Telaah Kecil Geospiritual
Katakanlah, apabila sistem politik yang kini tengah kita jalani adalah sebuah tesis, yakni sistem (politik) impor dari Barat terutama pemilihan umum baik pemilihan presiden (pilpres), pilkada, maupun pilkades bermodel one man one vote telah membawa bangsa ini terjebak dalam kegaduhan sosial politik hampir tidak bertepi. Setiap saat selalu gaduh baik di level nasional, daerah sampai di tingkat desa. Kenapa demikian, sebab selain rakyat terbelah berkubu-kubu dalam kondisi saling berhadap-hadapan, juga “bahan bakar” atas kegaduhan tersebut berserak tak ada habisnya. Ada saja. Apa saja bisa jadi materi bully, bahan fitnah, dan caci maki masing-masing kubu. Bukan partai politik saja terbelah, media massa juga terpecah, organisasi massa, ulama, kaum akademis, tokoh masyarakat dan entitas lain terbelah dalam arus kepentingan politik praktis. Bahkan kondisi tersebut merambat hingga ke dapur-dapur rumah tangga sehingga menimbulkan keretakan. Misalnya, si istri pro ini, sang suami pro itu, anaknya pro ita-itu, dan seterusnya. Suasana serba gaduh tak menentu. Panas.
Masalah infrastruktur misalnya, berujung ribut. Klaim sana-sini. Isu got pun, riuh tak menentu. Soal Freeport apalagi, gaduh sekali. Belum perihal impor, soal imam sholat atau stuntman, dan lain-lain. Pertanyaan selidik timbul, “Apakah semua ini produk sistem politik yang kita jalani sekarang; dan sampai kapan kegaduhan ini berakhir?”
Ketika bening pikir mencermati, selain kegaduhan sosial politik ini sangat menyerap energi bangsa secara masif, materi kegaduhan pun ternyata cuma berkisar hal-hal hilir. Isu ecek-ecek. Persoalan sepele yang tidak menyentuh sama sekali ke kepentingan nasional. Bukan isu-isu hulu. Boleh dicermati.
Hoax kini seperti industri demi kepentingan politik praktis, membela masing-masing idola dan junjungan. Meme pun bertebaran setiap saat. Saling puja, saling caci, ejek, fitnah dan seterusnya bahkan terkadang, topik kegaduhan justru masalah imajiner. Isu ciptaan hasil rekayasa dan demonologi politik. Peluru-peluru tua.
Lebih unik lagi, para elit politik dan tokoh nasional pun seperti larut dalam narasi kegaduhan yang hampir tak berujung. Ngene (begini) salah ngunu (begitu) salah. Itu namanya rewel, istilah Jawa. Ya kita memang tengah terjebak dalam kubangan “politik rewel” akibat sistem politik ala Barat yang kita anut. Sekali lagi, hingga kapan?
Nah, tahun 2019 nanti secara Masehi merupakan tahun mati/kumpul, atau era atau masanya untuk bermusyawarah mufakat guna membuat keputusan dan/atau kebijakan baru. Entah masalah apa. Kemudian secara Hijriyah (1441), juga kerap disebut sebagai “tahun air.” keduanya (masehi dan hijriyah), air dan mati — sepertinya kompak, saling melengkapi. Artinya akan ada perubahan besar (akibat air) guna menetapkan sesuatu yang baru (akibat musyawarah mufakat). Entah apa ujudnya.
Secara geospiritual, hipotesa liar pun bertabur bahwa akan ada antitesis dari tesis politik rewel yang kini tengah kita jalani. Politik rewel memang terkesan glamour. Tampak mewah di permukaan tetapi miskin substansi.
Nah, jika arus 2019 Masehi dan 1441 Hjiriyah tidak mampu membidani antitesis dari tesis politik rewel, kelak — selain kegaduhan dapat berujung konflik secara fisik di tataran akar rumput, juga di dapur-dapur rumah tangga pun bukan cuma retak belaka tetapi bisa pecah.
Catatan kecil ini bukan kebenaran, tidak juga pembenaran. Ya hanya ramalan ringan berbasis geospiritual. Namanya ramalan, boleh percaya, tidak pun tak masalah. Hukumnya sunah. Cuma jab-jab ringan sembari ngopi menunggu berakhir tahun 2018 yang penuh api dan penyakit (barang kang metu)
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam …
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)