Rusman, Pemerhati Sosial Politik dan Direktur Global Future Institute (GFI)
Politik identitas kini tengah menjadi topik aktual di ruang publik, bahkan mungkin dijadikan preferensi mayoritas pemilih untuk menentukan calon-calon pemimpin, atau memilih anggota parlemen dan senator (DPD). Mengapa muncul fenomena itu? Entahlah, karena belum ada penelitian khusus tentang hal itu. Tapi kuat diduga, hal itu muncul akibat dampak atas realita dan praktik politik praktis saat ini yang tidak mampu melahirkan serta menampilkan sosok mumpuni yang kelak diharapkan menjadi pemimpin yang kuat, sosok cerdas, berani serta disegani kawan ditakuti lawan.
Jika ingin melihat representatif pemimpin yang kuat tempo doeloe mungkin sosok Bung Karno (BK) dianggap mewakili. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, BK diakui dunia. Ia memiliki kompleksitas referensi baik wawasan, integritas maupun visi-misi dalam mengelola negeri. Bahkan hingga kini, visi BK masih laku untuk dijual oleh sejumlah partai politik di setiap hajatan pemilu, seperti Trisakti contohnya, berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.
Pak Harto pun —dengan Trilogi Pembangunan— sebenarnya memiliki kemiripan visi-misi seperti BK walau kemasannya berbeda. Lebih soft. Tak meledak-ledak. Lagi-lagi, dengan segala kontroversi ketika ia naik ke panggung kepemimpinan nasional, sekaligus kejatuhannya di panggung politik, kemunculan Pak Harto dahulu, secara konsepsi dianggap sebagai kelanjutan model kepemimpinan BK (bisa setuju dan tidak setuju).
Terkait judul di atas, maknanya apa? Bila sosok BK dan Pak Harto hidup di zaman now, kemungkinan besar politik identitas tidak bakal muncul atau tidak seheboh sekarang ini. Pertanyaan untuk mengurai asumsi di atas sangat sederhana bahkan lucu, “Pilpres itu mencari pemimpin bangsa atau memilih ketua majelis taklim, kok bawa-bawa ulama segala?”
Namun hal ini bukan berarti para calon yang kini maju menjadi capres/cawapres dalam Pilpres 2019 tidak terlihat atau tak dijumpai sosok yang kuat sebagaimana BK dan Pak Harto dulu, bukan begitu maksudnya. Pasalnya, ada dugaan kuat bahwa mekanisme politik yang sekarang tengah dijalankan di negeri ini —adopsi model liberalisme— sebagai penyebab ketidakmampuan sistem politik membidani lahirnya pemimpin yang kuat atau melahirkan anggota parleman dan senator yang mumpuni. Istilahnya, ada strong leader di setiap lini dan strata.
Tidak bisa disangkal bahwa model dan sistem politik yang kita jalani sekarang, seperti multi partai, one man one vote/pilihan langsung, otonomi daerah, dan seterusnya dengan segala implikasi seperti high cost politics, membelah publik serta membuat gaduh sosial masyarakat, marak money politics, dan lain-lain merupakan implikasi atas 4 X amandemen UUD 1945, semenjak 1998-2002. Intinya, sistem politik yang kita pedomani sekarang ini bukan UUD 1945 asli produk founding fathers, tetapi UUD 2002 yang penuh polesan asing. Apakah kita sadar?
Jadi, siapapun terpilih menjadi presiden bila sistemnya tetap seperti sekarang ini, niscaya tak akan mampu menyelesaikan persoalan hulu bangsa secara optimal, karena sistem politik tidak mampu melahirkan kebijakan yang pro-rakyat. Pro kepentingan nasional. Analoginya bahkan sosok ulama pun ketika ia bekerja dalam sistem riba, hasilnya pasti riba.
Disadari atau tidak, bahwa era reformasi lahir sebagai antitesis era orde baru yang represif lagi otoriter, dan dipertengahan jalan, sungguh celaka, arah reformasi dibajak oleh segelintir elit yang merupakan proxy agents (asing). Mirisnya sehingga detik ini hampir semua produk hukum dan piranti legalitas bagi kebijakan publik untuk mengelola negeri ini cenderung pro kepentingan asing. Sehingga pasal 33 UUD hanya menjadi macan kertas karena produk hukum turunannya justru bertolak belakang dengan “jiwa” yang terjabar dalam pasal 33 tersebut.
Merujuk judul tulisan ini, kesimpulan sementara yang boleh diambil adalah, “Jika UUD 1945 melahirkan strong leader, tetapi praktik UUD 2002 cenderung menciptakan strong dealer!”