Hendrajit
Belakangan kian santer Presiden SBY akan menggandeng Gubernur Bank Indonesia Boediono sebagai Wakil Presiden. Mulanya, banyak kalangan yang menilai langkah ini bagian dari strategi SBY untuk merangkul teknokrat ekonomi non-partai sekaligus menyenangkan aspirasi kekuatan modal dari Negara-negara Amerika dan Eropa Barat.
Namun dalam hari-hari belakangan ini, muncul berbagai versi yang nampaknya upaya menggulirkan isu Boediono sebagai calon terkuat sebagai Wakil Presiden kemudian dibaca sebagai bagian dari kesepakatan strategis antara Partai Demokrasi Indonesian Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu.
Hal ini nampaknya memicu kekecewaan dari lingkar dalam kepemimpinan Partai Demokrat itu sendiri. Apalagi ketika Partai Demokrat justru sudah memiliki jago mereka sendiri untuk diajukan kepada SBY sebagai wakil presiden.
Perkembangan terbaru ini tentu saja semakin memperkuat penilaian berbagai kalangan bahwa SBY lebih mengutamakan untuk mengakomodasi dan merangkul lawan-lawan politiknya, sebaliknya tidak segan-segan untuk mengorbankan dan mengabaikan kawan-kawan maupun sekutu politiknya sendiri.
Lalu, apa yang akan terjadi jika Partai yang telah mengusung SBY tersebut justru memendam kekecewaan yang amat mendalam? Bisa berbagai kemungkinan. Namun yang jelas, salah satunya adalah kemungkinan terjadinya perubahan format koalisi. Berarti, akan ada beberapa partai yang semula berkoalisi dengan Partai Demokrat, lalu kemudian mengalihkan dukungannya ke partai-partai lain. Dalam hal ini, bias saja kemudian Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera yang semula berkoalisi dengan SBY dan Demokrat, kemudian mengalihkan dukungannya melalui kerangka koalisi PDIP-Gerindra. Sehingga, duet Mega-Prabowo yang belakangan ini semakin tenggelam dalam bursa pencalonan presiden, secara tiba-tiba bias mencuat kembali.
Jika skenario ini yang berjalan, maka koalisi besar PDIP-Gerindra minus Partai Golkar, bisa kembali menemukan momentumnya untuk kembali tampil untuk mengimbangi SBY pada Pemilihan Presiden 8 Juli mendatang.
Sampai saat ini, Mega dan Prabowo belum bisa mencapai kata sepakat mengenai siapa yang akan menjadi calon presiden dan wakil presiden. Karena Mega maupun Prabowo masih sama-sama bersikeras sebagai calon presiden.
Namun, perkembangan terkini yang nampaknya semakin santer untuk menduetkan Boediono dengan SBY dalam kerangka koalisi PDIP-Demokrat, nampaknya bisa menjadi titik-balik bagi bangkitnya kembali koalisi PDIP-Gerindra dalam rangka menghadapi SBY.
Nampaknya isu Boediono sebagai Wapres dalam kerangka koalisi Demokrat-PDIP sengaja digulirkan dari kubu Teuku Umar itu sendiri, untuk memprovokasi partai-partai papan tengah seperti PAN, PKS dan PKB untuk menarik dukungannya dari koalisi dengan Demokrat. Sehingga PDIP akan kembali menjadi pusat gravitasi gerakan oposisi terhadap SBY. Atau setidaknya itulah yang hendak dikesankan oleh Taufik Kiemas dan kroni-kroninya di PDIP dan Jalan Teuku Umar.
Namun SBY dan tim suksesnya tentu tidak sebodoh itu. Mereka pun dengan sadar kemudian melayani manuver kubu Teuku Umar, dan kemudian membuka komunikasi politik dengan SBY dan Demokrat. Maka, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa ditugasi untuk menjadi mediator antara PDIP dan SBY.
Ini menarik, karena bukannya fungsionaris kunci Demokrat yang ditugasi SBY untuk menjadi tim negosiasi menghadapi kubu Megawati dan PDIP. Padahal, Hatta Rajasa selain sebagai pejabat tinggi pemerintah, juga merupakan tokoh sentral Partai Amanat Nasional. Jelas ini adalah perundingan antar kroni, sehingga Hatta Rajasa diterjunkan sebagai mediator karena dia adalah putra kelahiran Palembang, sebagaimana juga Taufik Kiemas.
SBY memanfaatkan the Palembang Connection untuk mencairkan jalan buntu antara Demokrat dan PDIP. Sedangkan Hatta dan Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung, sama-sama alumni Institut Teknologi Bandung (ITB). Dan sama-sama bergerak dalam bisnis minyak dan energi.
Karena itu, meski pada akhirnya koalisi PDIP-Demokrat gagal terlaksana, namun konstalasi politik internal di PDIP bisa dipastikan sudah pecah dan terbelah dua menjelang Pemilihan Presiden Juli mendatang.
Sementara Hatta Rajasa dan Pramono Anung, skenario apapun yang akan dijalankan, akan tetap meraih keuntungan taktis maupun dari segi kepentingan bisnis mereka untuk jangka pendek.