Perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) dari langsung menjadi tidak langsung atau dipilih oleh DPRD yang dinilai tidak menjamin dapat meminimalkan kasus suap. Ketua Panja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja mengatakan, mekanisme apapun baik dipilih langsung oleh rakyat maupun dipilih DPR tetaplah memiliki risiko praktik suap menyuap.
Pengamat komunikasi massa Riska Prasetya mengatakan, pemikiran untuk menghapus pilkada di tingkat Kapupaten dan Walikota dikembalikan ke DPRD adalah dalam konteks menghilangkan potensi konflik langsung massa pendukung calon, bukan dalam konteks suap. Oleh sebab itu masalah korupsi bukan alasan untuk menghapus pilkada langsung pada tingkat Kapupaten dan Walikota.
Menurut Riska, identik dengan permasalahan ini adalah gagasan agar MK tidak mengadili konflik pilkada dan memidahkannya ke MA, pada dasarnya juga hanya memindahkan termpat suap dari MK ke MA. “Oleh sebab itu korupsi bukan alasan untuk memindahkan pengadilan segketa Pilkada dari MK ke MA,” tegasnya.
Menurut peneliti muda ini, perlunya langkah pengawasan dalam menyempurnakan sistem seleksi, berupa pengawasan atas anggota DPR, dan pengawasan mengadili sengketa pilkada, pengawasan terhadap para Hakim MA maupun MK perlu dilakukan.
“Dalam sistem ketatanegaraan kita yang perlu disempurnakan adalah fungsi pengawasan terhadap anggota DPR dan pada hakim pada semua tingkatan,” ujarnya. (TGR)
Facebook Comments