Potensi Pilpres Dua Putaran

Bagikan artikel ini

Prisana Herdianto, peneliti muda dan pemerhati masalah kebangsaan. Tinggal di Semarang, Jawa Tengah

Tahapan Kampanye baru saja dimulai dengan peserta dua pasangan capres/cawapres yakni pasangan nomor urut 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, dan pasangan nomor urut 2, Joko Widodo-Jusuf Kalla.  Adanya dua pasangan ini akan meningkatkan persaingan politik, head to head dengan memperebutkan jumlah pemilih yang diperkirakan akan mengalami kenaikan dari DPT Pileg menjadi sekitar 189 juta suara.  Memang KPU baru akan mengumumkan DPT Pilpres pada tanggal 12 Juni 2014 nanti, namun diperkirakan kenaikan DPT Pilpres ini disebabkan karena adanya tambahan 3,1 juta pemilih DPK (Daftar Pemilih Khusus) dan usia pemilih yang telah mencapai 17 tahun pada saat Pilpres nanti dilaksanakan.

Jumlah pemilih yang demikian besar dan persebaran suara dalam rentang wilayah yang luas membuat Indonesia dikategorikan negara demokrasi yang menyelenggarakan salah satu pemilu terbesar di dunia. Hal ini tentu menimbulkan kerumitan tersendiri bagi penyelenggara pemilu. Begitupula dengan kontestan Pilpres yang harus mampu mengerahkan mesin pemenangannya guna meraih suara lebih dari 50% dengan persebaran yang ditetapkan oleh Undang-Undang Pilpres. Ketentuan persebaran ini menjadi penting agar pemenang Pilpres memiliki acceptabilitas yang tinggi serta mencerminkan dukungan suara yang merepresentasikan seluruh elemen politik, terutama konteks kewilayahan sehingga tidak hanya mewakili kelompok atau wilayah tertentu yang dominan.  Hal ini mengingat adanya konsentrasi pemilih di wilayah tertentu, semisal pulau Jawa sebagai wilayah dengan kepadatan penduduk dan jumlah pemilih terbesar.

Proporsionalitas versus Konsentrasi Pemilih

Merujuk pada ketentuan dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, telah diatur tentang syarat perolehan suara yang harus dipenuhi oleh pasangan capres/cawapres guna memenangkan pilpres.  Pasal 159 ayat (1) menyatakan bahwa pasangan calon terpilih apabila memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pilpres dengan sedikitnya memperoleh 20% suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari ½ jumlah propinsi di Indonesia.  Jika ketentuan tersebut tidak terpenuhi maka Pilpres akan dilanjutkan pada putaran kedua.

Banyak kalangan yang berpendapat bahwa ketentuan itu akan dilampaui dengan mudah jika kandidat pasangan capres/cawapres yang berlaga hanya ada dua pasangan.  Logikanya adalah salah satu pasti akan memperoleh suara mayoritas hingga mencapai lebih dari 50%.  Namun demikian, banyak pula yang mengabaikan sarat persebaran suara yang harus dipenuhi, yakni bahwa pemenang hanya boleh kalah dengan minimal perolehan suara 20% setidaknya di 17 propinsi.  Hal ini kurang begitu diperhatikan sehingga lazimnya para kandidat, baik partai maupun capres/cawapres lebih memfokuskan mobilisasi suara pada kantung-kantung wilayah padat pemilih.

Memang, jumlah pemilih berbanding lurus dengan jumlah penduduk yang mendiami suatu wilayah. Jika kita perhatikan komposisi persebaran pemilih berdasarkan jumlah penduduk dalam suatu wilayah maka dari seluruh 34 propinsi di Indonesia, sekitar 70% jumlah pemilih terkonsentrasi di tujuh propinsi yakni, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.  Dengan konsentrasi suara tersebut, memungkinkan bagi pasangan capres/cawapres untuk hanya bertarung memenangkan suara di 7 propinsi tersebut dan melampaui 50%.  Namun, tentunya sarat perolehan minimal 20% di 17 propinsi akan sulit terpenuhi.

Begitupula dengan pasangan yang memperoleh suara mayoritas di 17 propinsi dengan suara kumulatif hanya sekitar 30% dari suara nasional, akan sulit bagi pasangan meski memenuhi lebih dari 20% suara, namun tidak akan mencapai sarat lain yakni lebih dari 50%.

Potensi Pilpres 2 Putaran

Menilik dari ketentuan UU Pilpres dan persebaran pemilih maka tidak ada jaminan bahwa meski Pilpres hanya diikuti oleh 2 pasangan pasti akan berlangsung satu putaran.  Setiap pasangan kandidat capres/cawapres tidak bisa mengabaikan bahwa mereka harus berupaya keras untuk memastikan perolehan suaranya tersebar secara proporsional di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia.  Hal ini memaksa para pasangan capres/cawapres tersebut untuk memberi perhatian pada seluruh wilayah, terutama yang seringkali diabaikan akibat potensi pemilih yang sedikit.

Potensi pilpres dua putaran itu akan selalu muncul akibat sebaran pemilih yang tidak merata dan adanya konsentrasi dalam wilayah tertentu dalam jumlah yang sangat besar.  Misalkan, nantinya Pilpres dimenangkan oleh salah satu pasangan capres/cawapres dengan selisih yang tipis, potensi dua putaran itu (atau kemungkinan konflik yang dipicu rasa kekecewaan dan kecurigaan) akan semakin terbuka. Apalagi jika kemenangan itu terkonsetrasi pada wilayah Jawa dan luar Jawa. Jika salah satu pasangan capres/cawapres menang mutlak di Jawa, Sumatera Utara, dan Sulsel meski kalah telah di luar wilayah tersebut maka sangat mungkin mencapai lebih dari 50%, namun belum tentu memenuhi sarat sebaran suara sesuai UU Pilpres.  Atau sebaliknya, ada pasangan capres dan cawapres yang menang telak di luar wilayah padat penduduk, meski melampaui lebih dari setengah jumlah propinsi dengan minimal suara 20%, namun akan sulit mencapai 50% lebih jika tidak memperoleh suara signifikan, terutama di Jawa.

Persoalan sebaran suara ini setidaknya dapat dilihat dari pengalaman Pileg yang baru saja selesai. Perolehan suara PAN sebesar 9.481.621 (7,59%) di bawah perolehan suara PKB yang mencapai 11.298.957 (9,04%). Ironinya, kursi perolehan kursi DPR PKB hanya 47 kursi dan berada di bawah perolehan PAN dengan 49 kursi DPR.  Hal itu menunjukan bahwa meski PKB memperoleh suara lebih besar, namun suara PKB terkonsentrasi di wilayah tertentu, terutama Jawa yang dikenal sebagai kursi mahal. Berbeda dengan PAN yang suaranya relatif tersebar dan karena itu meraih keuntungan dibandingkan PKB.

Aturan dalam UU Pilpres dan kondisi objektif persebaran suara karena itu mensyaratkan bahwa pasangan capres/cawapres harus mampu memenangkan suara dengan perolehan mayoritas dengan selisih yang cukup besar. Pengalaman masa Pilpres sebelumnya memperlihatkan dengan perolehan suara mencapai 65%, SBY tidak hanya melampaui syarat suara lebih dari 50% saja, tetapi sekaligus sebaran minimal perolehan suara 20% di setengah jumlah propinsi.  Jika selisih suara tipis, semisal hanya 5%, maka kemungkinan besar sarat sebaran suara akan sulit untuk dipenuhi dan dipastikan peluang Pilpres 2 putaran akan terbuka. Karena itu, maka seyogyanya para kandidat capres/cawapres dapat memberi perhatian pula pada daerah-daerah lain di luar Jawa sebagai basis dukungan suara hingga ada keseimbangan dan proporsionalitas antar wilayah.

Kita semua berharap apakah Pilpres berlangsung satu atau dua putaran, tetap harus dewasa, sabar dalam menyikapi hasilnya dan tidak bermanuver secara negatif, karena bangsa ini harus ingat bahwa keberhasilan Pilpres 2014 akan sangat menentukan wajah masa depan Indonesia akan siap berkompetisi di era global seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlangsung sejak akhir 2015 dan sejumlah event lainnya. Jika Pilpres 2014 disikapi secara emosional, konflik dan bentrok antar anak bangsa, tidak menutup kemungkinan kita akan mendapatkan cibiran dari masyarakat internasional sebagai masyarakat yang tidak pandai mengelola spiritual quotionent (SQ) dan emotional quotionent (EQ), walaupun mungkin mereka yang sedang berebut kekuasaan tersebut sama-sama memiliki IQ yang hebat. Kita berharap Pilpres 2014 dapat berjalan dengan aman dan lancar, serta hasilnya mendapatkan dukungan masyarakat secara meluas.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com