Tim Redaksi Theglobalreview
Banyak futurology memprediksikan bahwa Indonesia pada 2045 ataupun 2050 menjadi negara kuat nomor delapan di dunia mengalahkan beberapa negara kuat yang ada sekarang ini, seperti Inggris. Kemungkinan inilah yang menyebabkan Inggris merasa “inferior” menghadapi Indonesia yang notabene calon penguasa dunia bersama Cina, karena sebab itulah menjadi trigger intelijen Inggris dikabarkan menyadap rombongan Presiden SBY saat menghadiri KTT G-20 di London, Inggris.
Demikian di kemukakan pengamat masalah luar negeri, Hernoto Ramlan seraya menambahkan dalam etika pergaulan dan persahabatan internasional, praktik sadap menyadap tersebut bukanlah praktek yang etis.
Hernoto menyatakan setuju dengan pernyataan Staf Khusus Presiden Bidang Luar Negeri, Teuku Faizasyah yang pada 28/7/2013 menyatakan, “Kalaulah hal tersebut benar terjadi, penyadapan bukanlah sesuatu tindakan yang etis dalam kehidupan antar dua negara bersahabat,” ujar Staf Khusus Presiden Bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada detikcom, Minggu (28/7/2013).
Menurut HernotoRamlan, jika benar informasi yang disampaikan media Australia yang mengutip sumber anonym dari intelijen Australia dengan memberitakan bahwa kelompok Fairfax Media yang membawahi The Age dan The Sydney Morning Herald, seperti dikutip dari dua media itu yang ditulis pada Jumat (26/7/2013), maka kegiatan penyadapan tersebut menunjukkan Inggris bukanlah negara yang memiliki tingkat demokrasi yang lebih rendah dibandingkan Indonesia,”tambahnya seraya mewanti-wanti Inggris akan fenomena Edward Snowden yang kemungkinan dapat terjadi di Inggris dan beberapa tahun kedepan.
“Indonesia selama ini menganut prinsip dalam hubungan internasional yang bersifat dynamic equilibrium serta zero enemies, thousand friends, sehingga penyadapan tersebut tidak bermakna apapun, karena Indonesia bukanlah negara yang mengancam negara manapun juga,” tambahnya.
Sementara itu, Datuak Ali Tjumano menegaskan, proses penyadapan tersebut juga menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara terkuat ditengah kebangkitan Asia Pasifik, sehingga apapun yang dilakukan dan direncanakan Indonesia pantas dicurigai.
“Oleh karena itu, jika proses penyadapan ini benar setelah di cross check oleh jajaran pemerintah dan intelijen di luar negeri, maka Indonesia tidak perlu melaksanakan atau menepati seluruh pernyataan yang dilontarkan pada saat G-20 dengan alasan kebijakan telah berubah karena ancaman lingkungan strategis yang berubah,” tambah lelaki asal Minangini.
Menurut pengamat politik dari Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi ini, ada pelajaran penting bagi seluruh komponen bangsa Indonesia bahwa untuk kepentingan nasional negaranya, negara lain melakukan penyadapan bahkan terhadap tamu negara sekalipun.
“Mereka kurang memperhatikan soal etika diplomasi, yang penting bagi mereka kepentingan nasional tetap terjaga,” tegasnya seraya mencontohkan sebaliknya di Indonesia beberapa komponen masyarakatnya malah memprotes praktik penyadapan yang dilakukan institusi negara walaupun itu untuk kepentingan nasional, misalnya dalam pemberantasan korupsi.
Facebook Comments