Anatomi Geopolitik Papua

Bagikan artikel ini
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Secara tak sengaja, saya menemukan sebuah buku menarik karya Dr Bernarda Meteray, bertajuk Nasionalisme Ganda Orang Papua. Buku terbitan tahun 2012 ini mulanya merupakan disertasi S-3 penulis yang aslinya berjudul Penyemaian Dua Nasionalisme; Papua dan Indonesia di Nederlands Nieuw Guinea pada Masa Pemerintahan Belanda 1925-1962.
Untuk tulisan kali ini, saya belum bermaksud mengulas secara mendalam apa yang jadi tesis utama Dr Meteray terkait nasionalisme ganda dalam jiwa warga Papua menyikapi nasionalisme NKRI yang sepertinya ada banyak masalah yang cukup krusial di dalamnya. Melainkan terlebih dahulu mengulas segi lain yang tak kalah menarik dari buku ini, yaitu Anatomi Papua secara geografis, yang secara sadar atau tidak, Dr Meteray telah memberikan sumbangan yang cukup berharga bagi masyarakat Indonesia untuk lebih mengenali dan mendalami kekuatan dan nilai strategis Papua secara geopolitik.
Status Papua sebagai bagian integral Indonesia Merdeka sudah ditegaskan sejak awal kelahiran Indonesia sebagai Negara Merdeka dan Berdaulat. Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,  ditegaskan bahwa Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bahwa Indonesia sebagai negara-bangsa mewarisi wilayah Hindia Belanda yang terdiri dari Jawa, Sumetera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Kala itu, Papua merupakan bagian dari Provinsi Maluku.
Merujuk pada studi yang dilakukan Alfred Wallace dalam bukunya The Malay Archipelago, the Land of the Orang Utan and the Bird Paradise terbitan 1890, secara geografis Papua terletak kurang lebih 1 derajat dari selatan Khatulistiwa, antara 130 derajat bujur barat dan 141 derajat bujur timur. Secara topografis, Papua terbagi dalam tiga wilayah. Pertama, wilayah kepala burung yang mencakup: Manokwari, Fakfak, Sorong, Kaimana, Teminabuan, Bintuni, Ransiki, Ayumaru, dan Windesi.
Kedua, wilayah pegunungan tengah sampai utaram yakni Jayawijaya, Nabire, Kepulauan Yapen, Biak, Numfor, Supiori, Sarmi dan Jayapura. Ketiga, wilayah selatan pegunungan tengah yaitu: Mimika, Asmat, dan Merauke.
Adapun secara etnologis Kepulauan Aru dan Kei termasuk dalam kelompok Papua, tetapi secara geografis dan zoologis merupakan bagian dari Maluku.
Pengaruh Islam sudah dimulai sejak abad XVII, yang dapat ditemukan di Kepulauan Raja Ampat, Sorong, dan Fakfak. Penyebaran Agama Islam dibawa oleh orang Maluku dari Tidore, Ternate dan Seram. Bahkan menurut sebuah studi, pula terungkap bahwa pada 1662,  para pedagang Islam dari Tidore, Seram dan Ternate, didapati berada di Onin, di Selatan Papua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa melalui aktivitas mereka itulah perkembangan Islam tidak hanya terjadi di Kepulauan Raja Ampat dan Sorong, melainkan juga di Fakfak, sekitar Teluk Onin.
Adapun Penyebaran Agama Kristen Protestan dimulai pada 1855 di pantai utara sekitar Manokwari, Waropen, Biak, Jayapura, dan Sarmi. Sedangkan Katolik pada 1898 di sekitar pantai selatan antara lain Fakfak, Mimika, dan Merauke.
Barang tentu informasi ini sangat berharga untuk memahami latarbelakang sejarah Papua dalam temalinya dengan wilayah-wilayah lain di Nusantara, meskipun dipandang dalam konteks penyebaran agama. Namun justru di sinilah segi menariknya, betapa melalui penyebaran agama itulah, membuktikan bahwa Papua sudah berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara sejak berabad-abad yang lalu.
Misalnya saja tercatat melalui studi Dr Meteray, bahwa pada awal abad XVI para sultan di Ternate dan Tidore sudah saling bersaing memperebutkian pengaruh atas Raja Ampat di Papua, yang mana hubungan Tidore dengan Raja Ampat dilakukan oleh perwakilan dari Tidore. Sehingga hal ini mengindikasikan bahwa secara politik Kepulauan Raja Ampat dikontrol oleh Tidore dan berkewajiban menyerahkan upeti kepada penguasa Tidore berupa makanan, budak, kora-kora (perahu perang), kacang tanah, rempah-rempah, kulit massoi, penyu, dan burung cendrawasih.
Melalui buku ini pula, terungkap bahwa sebelum ada sistem kesultanan yan diperkenalkan Islam, di Maluku telah terjalin hubungan tradisional dengan Raja Ampat dan Fakfak berkat kedekatan etnis dan budaya karena sejak dulu telah terjadi migrasi dua arah. Yang mana warga Maluku dan Papua saling berpindah tempat.
Menurut analisis Dr Meteray, penyebaran Islam di Papua dimulai di bawah pengaruh Sultan Tidore atas kepulauan Raja Ampat, dan melalui kehadiran Islam kemudian membawa budaya Melayu dalam mempengaruhi tradisi lokal. Bahkan Masyarakat Raja Ampat sering menganggap diri mereka sebagai keturunan Arab.
Hingga kini, tulis Dr Meteray, hampir seluruh masyarakat di Salawati dan Misool merupakan penganut Islam. Istilah rraja diadopsi dari bahasa Melayu yang artinya penguasa. Istilah ini digunakan di seluruh wilayah Maluku dan beberapa daerah berpenduduk Islam di Papua.
Jejak-Jejak Penyebaran Kristen dan Katolik Di Papua
Ternyata, bangsa Belanda bukan satu-satunya yang pernah mengincar Papua sebagai sasaran geopolitik kepentingan nasional mereka. Spanyol, tercatat merupakan bangsa Barat yang pertama kali datang ke Papua. Jejaknya terlihat melalui kedatangan Antonio d’Abreu dan Francesco Serrao pada 1526-1527. Menariknya, yang pertama kali menyebut nama dan penduduk Papua dalam laporannya adalah Pigafetta, seorang pelaut Portugis yang pernah menyinggahi Maluku. Sejak itulah nama Papua dikenal.
Pada 1545, ada orang Spanyol lain lagi, Ynigo Ortiz de Retez, memberi nama Nueva Guinea dengan alasan ada kemiripan penduduknya dengan penduduk berkulit hitam di Guinea, pantai barat Afrika.
Nah, baru pada 1705, pasukan Belanda mengadakan ekspedisi ke Kepuluan Raja Ampat dan untuk pertama kalinya mendapat penjelasan terperinci tentang Papua. Namun Belanda baru menguasai Papua setelah mendirikan “benteng” Fort du Bus di Lobo, Teluk Triton (sekarang wilayah Kabupaten Kaimana) pada 1828.
Benteng ini ditinggalkan pada 1836 karena penyakit tropis dan beberapa kali diserang penduduk setempat. Pembukaan pos pemerintahan yang efektif baru dimulai ketika terjadi persaingan antara Jerman dan Inggris di bagian timur Ne Guinea. Pos pemerintahan pertama dibuka di Manokwari dan di Fakfak pada 1898 dan kemudian di Merauke pada 1905.
Tapi kalau kaitannya dengan penyebaran Agama Kristen, sebenarnya geliatnya sudah terlihat sejak 1855. Dr Meteray mencatat aktivitas zending Protestan dimulai di Mansinam oleh C.W. Ottow dan J.G. Geissler dari Jerman yang diutus oleh Utrechtsche Zendelingsvereniging. Setahun kemudian, pada 1856, Ottow dan Geissler memperkenalkan pendidikan Kristen dengan mendirikan Sekolah Pengadaban (beschavingschool) di Mansinam. Sekolah ini sangat sederhana, disesuaikan dengan taraf kebudayaan asli Papua.
Lantas, bagaimana halnya dengan Penyebaran Agama Katolik? Misi Katolik dimulai pertama kali si Fakfak pada 1898 oleh pastor Yesuit, Le Cocq d’Armandville. Kemudian dipindahkan ke Selatan dan berpusat di Merauke pada 1905. Penyelenggaraan pendidikan diawali dengan pembukaan Sekolah Pengadaban di Merauke, tepatnya di kampung Muting dan Ninati-Digoel pada 1930, di Kimaam pada 1936, dan di Mimika pada 1930.
Untuk daerah pedalaman, Sekolah Kampung baru dibuka di Enarotali pada 1948. Sekolah Sambung dan Sekolah Pendidikan Guru Desa baru dibuka di Merauke pada 1949 dan di Fakfak pada 1951.
Keadaan Sosial Sebelum Perang Dunia II  
Sisi menarik dari kajian Dr Meteray ketika wanita kelahiran Kei, Maluku Tenggara 26 Oktober 1961 ini, mengurai tiga kelompok masyarakat Papua sebelum meletusnya Perang Dunia II. Pertama, kelompok masyarakat pantai utara dan barat yang menerima banyak pengaruh luar melalui orang Eropa dan Orang Maluku serta Sulawesi. Kelompok pertama ini banyak ditemukan di Manokwari, Biak, Waropen, Kepulauan Raja Ampat, Nimboran, dan Fakfak. Mereka ini mendiami wilayah pantai dan menerapkan sistem pertanian berpindah-pindah. Sagu dan ikan merupakan makanan utama masyarakat pantai dan dataran rendah.
Pengaruh luar berasal dari orang-orang Sulawesi Utara dan Maluku Tengah, juga dari pegawai Pemerintah Kolonial Belanda dan zendeling asal Jerman, termasuk dari pedagang luar ketika Sultan Tidore berkuasa di Papua. Pengaruh Kristen dapat ditemukan di sekitar Biak, Manokwari, dan Hollandia (kini Jayapura), sementara Islam umumnya ditemukan di Kepulauan Raja Ampat dan Fakfak.
Kelompok kedua, masyarakat pantai yang sedikit mengalami kontak dengan dunia luar. Umumnya berdiam di pantai selatan Papua seperti Marind Anim, Yagay, Mimika, dan Asmat. Mereka hidup dengan berburu dan bercocok tanam. Makanan pokok mereka adalah sagu. Mereka bergantung langsung pada lingkungan alam demi pemenuhan kebutuhan pokok. Pengaruh budaya dari Eropa dan pulau-pulau lain datang melalui aktivitas misionaris Katolik, Para misionaris yang umumnya berasal dari Maluku Tenggara, khususnya Kei dan Tanimbar, merupakan pegawai Pemerintahan Kolonial Belanda, ada juga yang berprofesi sebagai pegawai Pemerintahan Belanda, guru dan tukang.
Kelompok ketiga, masyarakat pedalaman yang baru berkomunikasi dengan dunia luar pada awal dan pertengahan abad XX. Masyarakat kelompok ketiga ini merupakan penduduk pedalaman. Mereka terisolasi dari dunia luar hingga abad XX. Sebagian besar dari mereka bahkan hingga kini masih hidup secara tradisional, di antaranya warga masyarakat Ekagi, Dani, Moni, Ayfat, dan Mandobo.
Tidak seperti dua kelompok masyarakat di atas, kelompok ketiga ini dapat diklasifikasikan sebagai petani, meskipun menggunakan alat-alat yang sangat sederhana. Orang Ekagi, misalnya, mampu membangun sistem pengairan.
Warga pedalaman, memang umumnya petani. Sementara masyarakat pantai merupakan peramu dan pemburu. Makanan pokok masyarakat pedalaman adalah pisang dan ubi rambat, sedangkan makanan utama masyarakat pesisir pada umumnya sagu, keladi, dan pisang.
Satu lagi sebuah catatan penting dari Dr Meteray.Secara politik, setiap unit komunitas di Papua tidak lebih besar daripada kampung. Masyarakat terbentuk berdasarkan hubungan kekeluargaan, perkawinan, dan keturunan. Setiap kampung memiliki pemimpin sendiri yang umumnya disebut kepala suku. Setiap suku memiliki kriteria sendiri atas orang yang akan dipilih menjadi kepala suku.
Masyarakat Ekagi, misalnya, tidak melihat aspek kekuasaan dan kekuatan, melainkan keberanian, kedermawanan, kejujuran, dan kekayaan. Masyarakat Biak dan Waropen mewajibkan pemimpin mereka berasal dari kelompok keluarga tertentu.
Ketika di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, jabatan kepala suku diubah jadi kepala kampung dan penunjukannya berdasarkan ketentuan Pemerintah Belanda.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com