Satu Trilyun untuk Partai dan Pendidikan Politik

Bagikan artikel ini

Pipit Apriani, mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia, Research Associate Global Future Institute

Wacana penyediaan anggaran untuk partai politik (parpol) sebesar Rp 1 trilyun setiap tahunnya yang digulirkan oleh Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo beberapa waktu lalu mendapat tanggapan beragam dan pro kontra. Mendagri berpendapat demikian, karena APBN RI sekarang ini sudah di atas Rp 2.000 trilyun dan  anggaran untuk kemiskinan infrastruktur dan pendidikan sudah berjalan cukup baik, sehingga bantuan untuk partai politik dapat dilakukan. Semangatnya adalah agar partai politik tidak mencari dana dari anggaran pembangunan seperti bermain proyek dan sebagainya. Tetapi sebelum kebijakan ini berjalan, harus ada aturan main yang tegas. Karena partai politik dibiayai dengan uang rakyat, dengan demikian rakyat dan seluruh elemen masyarakat bisa mengontrol partai politik. Sanksinya pun ketat, partai politik bisa dibubarkan jika melanggar.

Didi Irawadi Syamsudin dari Partai Demokrat menilai wajar penyediaan anggaran untuk partai politik dari negara karena keberadaan partai politik adalah untuk menghasilkan pemimpin baik yang ada di pusat maupun daerah. Namun demikian, masalah besaran anggaran yang disediakan harus dibahas dulu antara pemerintah dan DPR. Demikian juga dengan transparansi pengelolaan anggaran yang dapat di akses oleh publik. Selama ini, negara sudah membantu partai sesuai dengan jumlah kursi yang diraih partai politik di parlemen. Partai Demokrat mendapatkan anggaran dari negara kurang dari Rp 2 milyar  per tahun. Untuk menghidupi kegiatan Partai Demokrat, setiap anggota atau pengurus yang duduk di pemerintahan atau parlemen wajib menyisihkan 20 persen dari pendapatannya setiap bulan untuk partai. Hal yang sama juga terjadi pada partai-partai lain.

Partai dan pendidikan politik

Kebanyakan pengamat yang menyetujui dana bantuan untuk  partai politik adalah karena partai perlu membangun infrastruktur partai. Jauh sebelum pengguliran wacana dana bantuan untuk partai dan besaran jumlahnya,  saya sudah mencatat bahwa partai-partai politik selama ini kurang memperhatikan pendidikan politik baik bagi kadernya, apalagi bagi rakyat Indonesia. Perhatikan model kampanye yang tidak pernah berubah yaitu pengumpulan massa dan jargon-jargon dan janji kampanye yang seberapa persen saja dapat dipenuhi ketika mereka menang dan duduk di parlemen atau eksekutif. Menjual janji dalam kampanye itu sah. Tetapi melaksanakan janji kampanye membutuhkan kemampuan teknis akademis, langkah-langkah visioner dan leadership. Dan itu yang kurang diperhatikan di partai-partai politik di Indonesia.

Karena itu, ketika besaran angka bantuan dana untuk partai politik disebutkan, saya setuju dengan pendapat ibu Chusnul Mar’iyah, komisioner KPU 2004-2009, yang berpendapat bahwa dana bantuan partai seharusnya tidak diserahkan seluruhnya ke partai, tetapi sebagian dialokasikan dalam bentuk beasiswa untuk mendidik kader partai di sekolah formal politik di universitas terkemuka di jurusan Ilmu Politik dan Hukum. Karena menjalankan negara adalah urusan politik dan hukum, bukan sekedar pengalaman lapangan saja.

Hasilnya, kita lihat centang perenangnya produk-produk hukum keluaran DPR dan DPRD yang bertabrakan satu sama lain bahkan ada yang melanggar konstitusi UUD ’45. Kasus judicial review di Mahkamah Konstitusi bertumpuk-tumpuk. Hal ini terjadi karena sebagian besar anggota DPR dan DPRD tidak berlatar belakang pendidikan hukum dan politik. Bahkan sebagian tidak tahu tugas dan hak kewajiban sebagai anggota DPR dan DPRD, apalagi menyusun undang-undang yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Dari hal ini kita dapat mempertanyakan bagaimana pola rekrutmen partai politik terhadap calon anggota legislatif dan calon eksekutif yang kemudian disodorkan ke pemilih dalam pemilihan umum. Pola rekrutmen masih kabur dan abu-abu, karena kepentingan dan nepotisme lebih bermain daripada pola meritokrasi dan intelektualitas seorang calon. Banyak kepala daerah yang ternyata tidak memiliki ijazah SMA formal tetapi paket C. Meskipun, dalam peraturan pencalonan memang menyebutkan pemilik ijasah paket C pun boleh mendaftar, karena ini adalah demokrasi, siapapun memiliki hak untuk berpartisipasi untuk terlibat dalam pemerintahan. Tetapi secara logika, rakyat Indonesia  sudah banyak yang berpendidikan S1, tetapi bagaimana mungkin pemimpinnya hanya berijasah di bawahnya. Pemimpin seharusnya serba lebih daripada yang dipimpinnya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com