Membaca Skenario Harga Minyak

Bagikan artikel ini
Telaah Singkat Asymmetric War
Kenaikan harga minyak dunia niscaya terkait – erat dengan hajatan dari kelompok negara produsen minyak, kenapa? Sebab, merekalah yang paling diuntungkan bila harga meroket. Istilahnya ‘windfall profit‘. Kejatuhan durian.
Jika kemarin, Arab Saudi merupakan produsen terbesar dengan produksi antara 11-an juta barel disusul oleh Rusia dengan produksi 10-an juta barel/hari, agaknya peta produsen kini bergeser ke Amerika (AS) dengan produksi 16 juta barel/hari. Sungguh loncatan produksi yang luar biasa ketimbang sebelumnya yang hanya 10-an juta barel/hari.
Akan tetapi, dari sisi biaya produksi — Arab Saudi jauh lebih efisien. Ia hanya butuh antara 8 – 10-an dolar/per barel, sedangkan AS perlu merogoh kocek sekitar 35 – 40-an dolar/per barel. Jadi, andaikan harga minyak jatuh ke kisaran 20 dolar/per barel pun, misalnya, Arab masih mereguk keuntungan 10-an dolar/barel, sementara Paman Sam justru tekor 20-an dolar. Kenapa?
Selain faktor onshore (di darat), ladang-ladang minyak di Arab Saudi terkenal dangkal, juga kualitas minyak yang “light” (ringan atau cair). Sedangkan kondisi di AS rata-rata sumur tua, dalam, serta menggunakan teknologi sangat mahal.
Dengan demikian, skema meroketnya harga minyak diduga kuat merupakan skenario dari negara produsen berbiaya tinggi lagi mahal. Artinya, ia akan berupaya agar harga minyak dunia jauh melampaui biaya produksi guna meraih profit yang besar.
Ya. Dunia minyak akan terkait-erat dengan geopolitik. Itu sebuah keniscayaan global. “If you would understand world geopolitics today, follow the oil“, kata Deep Stoat pakar strategi AS. Jika ingin memahami dunia geopolitik hari ini, ikuti kemana minyak mengalir. Singkat kata: “Follow the oil“.
Mengapa begitu? Tak lain karena faktor “The Power of Oil” (Kuasa Minyak). Ya, minyak atau oil selain menjadi bahan bakar mobil dan pesawat, ia juga elemen kekuatan militer, kekayaan nasional, dan politik internasional; oil tidak lagi menjadi komoditas untuk diperjual – belikan dalam batas-batas pasokan energi tradisional dan keseimbangan permintaan; minyak penentu keamanan nasional, kesejahteraan dan kekuatan internasional bagi mereka yang memiliki sumber daya vital ini, dan sebaliknya — bagi yang tak memiliki.
Itulah sekilas uraian The Power of Oil dari perspektif geopolitik oleh Dirgo D Purbo, pakar perminyakan Indonesia.
Kini membahas sekilas perang asimetris (asymmetric war) sebagai pisau telaah catatan ini.
Pola asymmetric war mengajarkan tentang pola: isu-tema/agenda-skema alias ITS. Isu ditebar ke publik guna membentuk opini; tema/agenda digulirkan untuk menggiring opini publik; dan setelah isu-agenda ditelan publik maka skema pun ditancapkan, dihampar atau digelar.
Dalam asymmetric war, skema adalah tujuan akhir meski kerap ia cuma pintu pembuka guna meraih (geoekonomi) yang lebih luas lagi. Itulah urutan langkah pada skenario yang akan digelar melalui pola perang nirmiliter atau asymmetric war. Dan skenario dimaksud, boleh dibaca dari isu dahulu, atau ditelusur dari skema terlebih dulu. No problem. Tergantung bagaimana otak kanan membaca atas fenomena yang mencuat di atas permukaan.
Balik ke dunia praktik. Jika skemanya kenaikan harga minyak menjadi 100 dolar/barel, misalnya, maka isu dan agenda yang digulir ke publik ialah kegaduhan atau hambatan pada jalur-jalur distribusi dan/atau gangguan keamanan di tempat/negara produksi minyak.
Tampaknya, isu serangan drone ke kilang minyak Arab Saudi adalah isu pertama dalam rangka mengerek harga minyak. Pemilik hajatan biasanya memanfaatkan konflik yang tengah berlangsung di kawasan baik konflik intrastate (konflik dalam negara) maupun interstate (konflik antarnegara).
Nah, serangan drone ke kilang minyak di Arab selaku isu, milisi Houti di Yaman sebagai kambing hitam. Dijadikan tumbal. Itu sudah jamak di dunia geopolitik. Demikian pula peristiwa kandasnya kapal raksasa di Terusan Suez yang menimbulkan kemacetan pada alur pelayaran hingga berimbas ke Lautan Hindia.
Ya. Adanya kapal kandas selain sebagai isu kedua, juga penebalan isu pertama (serangan drone) ke kilang Arab Saudi.
Lantas, agenda apa bakal digulirkan usai dua isu ditebar?
Tak lain adalah “Kelangkaan minyak”. Ya, kelangkaan akibat tersendatnya jalur distribusi karena ada kapal kandas di Terusan Suez, atau pengurangan produsen sebab ada gangguan keamanan di kilang Arab Saudi. Silahkan perhatikan harga minyak usai dua isu tersebut mencuat di publik, secara perlahan akan naik bahkan harga dapat meloncat secara fluktuatif.
Ada dua retorika menggelitik muncul:
Pertama, siapa di balik isu serangan drone dan kemacetan di Terusan Suez?
Kedua, siapkah APBN Indonesia jika harga oil melonjak 80 dolar/barel, atau bahkan sampai 100 dolar/barel mengingat posisi Indonesia kini sudah menjadi negara pengimpor 1,5 juta barel per hari?
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com