Buku Bagus Harus Dibaca Berulangkali

Bagikan artikel ini
Bayangkan jika kita hidup di masa lampau ketika aktifitas hiburan yang dinamis seperti jalan-jalan sekitar rumah, berkuda atau berburu, kemudian malam hari disini dengan acara makan malam bersama, mendengarkan piano sambil bernyanyi dan lainnya, maka apa di masa itu orang mengukur intelektual kita dari berapa banyak buku yang kita baca atau jenis buku apa yang kita baca?
Memang tingkat baca di negara ini rendah, tapi orang-orang yang masih rajin baca buku hampir semuanya memiliki mindset bahwa semakin banyak baca buku maka semakin pintar dan semakin luas wawasannya.
Faktanya teknik membaca cepat yang ditemukan tahun 60an sudah mengubah kebiasaan baca, dulunya orang tidak banyak membaca buku, bahkan sangat disarankan untuk membaca buku berkali-kali, seperti dalam buku “how to read book” karangan Mortimer, bahwa buku yang baik itu harusnya dibaca setidaknya tiga kali.
Teknik membaca cepat (skimming dan scanning) sebenarnya saat itu juga sudah banyak menuai kontroversi, ada penelitian yang dilakukan oleh badan ruang angkasa Amerika Serikat NASA membuktikan bahwa pelajar yang belajar dengan teknik baca cepat malah gagal dalam ujian, tapi tetap saja teknik itu terus diterapkan, hingga membentuk mindset bahwa semakin cepat baca buku maka semakin baik, dan semakin banyak baca buku maka semakin pintar.
Sejak menyelesaikan novel masterpiece dari Dostoyevsky : Brothers Karamazov selama tiga tahun, saya tidak pernah mau lagi cepat membaca buku, bahkan saya yakin bahwa semakin lambat buku diselesaikan maka semakin banyak hal menarik yang bisa saya temukan dari buku itu.
Jadi sebaiknya tidak perlu lagi tanya berapa lama saya perlu waktu untuk menyelesaikan satu buku, atau berapa banyak buku yang saya baca dalam satu tahun,
Percayalah, saya ini orang yang paling malas membaca di dunia, bahkan saya juga masih menggunakan teknik baca cepat terutama untuk mensortir email sampah atau posting yang bodoh di media sosial.
Banyak orang yang bisa cepat menyelesaikan novel berat seperti Tolstoy dan Dostoyevsky selama beberapa hari saja, tapi saya yakin mereka pasti tidak bisa menemukan apa isi novel itu, atau apa sebenarnya tujuan dari novel itu ditulis, mereka tidak bisa mendapatkan apapun dari karya sastra legendaris itu kecuali capek membaca, habis waktu dan merasakan sedikit kisah dramatisnya
Jadi bacalah buku sesuai dengan teknik membaca ketika buku itu ditulis, Jika membaca buku klasik seperti Tolstoy, Dostoyevsky atau Jane Austen maka buku itu harus dibaca berulang-ulang, dan dinikmati setiap maknanya,
Dalam novel Sense and Sensibility, tokoh utama Marianne pernah berhenti membaca buku ketika kekasihnya pergi keluar kota, ia lakukan itu karena dia sudah terbiasa membaca buku itu bersama kekasihnya, dan Marianne baru akan melanjutkan membaca buku itu jika kekasih sudah datang.
Buku diperlakukan seperti hiburan kita saat ini, misalnya kita sudah biasa menonton film bersama keluarga maka kita akan menunggu anggota keluarga lainnya jika ingin meneruskan episode selanjutnya.
Jangan pernah takut untuk memulai membaca secara lambat, tidak perlu memasang target berapa lama buku diselesaikan atau berapa banyak buku yang dibaca dalam sebulan, sama seperti film atau lagu yang bagus, buku yang bagus memang harus dibaca berkali-kali
“Tidak ada kenikmatan yang lebih nikmat kecuali baca buku, seseorang bisa bosan dengan segala hal kecuali membaca buku, kalau aku punya rumah maka aku akan menderita jika tidak punya koleksi buku yang terbaik. 
(Jane Austen, Pride and Prejudice).
Susan Devy, peminat seni sastra dan perbukuan, pelaku usaha, dan alumni Institut Pertanian Bogor (IPB). 
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com