RUPTL 2025-2034: Menyoal Asumsi Pertumbuhan Kebutuhan Listrik

Bagikan artikel ini

Setelah ditunggu lebih tiga bulan, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 akhirnya terbit Senin, 26 Mei 2025. Dokumen yang rutin dipublikasi ini, biasanya terbit setiap awal tahun, Januari atau Februari. Karena terjadi perubahan kepemimpinan nasional, presiden berganti, seluruh stake holders kelistrikan harus maklum mundurnya jadwal penerbitan RUPTL. Hal ini biasa terjadi ada saat transisi pemerintahan.

RUPTL merupakan dokumen perencanaan strategis yang memastikan ketersediaan tenaga listrik agar dapat mendukung kebutuhan listrik nasional berkelanjutan. RUPTL disusun pemerintah bersama PLN setelah mempertimbangkan banyak variabel, termasuk kepentingan masyarakat, pemerintah, dunia usaha, perubahan iklim, investasi, APBN, dan lain-lain. RUPTL disusun dengan memperhatikan hampir seluruh aspek kehidupan, meliputi aspek-aspek sosial, politik, ekonomi, keuangan, budaya, pertahanan dan keamanan. Maka berbagai kepentingan politik, dunia usaha, investasi, dominasi ekonomi, oligarki kekuasaan dan lain-lain, diyakini cukup signifikan mempengaruhi jadwal terbitnya RUPTL 2025-2034.

Terlepas banyaknya kepentingan, lumrah jika pemerintah menyatakan bahwa basis utama penyusunan RUPTL adalah kebutuhan masyarakat, baik rakyat sebagai konsumen listrik biasa maupun rakyat sebagai pelaku usaha. Kebutuhan masyarakat ini pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tersedianya akses listrik di seluruh wilayah nasional dengan tarif terjangkau dan kompetitif, tanpa melupakan aspek-aspek keadilan, efisiensi, keberlanjutan, ramah lingkungan dan ketahanan.

Sampai akhir Desember 2024, total kapasitas terpasang pembangkit Indonesia sekitar 101 GW. Dalam 10 tahun ke depan, RUPTL 2025-2034 memuat rencana penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW (sekitar 70.000 MW), terdiri dari pembangkitan Energi Baru Terbarukan (EBT) 42,6 GW atau 61%, energy storage 10,3 GW atau 15% dan fossil 16,6 GW atau 24 %. Penambahan pembangkit direncanakan melalui 2 fase yakni 5 tahun pertama dengan persentase fosil 45%, EBT % dan storage 11%. Sementara fase kedua persentase fosil 10%, EBT 73%, dan storage 17%. Dengan tambahan pembangkit 69,5 GW pada RUPTL 2025-2034, maka pada akhir 2034, kapasitas terpasang listrik nasional menjadi sekitar 170 GW.

Dalam hal produksi, realisasi penjualan listrik PLN hingga akhir 2024 mencapai 306 TeraWatt hour (TWh). Sesuai RUPTL 2025-2034, PLN menargetkan tambahan penjualan listrik 10 tahun ke depan mencapai 205 TWh. Dengan demikian, pada akhir 2034 penjualan daya Listrik bisa mencapai 511 TWh. Keterlibatan PLN menyusun RUPTL 2025-2034 PLN didasarkan pada asumsi pertumbuhan penjualan rata-rata 21 TWh per tahun. Asumsi pertumbuhan penjualan listrik ini antara lain ditopang proyeksi permintaan yang meningkat dari Kawasan Industri (KI), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP), Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) dan Kendaraan Listrik (EV).

Pertumbuhan konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang erat dan saling terkait. Kedua jenis pertumbuhan tersebut bersifat timbal balik, masing-masing dapat mendorong pertumbuhan yang lain. Pertumbuhan ekonomi tinggi dapat meningkatkan permintaan konsumsi listrik, sedangkan konsumsi listrik yang tinggi dapat menjadi indikator bahwa ekonomi sedang tumbuh. Pertumbuhan konsumsi listrik yang tinggi seringkali menjadi indikator pertumbuhan ekonomi yang positif, karena konsumsi listrik yang meningkat menunjukkan aktivitas ekonomi naik. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang kuat juga mendorong peningkatan konsumsi listrik karena adanya peningkatan aktivitas industri, bisnis, dan kebutuhan rumah tangga. Selain hubungan di atas, pertumbuhan konsumsi listrik juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti rasio elektrifikasi, peningkatan pendapatan per kapita, serta kebijakan pemerintah, seperti tarif, subsidi listrik dan perbaikan regulasi.

Pertumbuhan ekonomi menjadi variable utama dalam penetapan RUPTL 2025-2034. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan guna mendukung target pertumbuhan ekonomi 8% per tahun, maka dalam 10 tahun ke depan perlu dibangun pembangkit berkapasitas 69,5 GW atau 70.000 MW. Meski Bahlil tidak menyebut nilai pertumbuhan listrik, sesuai penyataan PLN, tingkat pertumbuhan produski listrik tersebut 21 TWh/tahun, sekitar 7%/tahun. Artinya, pemerintah telah menetapkan: karena target pertumbuhan ekonomi 8%/tahun, maka akan dibangun pembangkit listrik (berikut sarana terkait: saluran transmisi, distribusi, gardu, dll.) dengan pertumbuhan sekitar 7%/tahun.

Kita sangat khawatir atas penetapan nilai pertumbuhan ekonomi 8% tersebut sebagai rujukan utama perencanaan dan penyediaan tenaga listrik dalam 10 tahun ke depan. Menjadikan nilai pertumbuhan ekonomi yang terlalu ambisius dapat menimbulkan kerugian atau beban keuangan negara di belakang hari, sebagaimana terjadi pada masa sebelumnya.

Jika merujuk atau kilas balik RUPTL 2015-2024, pemerintah menetapkan pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW atas dasar pertumbuhan ekonomi rata-rata 8% per tahun. Saat itu, pembangunan listrik 35.000 MW ini cukup banyak disorot dan dipertanyakan kelayakannya. Faktanya rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional pada periode 2015-2024 hanya 5% per tahun. Akibatnya, karena proyek 35.000 MW tetap berlanjut, maka PLN telah mengalami kelebihan pasokan cukup signifikan pada jaringan listrik Jawa-Bali dan Sumatera. Saat ini kelebihan pasokan listrik besarnya sekitar 4-5 GW. Kelebihan pasokan akan tetap berlanjut 2-3 tahun ke depan, jika tahun 2025 ini pemerintah/PLN tetap “menerima” mulai beroperasinya PLTU Jawa 9 dan 10 di Suralaya, Banten dengan kapasitas 2×1.000 MW.

“Musibah” kelebihan pasokan proyek 35.000 MW secara akumulatif telah merugikan keuangan negara/APBN dan rakyat puluhan triliun Rp. Kerugian terjadi akibat kesalahan perencanaan, terutama karena merujuk pertumbuhan ekonomi 8% dan mengadopsi pula skema TOP. Dalam hal ini, faktor moral hazard oligarki kekuasaan bisa saja menjadi penyebab dominan atas kerugian tersebut. Para oligarki kekuasaan, bersama pemilik IPP, memaksakan pembangunan listrik 35.000 MW meskipun kebutuhan yang realistis, lebih rendah. Oligarki hanya berorientasi untung besar, tanpa peduli kerugian negara atau rakyat. Padahal, asumsi pertumbuhan listrik tidak harus didasarkan hanya pada pertumbuhan eknomi, apalagi jika nilainya ambisus dan sarat moral hazard. Tetapi juga didasarkan pada berbagai variable lain yang relevan dan objektif, seperti disebut di atas.

Nilai pertumbuhan kebutuhan listrik seharusnya juga merujuk data-data empiris. Mombekova et al (2024) telah melakukan studi, berdasarkan data-data empiris yang relevan dan terkait, dalam periode 1990-2022, tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan konsumsi energi di sejumlah negara berkembang, yakni Afrika Selatan, China, India, Indonesia, Meksiko, Thailand dan Turkiye. Ditemukan bahwa untuk setiap pertumbuhan ekonomi 1%, terjadi pertumbuhan konsumsi energi di Afrika Selatan sebesar 0,48%, China 2,9%, India 0,49%, Indonesia 0,53%, Meksiko 0,87%, Thailand 0,53% dan Turkiye 0,8%.

Berdasarkan studi di atas, maka sangat pantas jika pemerintah mempunyai pijakan dan dasar hitungan yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan dalam menetapkan tingkat pertumbuhan kebutuhan energi dan listrik nasional. Faktanya, di Indonesia, dalam 35 tahun terakhir diperoleh kesimpulan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan berdampak positif terhadap pertumbuhan konsumsi energi sebesar 0,53%. Dalam hal ini pertumbuhan konsumsi energi dapat dianggap sama dengan pertumbuhan konsumsi listrik, dengan memperhitungkan tambahan reserve margin sekitar 15-20%.

Pada pemerintahan Prabowo, kerugian negara/PLN dan rakyat/APBN dapat saja terulang jika yang menjadi rujukan utama rencana pembangunan 70.000 MW dalam RUPTL 2025-2034 adalah nilai pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 8% per tahun. Tingkat pertumbuhan ekonomi ambisius 8% tampaknya akan dijadikan mantra tak terbantahkan dan harus dipatuhi, sekaligus ditunggangi dan dijadikan alat untuk mencapai target perburuan rente. Apalagi, peran oligarki kekuasaan tampaknya masih cukup atau sangat dominan dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan baru.

Pertumbuhan ekonomi 8% sebagai target atau cita-cita dapat saja dimaklumi. Namun jika berbagai lembaga ekonomi dan keuangan dunia atau domestik memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 5%, mengapa pula RUPTL 2025-2034 dipaksakan merujuk angka pertumbuhan 8%? Pemerintah tidak pantas berkhianat dengan memberi jalan bagi terlaksananya proyek-proyek listrik sebagai objek berburu rente atau dominasi kekuasaan oligarkis dengan berlindung di balik nilai pertumbuhan ekonomi yang dapat saja dinilai absurd, bernuansa moral hazard, serta jauh dari dasar perhitungan objektif, logis, realistis, ilmiah dan pro-rakyat. []

Jakarta, 31 Mei 2025

Marwan Batubara, IRESS

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com