Partai Kurang Solid, Apa Bisa Menang di Pilkada?

Bagikan artikel ini
Wildan Nasution, Peneliti Politik khususnya Aceh. Tinggal di Batam, Kepri
Usai berpantun di acara resepsi hari Pendidikan Nasional yang diselenggarakan di Bireuen, Ruslan–sang bupati– menuai polemik. Pantun “Pelita” yang dia sampaikan mendapatkan respon keras, termasuk dari Kautsar, SHI, Ketua Fraksi Partai Aceh. Buntutnya, tadi sore, Minggu (29/5/2016) spanduk Partai Aceh yang mengusung Ruslan sebagai kandidat bupati mulai diturunkan oleh anggota KPA.
Informasi yang berhasil dikumpulkan oleh aceHtrend, Senin (30/5/2016), di Keude Jeunib terjadi insiden pemukulan. Hal ini diawali oleh Ayah Takim, Panglima sagoe daerah Jeunib yang sedang menurunkan baliho Ruslan. Namun datang Mainsya, anggota KPA yang menjadi pendukung Ruslan mencegah. Sempat terjadi adu mulut dan berakhir pada pemukulan terhadap Ayah Takiem.  “Mainsya datang melarang penurunan baliho, terjadi adu mulut dan terakhir Ayah Takiem tecrub lam abei, kena pukul,” ujar seorang sumber dari lingkar pertama. Pasca peristiwa itu, Ayah Takiem membuat laporan ke aparat kepolisian. Sedangkan Mainsya untuk sementara tidak diketahui keberadaanya.
Lalu, pantun apa yang membuat KPA Aceh dan PA Aceh bergoyang? Berikut pantun Pelita yang menuai kontroversi itu: “Untuk apa kita bakar lilin, kalau masih ada pelita. Untuk apa gubernur yang lain, kalau masih ada Abu Doto kita,” ucap Ruslan. Seusai memberi salam, ia juga masih sempat mengatakan “yang bek tuwo ata lon peugah satnyoe,” kata Ruslan ketika menutup ceramahnya, Jumat (27/5/2016). Pernyataan Ruslan menunjukkan bahwa di tubuh PA sedang terjadi perpecahan.
Sementara dari www.ajnn.net diberitakan Tengku Azhar yang akrab disapa Nek E‎ mengundurkan dari jabatannya sebagai panglima wilayah KPA/PA Kota Langsa. Menurut informasi yang diterima AJNN, Nek E mengundurkan diri karena ada masalah internal di tubuh KPA/PA wilayah Kota Langsa. Hal ini dibenarkan, Sekretaris Dewan Perwakilan Wilayah Partai Aceh ‎Kota Langsa Furqan.
Sebelumnya, musyawarah Partai Aceh Bansigom Aceh Tahun 2016 yang berlangsung di Hotel Grand Aceh, Minggu (10/4) ricuh. Informasi yang diterima, musyawarah tersebut dalam rangka mempersatukan visi dan misi untuk menyambut Pemilihan Kepala Daerah 2017. Dari foto-foto yang diterima AJNN, pasca kericuhan, meja dan kursi di ruang aula tempat diadakan rapat berantakan. Bahkan, meja pimpinan rapat juga menjadi sasaran kemarahan para peserta rapat. Pantauan AJNN dilokasi pasca kericuhan, di halaman hotel masih disesaki berbagai kendaraan pribadi dan juga kendaraan berpelat merah, yang berasal dari sejumlah kab/kota. Selain itu, tampak beberapa pengurus yang mengunakan baju Partai Aceh duduk di loby hotel. Hingga berita ini diturunkan, AJNN belum mendapatkan konfirmasi dari pihak pengurus Partai Aceh. Juru Bicara Partai Aceh, Suadi Sulaiman yang dihubungi AJNN, tidak menjawab telepon. http://www.ajnn.net/news/musyawarah-partai-aceh-ricuh/index.html
APA BISA MENANG DI PILKADA?
Konflik internal dalam tubuh Partai Aceh seperti yang terjadi di Bireuen yang diwarnai dengan terjadinya pemukulan dan pencopotan baliho salah satu calon bupati Bireuen jelas menggambarkan banyaknya pertikaian atau ketidaksepahaman internal dari dalam tubuh partai lokal yang didirikan oleh eks GAM ini. Konflik pada umumnya dipicu oleh ambisi politik dan libido politik untuk menjadi kepala daerah tanpa memperhatikan kemampuan dan integritas pribadinya.
Pembacaan pantun yang dilakukan oleh Ruslan merupakan bentuk kebebasan ekspresi yang harus dihargai oleh kader-kader Partai Aceh itu sendiri, karena kebebasan berekspresi merupakan salah satu bentuk berdemokrasi. Jadi penolakan terhadap isi pantun Ruslan yang diikuti dengan pemukulan dan penurunan baliho milik Ruslan jelas menggambarkan kader-kader partai lokal yang sudah memenangkan dua kali Pilkada di Aceh belum memiliki kedewasaan berdemokrasi dalam menyikapi perbedaan pendapat. Oleh karena itu, wajar jika banyak pihak diluar Aceh khawatir dengan masa depan Aceh jika para kepala daerah yang terpilih nantinya didominasi oleh Partai Aceh.
Sementara itu, pengunduran diri salah satu panglima wilayah Partai Aceh Kota Langsa yang dipicu karena permasalahan internal dari partai lokal yang dipimpin oleh Muzakir Manaf atau Mualem semakin memberikan gambaran yang jelas bahwa partai lokal ini belum dewasa sehingga belum perlu diberikan amanah politik secara berlebihan.
Kericuhan yang terjadi dalam pelaksanaan musyawarah Partai Aceh apapun penyebabnya jelas bukan merupakan pelajaran politik yang kurang baik.  Mengapa? Pertama, Partai Aceh adalah partai yang paling berkuasa di Aceh sekarang ini, karena dalam Pilkada 2007 dan Pilkada 2012 telah diberikan amanah oleh rakyat Aceh untuk memimpin provinsi “Serambi Mekkah”, sehingga mereka menempatkan banyak kadernya sebagai kepala daerah dan duduk di DPR Aceh baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Jadi, seharusnya Partai Aceh sudah memiliki mekanisme resolusi konflik dalam internal partainya. Faktanya, kericuhan jelas menggambarkan Partai Aceh belum memiliki mekanisme resolusi konflik tersebut.
Kedua, kericuhan tersebut jelas menunjukkan terjadinya “rebutan kursi” untuk duduk dalam kepengurusan Partai Aceh, karena dengan menjadi pengurus Partai Aceh, maka diyakini sudah memiliki “modal politik yang kuat” untuk terpilih dalam Pilkada 2017 mendatang, sehingga reformasi kepengurusan Partai Aceh saat ini jelas terkait dengan hajatan politik tersebut.
Ketiga, kericuhan yang terjadi bahkan diwarnai dengan letupan senjata api jelas menggambarkan bagaimana emosionalnya kader-kader Partai Aceh dalam menyelesaikan permasalahan internal mereka. Hal ini pada awalnya tidak salah jika dianalisis sebagai berkurangnya “grip” Mualem alias Muzakir Manaf dalam internal Partai Aceh, walaupun Wagub Aceh tersebut akhirnya dapat menyelesaikan kericuhan tersebut.
Keempat, kericuhan tersebut merupakan representasi dari akutnya “benih-benih konflik internal” dalam tubuh Partai Aceh menjelang Pilkada 2017. Hal ini bukan rahasia umum karena banyaknya tokoh-tokoh elit Partai Aceh yang mau maju dalam Pilkada 2017 sebagai Gubernur seperti Muzakir Manaf sendiri, Zaini Abdullah, Zakaria Zaman dan Irwandi Yusuf, dimana penulis memperkirakan diantara mereka sekarang ini kemungkinan melakukan upaya “mendown-grade” pamor calon lawan politiknya baik secara langsung ataupun dalam pertemuan dengan tim sukses masing-masing calon.
Tapi ada kemungkinan, indikasi adanya konflik internal dalam Partai Aceh sebenarnya hanya merupakan “sandiwara politik” mereka saja, karena tidak sedikit yang menyakini bahwa siapapun yang terpilih sebagai kepala daerah di Aceh pasti akan memperjuangkan pelaksanaan secara utuh MoU Helsinki, walaupun dampaknya dapat mengubah relasi positif yang tercipta selama ini antara Aceh dengan Pemerintah Pusat.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com