Kontemplasi Hari H Coblosan Pemilu 2024
Kalau tiba-tiba nanti timbul gejolak sosial politik atau rusuh massa di republik ini —apapun pemicu— entah saat, atau usai Pemilu 2024 ini. Kira-kira, apa “sandi gerakan” yang dipakai?
Bisa jadi, gejolak itu bersandi Revolusi Warna (Colour Revolution) sebagaimana dulu melanda negara-negara ex Uni Soviet dan Balkan pada 2000-an silam. Atau, bertajuk ‘Indonesia Spring‘ seperti Arab Spring (Musim Semi Arab) yang pernah bergulir liar di jajaran negara Jalur Sutra (Afrika Utara dan Timur Tengah). Sekali lagi, entah bagaimana pola, nama dan modusnya nanti, tergantung si pemilik hajatan. Itu bukan ranah ki dalang, apalagi cuma wayang.
Tampaknya, bau menyengat menuju konflik sosial alias gejolak massa tersebut mulai tercium di negeri ini. “Ngeri-ngeri sedap”.
Mundur sebentar soal Revolusi Warna. Ya. Ia bukanlah gejolak politik biasa, namun merupakan agenda global di pelbagai belahan dunia atas nama rakyat, lalu menciptakan destabilisasi di suatu negara (target). Tujuannya satu: ganti rezim!
Unik memang. Dalam gerakan, nyaris mengadopsi nama dan warna-warna bunga. Revolusi Mawar di Geordia (2003), misalnya, atau Revolusi Oranye di Ukraina (2004), Revolusi Tulip di Kyrgistan (2005), ataupun Revolusi Cedar di Lebanon (2005), dan lain-lain. Termasuk Arab Spring di jajaran Jalur Sutra yang mengoyak Tunisia, Yaman, Mesir, Libia, Suriah, Bahrain, Iran dan lain-lain pada kurun 2010-2011 silam. Tak semuanya berhasil. Ada yang sukses menjatuhkan rezim, ada pula gagal.
Kemiripan logo pada kedua gerakan (Colour Revolution dan Arab Spring) yakni ‘Tangan Mengepal’ atau ‘Kepalan Tinju’, serta slogan singkat yang artinya ‘CUKUP’ sesuai masing-masing bahasa merupakan isyarat bahwa gerakan tersebut adalah desain global. Di Mesir bernama Kifaya (cukup), atau di Georgia bertajuk Kmara (cukup), di Ukraina disebut Pora (waktunya), di Kyrgistan berslogan Kel-Kel (zaman baru), dan lainnya.
Selain berciri tanpa kekerasan (nonviolent resistance), peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat penting pada gerakan ini, peran pemuda dan juga mahasiswa. Tuntutan yang diusung di setiap gerakan terkait isu-isu lokal namun berimplikasi global. Soal HAM misalnya, atau isu korupsi, demokratisasi, kecurangan Pemilu, isu lingkungan hidup, dan lain-lain.
Hampir semua logo, slogan, terutama taktik dan strategi gerakan bersumber dari buku ‘From Dictatorship to Democracy‘-nya Gene Sharp, sarjana senior di Albert Einstein Institute. Melawan rezim tanpa senjata merupakan metode bakunya, bahkan menjadi kunci strategi demi kesuksesan model revolusi semacam ini. Memanipulasi serta mencuri simpati publik ialah sasarannya melalui media massa dan jejaring sosial seperti twitter, tik-tok, facebook, dan seterusnya.
Menurut Prof Michel Chossudovsky, peneliti di Central for Research on Globalization (CRG), Kanada:
“.. Revolusi Warna adalah operasi CIA mendukung gerakan – gerakan protes guna memicu perubahan rezim di bawah gerakan pro-demokrasi. Tujuan utamanya menggulingkan pemerintah sah melalui protes dan kerusuhan sosial”.
Sedangkan menurut Andrew Gavin Marshall, juga peneliti di CRG, dikatakan:
“.. Revolusi Warna adalah taktik politik rahasia untuk memperluas pengaruh NATO dan Amerika Serikat (AS) ke perbatasan Rusia dan China sesuai salah satu strategi dan tujuan membentuk New World Order (Tata Dunia Baru) dengan membatasi gerak China dan Rusia, serta mencegah munculnya tantangan apapun bagi kekuasaan AS di kawasan itu”.
Agaknya, pernyataan kedua peneliti dari CRG di atas, selaras dengan asumsi Tony Cartalucci, kolumnis di RT NewsChannel:
“Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda menguasai dunia!”.
Upaya ganti rezim bermodel non-kekerasan di pelbagai negara ini, ternyata didukung oleh LSM/NGO berskala global seperti National Endowment for Democracy (NED), misalnya, atau Freedom House dan lain-lain, dimana ia berkolaborasi dengan LSM lokal, kaum pemuda dan mahasiswa setempat selaku ujung tombak.
Gerakan “6 April” dalam Arab Spring yang sukses menjatuhkan Husni Mobarak tahun 2011-an silam, ialah buah atas kerja sama antara NED dengan berbagai elemen pemuda di Mesir khususnya Ikhwanul Muslimin. Atau, terbitnya Resolusi PBB Nomor 1973 perihal Zona Larangan Terbang itu akibat laporan (rekayasa) 70-an LSM lokal di Libya yang didukung NED kepada PBB. Gilirannya dengan berbekal Resolusi 1973, NATO di bawah kendali AS pun membombardir negeri makmur pimpinan Ghadafi. Libya sekarang luluh lantak seperti negeri tak bertuan. Minyak, gas, dan kekayaan alam lainnya menjadi bancaan asing.
Jangan-jangan, gerakan Mei 1998 di Jakarta silam, juga ditumpangi oleh kekuatan asing? Iya pasti. Jelas! Namun LSM internasional yang bermain bukanlah NED seperti di Balkan dan Jalur Sutra, tetapi NDI (National Democratic Institute) yang bekerja sama dengan ‘Ornop Untuk Konstitusi Baru’. Ornop itu akronim dari Organisasi Non-Pemerintah. Asosiasi atau gabungan dari 17-an LSM lokal diketuai oleh ABN.
Melambung sejenak. Bahwa terkait gejolak di Jalur Sutra yang lalu, Karen Brooks, penulis Amerika, mengatakan bahwa Arab Spring itu meniru pola aksi massa pada Mei 1998 di Jakarta yang menjatuhkan Orde Baru. Luar biasa. Hal ini hampir mirip dengan aksi CIA di Chile, dimana gerakan menjatuhkan Presiden Salvador Allende pada 1973 yang disponsori CIA bersandi ‘Operasi Jakarta’. Kenapa? Sebab, pola operasi dan cara bertindak disamakan dengan peristiwa 1965 di Jakarta saat Bung Karno jatuh.
Kembali ke laptop. Tak pelak, dari nama saja —Ornop Untuk Konstitusi Baru— sudah bisa dibaca, bahwa gerakan Mei 1998 dahulu merupakan agenda asing dengan mengeksploitasi protes-protes lokal di akar rumput. Jadi, pelengseran Pak Harto itu hanya sasaran antara, tujuan utamanya ialah ‘kudeta konstitusi’ yaitu mengganti UUD 1945, rumusan the Founding Fathers melalui amandemen empat kali (1999-2002). “Mengubah wajah konstitusi Indonesia menjadi liberal dan kapitalis”. Itulah sepintas tentang Revolusi Warna, Arab Spring, dan aksi non-kekerasan lain yang diremot oleh kekuatan asing di pelbagai belahan dunia.
Pertanyaan pamungkas muncul, tatkala melihat aksi dan social disorder akhir-akhir ini baik sebelum, saat, maupun usai coblosan Pemilu 2024 — mungkinkah ‘Indonesia Spring‘ bakal melanda di Bumi Pertiwi ini?
Ya. Mencermati isu-isu receh seperti fee 7% (korupsi) yang masive dihembus oleh Uni Eropa meski tak ada transaksi (batal) dan belum didukung anggaran negara; atau isu lingkungan hidup atas nama food estate; viral filem Dirty Vote yang ‘menguliti’ elit kekuasaan; ataupun, maraknya petisi dan seruan keprihatinan dari kaum cendikia, beberapa komunitas, serta aksi-aksi unjuk rasa yang mengarah pemakzulan Jokowi — sejauh ini belum tercium tangan-tangan asing bekerja secara langsung. Entah jika sifatnya silent operation. Tak langsung alias menggunakan sistem sel/terputus. Sebab, di dunia intelijen berlaku kredo: “Apa yang tak nampak belum tentu tidak ada”.
Kenapa demikian?
Bukan karena belum terlihat logo ‘Tangan Mengepal’, atau slogan-slogan singkat dalam gerakan aksi melalui simbol nama dan warna-warna bunga sebagaimana ciri gerakan NED. Sekali lagi, bukan soal itu. Mungkin saja pola dan modus NED sudah diganti karena terdeteksi oleh intelijen setempat, kemudian pola itu ditiadakan lagi.
Dalam perspektif geopolitik, Indonesia hingga detik ini — masih menjadi medan kurusetra (proxy war) para adidaya karena faktor sumber daya alam dan geoposisi strategis di antara dua benua dan dua samudra. Jadi, sangat kuat dugaan penulis bahwa intervensi asing itu tetap ada, nyata, dan berada alias berperan.
Secara vulgar, ia bakal muncul di permukaan manakala kepentingannya terganggu atau bertabrakan dengan anasir lain. Boleh dipastikan, mereka terus mencermati secara seksama perkembangan Pilpres 2024 ini. Wait and see.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments