Membaca Teks Peradaban Besar Bangsa Nusantara (Bagian 1)

Bagikan artikel ini
Imam Qalyubi, Staf pengajar linguistik pada prodi. Bahasa Inggris dan MK metode penelitian multikultural di Pasca Sarjana IAIN Palangka Raya Kalimantan Tengah
Bangsa Nusantara adalah sebuah entitas sebuah bangsa besar yang telah eksis sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Berdiam di sebuah wilayah yang dikenal dengan berbagai sebutan antara lain: Nusantara, Melayu, Austronesia/Polynesia. Bangsa Nusantara  dikenal sebagai pelaut tangguh dengan keahlian navigasi yang baik dan didukung oleh teknologi kapal yang canggih sehingga mampu menyentuh sebagian besar tanah Afrika, Amerika dan benua Oseania asumsi ini  didasarkan pada temuan unsur kesamaan bahasa bertipe aglutinatif yang tersebar di benua-benua tersebut. 
Terdapat beberapa temuan mutkahir yang meruntuhkan asumsi-asumsi sesat tentang adanya klaim mulai yang bersifat sederhana sampai pada klaim yang bersifat prinsip. Klaim lainnya juga terkait dengan budaya pembuatan kapal di Nusantara yang selama ini diasumsikan beberapa sejarawan amatiran diduga dipengaruhi oleh bangsa India. Asumsi ini telah terbantahkan oleh Tom Hoogervosrt (2013) berdasarkan kajian arkeologi dan linguistic. Hoogervorst seorang pakar sejarah bidang arkeologi kelautan di University Oxford Inggris dan Leiden University Belanda.
Klaim lainnya terkait dengan pernyataan bahwa asal beras di wilayah Nusantara pada masa lalu dibawa dari Cina. Klaim itu telah terbantahkan oleh Openheimer (2010) dan menemukan fakta sebaliknya bahwa ternyata bangsa Melayu Nusantara telah mengkonsumsi beras sejak 9000 tahun yang lalu, sementara bangsa Cina pada masa itu masih mengkonsumsi talas dan umbi-umbian dan baru mengkonsumsi beras 3000 tahun kemudian dan 2000 tahun kemudian disusul oleh bangsa India.  
1. Pendahuluan
Penulisan artikel ini diawali dengan uraian istilah-istilah yang digunakan dalam judul sebagaimana penggunaan istilah teks, Nusantara dan bangsa Nusantara di atas. Uraian selanjutnya  perihal kebesaran bangsa Nusantara dan aspek-aspek lain yang terkait dengan peradaban Nusantara.
Sebuah proposisi sederhana Ernest Cassier  yang menyatakan bahwa manusia adalah “Homo simbolikum” menyiratkan sebuah pesan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk simbol. Dalam kajian ilmu simbol atau semiotika diri kita dan alam adalah bagian dari seperangkat  simbol itu sendiri. Terdapat beragam istilah digunakan dalam kajian semiotika yang merujuk pada simbol antara lain: tanda, kode, lambang, pesan, isyarat, ikon, indeks dan teks. Sebagaimana Ernest Cassier cenderung menggunakan istilah simbol, Umberto Uco menggunakan istilah kode, Ferdinand de Saussure menggunakan istilah tanda sementara Jaques Derrida lebih terfokus pada penggunaan istilah teks. Teks dalam pembahasan ini mengacu pada objek seperti visual, tuturan, prilaku budaya, patung yang kesemuanya merupakan objek utama dalam kajian semiotika.
Di Nusantara tradisi semiotika telah dikenal sejak jaman purba dan berkembang pada peradaban klasik hingga modern. Beberapa simbol purba memiliki berbagai bentuk mulai dari yang sederhana sampai pada simbol-simbol yang bersifat rumit.  Beberapa simbol yang umum ditemukan berupa lingga/pallus, yoni, kura-kura, dan burung. Sebaran simbol purba berupa  tinggalan megalitik terdapat di beberapa tempat di Nusantara seperti di  Palu Sulawesi Barat, Padang Sumatera Barat, Gunung Padang Jawa Barat, Bondowoso Jawa Timur dan beberapa tempat lainnya yang tersebar cukup merata. Sementara tradisi simbol pada peradaban klasik modern di Nusantara berupa tulisan dan tuturan seperti prasasti, naskah-naskah sastra dan petatah-petitih sebagaimana yang banyak ditemukan dalam tradisi Melayu1 dan Jawa2.
Penggunaan istilah Nusantara pada judul di atas memiliki cakupan yang sangat luas. Beberapa diantaranya adalah Nusantara yang diasosiasikan pada wilayah kekuasaan Majapahit pada abad ke-14 sebagaimana yang tercatat dalam Naskah Negara Kertagama khususnya pada peristiwa sumpah palapa Mahapatih Gadjah Mada sebagai upaya untuk mempersatukan “Wilayah Nusantara3”.
Istilah Nusantara selain mengacu pada ikrar Gadjahmada dalam sumpah palapa juga mengacu pada pengelompokan wilayah berdasarkan pada kajian antardisiplin arkeologi dan antropologi. Dalam kajian antardisiplin tersebut terdapat sebuah klasifikasi teoritis yang disepakati oleh para ahli sebagai masyarakat berbudaya Dongson4 yang mencakup wilayah-wilayah Nusantara. Masyarakat berbudaya Dongson memiliki kemiripan wilayah sebagaimana yang diasumsikan dalam Negara Kertagama dimana kebudayaan pembuatan perunggu tersebut berpusat di wilayah Dongson yaitu nama salah satu wilayah di Vietnam5.
Istilah Nusantara selain mengacu pada peristiwa sumpah palapa, masyarakat berbudaya Dongson, juga terdapat penggunaan istilah Nusantara yang juga seringkali tumpang tindih dengan penggunaan istilah Melayu6.
Selain penggunaan kata Melayu dan Nusantara juga terdapat penggunaan istilah lain khususnya dalam kajian linguistik yaitu Austronesia dan Polinesia yang keduanya juga sama-sama mengacu pada entitas Nusantara. Istilah Austronesia7 sendiri mengacu pada wilayah yang terdapat di wilayah selatan dengan India dan Cina di wilayah Utaranya. Dengan demikian bahwa Austronesia yang dimaksud adalah Asia Tenggara yang sebagian besar merupakan penutur bahasa Melayu.
Dalam kajian linguistik dikatakan bahwa bangsa yang berdiam di wilayah Austronesia atau bangsa Austronesia adalah bangsa besar yang bergerak dinamis dan berdiaspora di berbagai tempat di belahan dunia. Episentrum atau the homeland bangsa Austronesia adalah Asia Tenggara. Kekuasaan bangsa Austronesia dalam kajian linguistik dikatakan melampaui batas-batas Asia Tenggara seperti di Madagaskar, Okinawa di Jepang Selatan, Selandia Baru, Hawai di Amerika dan Pulau Paskah Chile. Gugusan tanah bangsa Austronesia merata di wilayah Asia Tenggara dan sebagian tercecer di benua Afrika dan Australia.  Bahkan Belwood menyebut bangsa Austronesia telah menempati separuh dunia (Belwood, 2000: 142).
Bersambung (Bagian 1 dari 4 tulisan)
Catatan Kaki:
  1. Prasasti berbahasa Melayu di Trengganu Malaysia, Prasasti Melayu Bukit Batu Sumatera, Prasasti Melayu di Vietnam Utara (Periksa, Lombard 1981 dan Collins 2005)
  2. Semiotka dalam tradisi jawa memiliki kategorisasi seperti sesanti, pasemon, sanepan, piwulang kautaman, dan isbat. Sesanti lebih dikenal masyarakat sebagai semboyan. Sesanti umumnya berbentuk frasa yang berisi tentang seruan, motivasi, pembakar semangat, penunjukan identaitas, doa, harapan, kebanggan semangat sebagai bentuk kesatuan, kebersamaan dalam membangun solidaritas. Beberapa daerah di Indoensia memiliki sesanti yang amat terkenal seperti Yogyakarta “Hamemayu Hayuning Bawana”. Pasemon adalah sebuah bentuk sindiran halus rakyat kecil yang ditujukan kepada para petinggi seperti wedana, bupati, atau pada seorang raja pada masa kerajaan Demak Bintoro dan Mataram Islam Jogja dan Solo. Sanepan juga merupakan bentuk sindiran dan umumnya berlaku di sesama atau di kalangan rakyat biasa. Piwulang Kautamaan adalah sebuah bentuk pesan spiritual. Isbat adalah semacam gambaran kata yang berisi tentang gambaran kedalaman rasa (baca Hariwijaya 2013).
  3. Jika mengacu pada sumpah palapa bahwa wilayah kekuasaan Majapahit yang dikenal sebagai Nusantara  meliputi Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, Manila Philipina, Tumasik Singapura, Vietnam, Kamboja dan sebuah Ayodya yang dapat mengacu pada wilayah kecil kuno di wilayah India.
  4. Nama Dongson mengacu pada nama wilayah yang terletak di wilayah Vietnam. Budaya Dongson sendiri adalah budaya pembuatan perunggu seperti nekara, kapak, bejana dan alat-alat yang menyokong kehidupan masyarkat Dongson saat itu.
  5. Hipotesis yang menyatakan bahwa budaya Dongson sebagai pusat budaya Nusantara bisa saja benar karena fakta lain yang mendukung seperti adanya prasasti berbahasa Melayu tertua justru terdapat di sini tepatnya di wilayah Dong-yen chau di sebelah selatan teluk Tourane yang berasal dari abad ke-4 M yaitu tiga abad lebih tua dari prasasti Melayu yang terdapat di Sumatera 683 M maupun prasasti-prasasti Melayu–Jawa kuno yang terdapat di pulau Jawa. (Periksa Lombard 1981:286).
  6. Penggunaan yang bersifat tumpang tindih antara Nusantara dan wilayah Melayu karena dalam kenyataannya memang semua wilayah Nusantara tersebut berpenutur bahasa Melayu. Secara etimologis kata Melayu berasal dari proto Melayu Javanic yang bermakna gesit, pergi, rantau, lari atau hijrah (baca, Saidi: 2003).  Dengan demikian Melayu dapat dimaknai sebagai sebuah simbol yang bergerak, berdinamika dan ber-organisme dan tidak berhenti pada satu ruang dan waktu.  Melayu sejalan dengan namanya yang bersifat bergerak, berdinamika atau berhijrah dari satu tempat ke tempat yang lain dari satu peradaban ke peradaban yang lain.
  7. Istilah Austronesia secara etimologis berasal dari bahasa yunani austro ‘pulau’ dan nesos ‘selatan’. Istilah Austronesia umum digunakan dalam kajian-kajian linguistik terutama lingustic historis comparatives/diakronis.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com