M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Ini menangapi soal kualitas para kepala daerah termasuk Gubernur sebagai buah dari Pemilukada di seluruh provinsi Indonesia. Saya punya gagasan sebagai berikut. Harus dirubah sistem politik sebagai titik awalnya. Sistem yang bagaimana, ya otonomi daerah, multipartai dan model pemilu langsung ini saya anggap sebagai biangnya.
Tengok saja, kini Gubernur, Bupati/Walikota lebih taat kepada Ketua Parpol yang mengusungnya sebagai Kepada Daerah daripada taat dengan Presiden. Betul? Jabatan Gubernur dan Bupati menjadi “ladang” bagi Parpol untuk mengumpulkan dana pemilu dan lain-lain melalui perampokan terhadap APBN/APBD serta menjarah SDA di negeri ini. Karena itu saya tidak heran ketika membaca sebuah fakta menarik bahwa korupsi di seluruh provinsi Indonesia mencapai 4 Triliun Rupiah.
Jelas sudah bahwa sistem politik kini banyak kelemahan, karena menimbulkan disintegrasi bangsa (banyak konflik) juga krisis kepemimpinan di segala lini. Bagi Gubernur atau Bupati, lebih baik membangkang kepada presiden karena tak akan dicopot dari jabatannya!
Selama ini, “takut”-nya Gubernur dan Bupati kepada presiden hanya karena izin penyidikan bagi Kepala Daerah yang diduga korupsi oleh Presiden. Maka dengan dengan dicabutnya mandat tersebut oleh Mahkamah Konstitusi, bisa ditebak “raja-raja kecil” di daerah bakal semakin menjadi-jadi di satu sisi, sementara di sisi lain justru menimbulkan “gempa” di daerah, karena antar Muspida saling intip-intipan, atau bahkan kong-kalikong menggerogoti APBD. Tinggal bagaimana soal moralitas aparat penegak hukum di daerah terutama kesadaran akan Kepentingan Nasional yang mutlak harus didahulukan .
Perlu Gagasan Trobosan
Salah satunya adalah sistem pemilihan gubernur, sebaiknya tidak melalui mekanisme pemilihan langsung. Untuk itu, bisa diadopsi sistem politik di Rusia. Sejak Putin bertengger, Gubernur ditunjuk oleh Presiden karena selain tak memiliki wilayah juga merupakan perpanjangan pemerintah pusat. Presiden bisa mencopot sewaktu-waktu bila Gubernur macam-macam. Sementara Bupati/Walikota tetap melalui pemilihan, namun disesuaikan dengan local wisdom Indonesia yang mengkedapankan musyawarah mufakat, bukan seperti kini yang cenderung mengkepankan “pencitraan” sehingga penjahat pun bisa jadi Kepada Daerah jika didukung modal. Akhirnya yang berkuasa justru pemilik modal.
Kedua, soal sistem multi-partai di Indonesia. Partai pun perlu diperkecil, dua atau tiga partai saja — jangan ombyok’an (multipartai) kayak sekarang ini. Tengok negara adidaya lain, cuma dua partai dan cenderung mengkepankan musyawarah mufakat. Lho, itu ‘kan nilai-nilai Timur, kok kita justru meniru sistem dan nilai Barat yg di tempat asalnya telah ditinggalkan!
Maka seribu lembaga ad hoc semacam KPK tidak bakal bisa menuntaskan korupsi di Indonesia, ini bukan pesimis terhadap opini yang “menggelegar” saat ini. Tetapi bacaan saya justru “korupsi” dijadikan sebagai alat untuk menyerbu Indonesia dari sisi internal, agar bangsa ini sibuk di tataran hilir namun di tingkat hulu justru konsep kolonialisme semakin tertancap kuat. Lihatlah gegap gempita di media hanya menggiring publik di tataran hilir saja, tidak ada yang membahas soal sistem politik sebagai biangnya.