Masdarsada, pemerhati masalah Papua dan pernah tinggal di Papua serta Ambon. Penulis juga alumnus pascasarjana KSI Universitas Indonesia
Pelayaran kapal “Freedom Flotilla” yang telah berangkat dari Australia menuju Papua Barat dengan mengikutsertakan Yacob Rumbiak (pegiat OPM), serta membawa kurang lebih 30 orang NGO, peneliti HAM dan jurnalis dari Australia. Dilaporkan bahwa, latar belakang pelayaran kapal tersebut adalah untuk menyatukan budaya dan sejarah ras Melanesia di Asia Pasifik serta melakukan kerjasama demi mendukung kemerdekaan berekspresi bangsa Melanesia. Selain Papua Barat, Maluku merupakan salah satu lokasi yang akan dikunjungi. Jika terjadi masalah saat memasuki perairan Indonesia, maka akan dialihkan menggunakan jalur lain agar tetap dapat meninjau kehidupan masyarakat di Indonesia Timur.
Sementara itu, di Manokwari, Papua Barat, berlangsung jumpa pers Markus Yenu (Gubernur Eksekutif West Papua National Authority/WPNA) dan Jack Wanggai (Jubir WPNA) dalam rangka membahas penyelesaian konflik Papua dan rencana pelayaran Kapal Freedom Flotilla di seluruh wilayah Papua. Dalam kesempatan tersebut, Markus Yenu mengatakan, Pemerintah Indonesia tidak perlu takut atas kehadiran kapal perdamaian kewilayah Papua. Jack Wanggai mengatakan, WPNA mengajak seluruh masyarakat Papua dan non Papua agar ikut dalam aksi damai pada 27 Agustus 2013, dalam rangka penyambutan khusus kedatangan kapal perdamaian kewilayah Papua. Meskipun kedatangan kapal tersebut tidak mendapatkan izin dari Pemerintah Indonesia, namun akan tetap masuk ke wilayah Papua yang diperkirakan awal September 2013.
Subversi Politik dan Perlu Ditindak Tegas
Mengacu kepada pendapat kedua tokoh Papua diatas, maka secara gampang masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Papua pada khususnya dapat menilai bahwa misi pelayaran dari Freedom Flotila adalah subversi politik untuk mempersatukan sikap rakyat Papua menyuarakan tuntutan dilakukannya perundingan penyelesaian masalah Papua secara damai.Bahkan, beberapa kelompok di Papua juga sering melakukan jumpa pers dan pertemuan-pertemuan terbatas untuk “mendramatisir” urgensi misi pelayaran tersebut, walaupun sebenarnya tidak ada urgensinya sama sekali. Pengamat masalah Papua, Joris Kabo bahkan menilai, tidak salah jika ada pihak yang menilai bahwa terdapat upaya yang dipersiapkan secara rapi melakukan subversi politik mempersoalkan masalah Papua.
Menurut Joris Kabo, selama ini beberapa kelompok di Papua juga terlalu sering menyuarakan tuntutan yang bersifat subversi politik antara lain, menuntut Pemerintah Indonesia mengakui kemerdekaan Papua, pemerintah baru Papua akan menanggung semua pinjaman luar negeri Pemerintah RI, penduduk non-Papua yang ada di Papua akan diakui sebagai penduduk Papua, aset pemerintah RI di Papua menjadi milik RI, termasuk menyebarluaskan informasi yang sesat bahwa rakyat Papua menolak. “Yang lebih konyol adalah mereka juga menjustifikasi agar semua pihak menyambut pelayaran Freedom Flotila sebagai misi perdamaian, selama singgah di beberapa tempat di Papua,” tambahnya seraya menegaskan tidak perlu ada fact finding di Papua, karena keamanan Papua sudah jauh lebih baik, bahkan sudah diakui Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Gordon Darcy Lilo yang belum lama ini berkunjung ke Papua.
Inti aktivitas pelayaran kapal Freedom Flotilla merupakan dukungan berbagai aktivis di luar negeri khususnya Australia terhadap aktivitas unsur-unsur aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mendapat suaka di Australia, seperti Yacob Rumbiak dan Amos Wanggai, harus diterjemahkan sebagai sebuah upaya subversi dengan sasaran strategis tertentu kedepan.
Slogan Malanesian Brotherhood adalah slogan yang selalu dikumandangkan untuk mendukung terwujudnya negara-negara Melanesia Raya yang merdeka, dimana dengan slogan Melanesian Brotherhood inilah OPM berusaha menari simpati dan dukungan dari negara-negara di Pasifik Selatan. OPM dan sayap politiknya yang ada di Australia nampaknya juga ingin membangkitkan lagi idea separatisme RMS dengan programnya yang menyatakan akan mengunjungi Maluku.
Sementara itu, mantan Kepala Bakin, Letjen Purn. Soedibyo menilai, aktivitas yang nampaknya berwajah damai tersebut sebenarnya adalah program nekad yang sudah memperhitungkan tindakan keras dari pihak Indonesia, serta mereka menggunakan taktik dan strategi mem-fait accompli Pemerintah Australia agar mendukungnya. Secara politisaksi Freedom Flotila adalah kampanye politik internasional untuk menarik perhatian dan simpati dunia internsional untuk menekan Indonesia. Kombinasi aktivitas politik di berbagai forum internasional dan gangguan keamanan di Pupua adalah strategi OPM untuk terjadinya tekanan internasional kepada Indonesia agar masalah Papua segera diselesaikan melalui cara damai/perundingan.
Oleh karena itu, pelayaran ini dapat dinilai merupakan aksi subversi dari para aktivis pendukung OPM di Australia untuk memancing reaksi Indonesia sehingga menarik perhatian internasional dan menekan Indonesia agar bersedia berunding dan mengakui kemerdekaan Papua. Mengacu kepada pidato kenegaraan Presiden SBY di DPR-RI pada 16 Agustus 2013 yang menegaskan, Papua adalah bagian dari NKRI merupakan harga mati, agar aksi subversi ini benar-benar dihadapi dengan tegas oleh Pemerintah RI dengan menugaskan TNI melakukan kegiatan sabotase atas perahu Fredom Flotilla apabila memaksa berlabuh di salah satu tempat di Papua.
Internasionalisasi Masalah Papua
Sementaraitu, Kedubes Australia di Jakarta, menegaskan bahwa Pemerintah Australia tidak mendukung rencana misi pelayaran kelompok aktivis Australia “Freedom Flotilla” kewilayah Papua, karena selain misinya itui legal, juga pandangannya tidak mewakili sikap politik pemerintah, yang selama ini mendukung penuh kedaulatan RI di Papua. Pernyatataan Kedubes Australia ini dinilai tegas tapi banci dalam masalah ini. Jika tidak ingin dikatakan banci, seharusnya Pemerintah Australia tidak sekedar melarang pelayaran Freedom Flotilla, tetapi sesuai dengan kekuasaan hukum yang tersedia bagi Pemerintah Australia, apabila terjadi kedaan darurat, maka seharusnya Pemerintah Australia mencabut semua fasilitas yang memungkinkan pelayaran tersebut dapat dilaksanakan.
Sementaraitu, Ketua Parlemen Papua Barat, Buchtar Tabuni juga mengklaim kalau misi pelayaran Freedom Flotilla ini tidak ada hubungannya dengan situasi politik di Papua saat ini. Pernyataan Buchtar Tabuni ini perlu dicermati oleh pihak manapun di dalam negeri mau pundi luar negeri yang akan menginternasionalisasi Papua, karena upayanya tidak akan pernah didukung oleh rakyat Papua. Ini penting untuk menjadi perhatian, karena sekarang ini banyak jalan yang dapat digunakan untuk mendukung separatisme dan merusak Indonesia kedepan, salah satunya jika penetapan daftar caleg tetap (DCT) parpol bukan didasarkan kepada niat menyelamatkan kepentingan nasional, namunu ntuk kepentingan kelompok dan golongannya saja.