Pada Januari 2024 lalu Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi masih mengkaji peluang dan untung ruginya jika Indonesia bergabung dengan blok kerja sama ekonomi-perdagangan BRICS yang dimotori oleh Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan. Alasannya dalam proses pengambilan keputusan Politik Luar Negeri segalanya harus diperhitungkan secara matang dan tidak begitu saja dikeluarkan.
Baca: Indonesia Masih Pikir-pikir Buat Gabung BRICS
Politik Luar Negeri RI yang sejak 1948 menganut azas politik luar negeri yang Bebas dan Aktif, memang harus didasarkan prinsip setara dan saling menguntungkan dalam menjalin kerja sama internasional dengan negara-negara lain baik secara bilateral maupun secara multilateral. Lantas bagaimana kita menilai peluang dan untung ruginya Indonesia ketika bergabung dengan BRICS? Mari kita cermati dulu kondisi obyektif prospek dan keberadaan BRICS hingga kini.
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), BRICS yang pada 2009 oleh lima negara tersebut tadi, telah dipandang sebaqgai komunitas internasional yang cukup berpengaruh dan telah memainkan peran yang cukup signifikan bagi negara-negara anggota BRICS. Kelima negara motor penggerak BRICS(Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan), mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Kelima negara tersebut mewakili 40% dari total populasi dunia, 25% dari ekonomi global, dan 17% dari perdagangan internasional.
Dalam konteks ekonomi global, BRICS bahkan melampaui Group of 7 (G7) yang terdiri dari negara-negara maju seperti AS, Inggris, Kanada, Jerman, Prancis, Italia dan Jepang.
(Baca juga: Survei Sikap Mahasiswa FISIP Hubungan Internasional, yang dirilis oleh Indonesia Consulting Group), Januari 2024).
Bahkan menurut data IMF itu pula, menunjukkan bahwa pada 2022 lalu, total gabungan pendapatan Domestik Bruto (PDB) BRICS mencapai 22,5 triliun dolar AS atau sekitar Rp 335.746 triliun, yang berarti melampaui total PDB G7 yang berada di angka 21,4 triliun dolar AS pada tahun yang sama.
Adalah fakta juga bahwa negara-negara yang tergabung di dalam BRICS saat ini telah menjadi pemain penting dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan konteks tatanan politik global. Cina telah menjadi penyokong kekuatan ekonomi utama BRICS, dengan PDB mencapai 18,1 triliun dolar AS, diikuti oleh Indioa (3,3 triliun dolar AS), Rusia (2,2 triliun dolar AS), Brazil (1,9 triliun dolar AS), dan Afrika Selatan (0,4 triliun dolar AS).
Maka tidak mengherankan sama sekali ketika pada perkembangannya keanggotaan BRICS semakin bertambah dengan bergabungnya Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Iran, dan Etiopia.
Segi penting lainnya yang patut jadi pertimbangan Indonesia agar segera memutuskan bergabung dengan BRICS, karena sesuai dengan azas Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif. Mengapa demikian? BRICS sendiri lahir sebagai forum kekuatan menengah yang sejak berdiri pada 2009 lalu, terus mengalami perkembangan dan peningkatan yang cukup pesat. Selain itu BRICS sejak kelahirannya telah menawarkan wacana alternatif terhadap semakin menguatnya hegemoni dan dominasi global AS dan Eropa Barat dalam tatanan global. Sehingga BRICS lahit untuk menjadi Balancing Strategy atau kekuatan penyeimbang bagi negara-negara berkembang, untuk menghadapi hegemoni dan dominasi global AS dan Uni Eropa yang tergabung dalam forum G-7. Sehingga keterlibatan Indonesia dalam BRICS, pada perkembangannya nanti akan semakin memperkuat persekutuan Global South khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan.
Apalagi saat ini BRICS telah berhasil mengembangkan berbagai inisiatif seperti New Development Bank (NDB) dan Cadangan Kontinental Keuangan (CRA) guna mendukung pembangunan infrastruktur dan memperkuat stabilitas keuangan di negara-negara anggotanya. Bahkan BRICS telah berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan strategis di forum-forum internasional seperti Group 20 (G20) dan IMF agar lebih memperhatikan kepentingan negara-negara berkembang, dan memperluas peran negara-negara berkembang dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis di arena global.
Indonesia yang dalam menjabarkan azas Politik Luar Negeri Bebas-Aktif-nya berhasil mempelopori terbentukanya Solidaritas Negara-negara berkembang lewat Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 maupun lintas benua lewat Gerakan Nonblok Beograd 1961, rasanya sangat masuk akal jika Indonesia tanpa rasa keraguan sedikitpun sudah saatnya pada 2024 ini memutuskan bergabung dengan BRICS.
Jika Politik Luar Negeri Bebas-Aktif bertumpu pada prinsip kerja sama internasional yang setara dan saling menguntungkan, BRICS kiranya merupakan forum yang tepat bagi Indoensia untuk ikut serta bersama negara-negara berkembang lainnya semakin memperkuat persekutuan Global South.
Sehubungan dengan hal itu, kita sudah selayaknya mengapresiasi pernyataan Prabowo Subianto, salah seorang calon presiden yang ikut berlaga dalam Pemilihah Presiden 2024, bahwa Indonesia tidak tertutup kemungkinan untuk bergabung dengan negara-negara yang tergabung dalam BRIC, jika menguntungkan secara ekonomi. Semakin menarik lagi ketika Prabowo dalam presentasinya tentang Kebijakan Luar Negeri yang diselenggarakan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 13 November 2023, bahwa dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya, Indonesia menginginkan adanya perdangan yang adil atau fair trade.
Baca Prabowo: Kalau Menguntungkan, Mengapa Tidak Gabung BRICS?
Selain itu Prabowo juga menyatakan komitmennya untuk melanjutkan tradisi Indonesia sebagai negara nonblok yang tidak berat sebelah ke salah satu kutub yang sedang bersaing seperti AS versus Cina saat ini, melainkan berpedoman pada apa yang menjadi kepentingan nasional Indonesia. Dengan demikian, kita tidak terjebak masuk dalam orbit pengaruh kutub blok Barat maupun Timur sehingga kita cuma jadi negara satelit negara-negara adikuasa, melainkan berdiri sama tinggi duduk sama rendah atas dasar prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan.
Hendrajit, pengkaji geoolitik, Global Future Institute