan hingga 5 tahun ke depan dan ini berbahaya bagi perjalanan demokrasi Indonesia.

Di dalam demokrasi yang sebenar-benarnya atau demokrasi substansial, partisipasi rakyat seharusnya tidak hanya pada hari pemungutan suara saja. Partisipasi rakyat ada pada semua siklus pemerintahan atau eksekutif, yudikatif dan legislatif. Untuk eksekutifdimulai dari pemilihan kepala negara, pembentukan kabinet, pengumuman program kerja, pelaksanaan program kerja, hingga pemilihan kepala negara periode selanjutnya. Demikian juga dengan dengan yudikatif dan legislatif. Salah satu bentuk partisipasi rakyat adalah dengan memberi masukan termasuk kritikan kepada pemerintah. Jadi istilah “move on” untuk menghentikan kritik kepada pemerintah, khususnya kepada Jokowi,berarti menghambat perjalanan demokrasi yang sedang kita jalani. Padahal perjalanan pemilu presiden dan legislatif Indonesia tahun 2014 ini berlangsung dengan mulus dan baik. Makna berdemokrasi bukan hanya melaksanakan pemilu, memberikan suara pada hari pemungutan suara, tetapi juga berpartisipasi dengan memberikan masukan dan kritik dan pluralisme dalam berbeda pendapat.

Ya, tapi kritik yang konstruktif. Benar, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana membuat kritik yang konstruktif. Praktek kongkritnya adalah seperti ini, KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) dan sejumlah LSM yang bergerak di bidang kepemiluanseperti Perludem, JPPR, IPC dan lain-lain memberikan masukan kepada KPU dan Bawaslu jauh-jauh hari sebelum pemilu legislatif dan pemilu presiden berlangsung. Termasuk juga ke DPR ketika masih menggodok RUU Pemilu Legislatif. Ketika UU Pemilu disahkan dan Peraturan KPU dibuat, maka KPU dan Bawaslu bekerja, kelompok LSM kepemiluan ini melihat dan memantau kerja KPU, mengevaluasi, mengoreksi dan mengkritik. Ada perbaikan kerja, kritik lagi dan begitu seterusnya. Begitu juga dalam pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan dan pasca pelaksanaan. Hari-hari ini, KPU sedang melakukan evaluasi pelaksanaan kedua pemilu tersebut. Lagi-lagi, masukan dan kritikan dari LSM diperlukan untuk perbaikan kinerja KPU mendatang.

Nah, apa yang bisa dilakukan masyarakat umum untuk berpartisipasi dalam bernegara dan berdemokrasi selain memberikan suara pada hari pemungutan suara? Lakukanlah sesuatu dengan mengkaji dan mendalami satu bidang khusus yang dekat dengan diri masing-masing. Ada banyak bidang layanan publik yang bisa dan perlu dikritisi. Kalau memang lingkungan rumah tidak bagus dan tidak nyaman, mulailah mengkritik. Mengkritik tidak harus dengan marah-marah dan bukan karena benci dengan seseorang, khususnya pejabat publik. Bisa dimulai dengan bersih-bersih lingkungan, mengajak tetangga membersihkan lingkungan, meminta RT membangun got yang lebih permanen, buangan sampah yang lebih baik dan ekologis. Kalau tidak ditanggapi, di sinilah kritik bermain sampai kebutuhan tersebut dipenuhi atau disepakati. Demokrasi adalah konsensus untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan bersama. Teruslah mengkritik dan terus belajar mengkritik yang konstruktif.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com