Ternyata Dua Raksasa Dunia Ini yang Bikin Rupiah Menguat

Bagikan artikel ini
“Secara umum, penguatan rupiah ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal, khususnya perkembangan isu perekonomian terkini di ekonomi terbesar pertama, yaitu Amerika, dan terbesar kedua, yaitu China,” kata ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian kepada Kompas.com, Senin (7/3/2016).
Dzulfian menuturkan, akhir pekan lalu, Pemerintah China mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan melakukan reformasi ekonomi, khususnya pada sejumlah BUMN, dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.
Bahkan, dia melanjutkan, Pemerintah China juga mewacanakan adanya kepemilikan gabungan (mixed ownership) atau privatisasi atas sejumlah BUMN mereka.
“Hal ini tentu menjadi kabar sangat menggembirakan bagi para investor, mengingat China memiliki sekitar 150.000 BUMN dengan total aset sekitar 15 triliun dollar AS dan mempekerjakan lebih dari 30 juta orang,” imbuh Dzulfian.
Selain itu, Pemerintah China juga menampik kabar bahwa perekonomiannya akan mengalami pendaratan keras akibat perubahan struktur perekonomian yang awalnya berbasis ekspor dan investasi menjadi berbasis konsumsi domestik.
“Hanya, mereka mengakui bahwa ketidakpastian dan ketidakstabilan global memberikan dampak negatif bagi perekonomian mereka,” ujar Dzulfian.
Pemerintah China, lanjut Dzulfian, juga memasang target pertumbuhan ekonomi 2016 di kisaran 6,5 persen hingga 7 persen, dan tidak akan pernah lebih rendah dari 6,5 persen dalam lima tahun ke depan.
“Angka ini cukup memberikan kepercayaan diri pasar mengingat tren pertumbuhan ekonomi China yang terus menurun, bahkan tahun lalu menyentuh titik terendah dalam 25 tahun terakhir, yaitu hanya sebesar 6,9 persen,” kata dia.
Tentu saja, kata Dzulfian, kabar gembira dari China itu diharapkan berdampak pada naiknya harga-harga komoditas.
Jika harga komoditas kembali bangkit, maka ekspor Indonesia lambat laun akan pulih.
Hal tersebut mengingat, sebagian besar ekspor Indonesia bergantung pada komoditas dengan China sebagai salah satu pasar utamanya.
Adapun kondisi negeri Amerika Serikat (AS) yang memengaruhi kurs adalah pemulihan ekonomi mereka. Seperti diketahui, dollar AS menguat cukup signifikan terhadap hampir semua mata uang.
Pekan lalu, Pemerintah Amerika Serikat merilis penambahan tenaga kerja baru, sekitar 242.000 orang, selama bulan Februari 2016.
Angka pengangguran dilaporkan berkisar 4,9 persen, terendah sejak krisis finansial global 2008.
“Karena mempertimbangkan keseimbangan global, khususnya memberikan ruang kepada negara-negara emerging market, dan juga pemulihan ekonominya, tampaknya The Fed tidak akan menaikkan suku bunga kembali bulan ini,” ujar Dzulfian.
Perpaduan antara optimisme perekonomian China dan angin segar dari AS inilah, kata Dzulfian, yang menjadikan rupiah menguat. Kurs hari ini dikabarkan mencapai Rp 12.984 per dollar AS.
Hanya saja, dia melanjutkan, penguatan ini tampaknya hanya bersifat sementara.
“Tergantung perkembangan perekonomian China, AS, dan dunia ke depannya. Satu hal yang pasti, fenomena ini menunjukkan bahwa rupiah sangat rentan terhadap goncangan eksternal,” pungkas Dzulfian.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com