Bukan Karena Jokowi

Bagikan artikel ini
Komtemplasi Kecil di Minggu Tenang
Dua periode kepemimpinan Jokowi di republik ini, seyogianya cukup-lah bagi segenap anak bangsa untuk berkaca diri, sadar, kemudian bangkit dan segera bergerak pada rel yang benar sesuai konstitusi rumusan the Founding Fathers (UUD 1945 Naskah Asli) dengan beberapa penyempurnaan melalui teknik adendum guna menyikapi perubahan lingkungan strategis.
Pada catatan ini, tidak dibandingkan kepemimpinan di tiap-tiap era. Kendati Megawati (2001-2004), misalnya, atau leadership SBY (2004-2009 & 2009-2014) juga berbasis konstitusi baru —kerap disebut UUD 2002— yaitu UUD NRI 1945 hasil amandemen empat kali terhadap UUD 1945 Naskah Asli rumusan para Pendiri Bangsa.
Mengapa?
Sebab, leadership yang dihasilkan dari Pilpres ala Barat yang dianut oleh UUD 2002, cenderung membidani kepemimpinan yang buruk. “Buruk karena faktor sistem politik”. Sebenarnya faktor paling utama dari sepak terjang UUD 2002 ini —sering diistilahkan UUD Palsu— dianggap gagal memenuhi rasa kedamaian dan keadilan rakyat. Ini hak paling dasar warga yang seyogianya dijamin oleh negara.
Bahkan, temuan aktual sejak UUD 1945 diamandemen (1999-2002) hingga kini, yaitu saat rangkaian kunjungan kerja LaNyalla Mattalitti, Ketua DPD RI ke 34 provinsi dan 350 kota/kabupaten, dijumpai hal-hal fundamental di kewilayahan berupa ketidakadilan dan kemiskinan struktural.
Bahwa praktik UUD 2002 ini, selain sudah mengubur Pancasila selaku norma hukum tertinggi di republik tercinta ini, juga dianggap telah menyimpang dari nilai-nilai leluhur. Ya. Wajah konstitusi sekarang berubah individualistik, liberal lagi kapitalis.
Fakta-fakta ini bukanlah karangan bebas, tetapi hasil riset Prof Kaelan dari UGM menyebut bahwa 97% isi UUD 1945 telah diganti dalam amandemen ke-1, 2, 3 dan ke-4. Gila! Diganti lho, bukan sekedar diubah atau diamandemen.
Peristiwa dimaksud sering disebut sebagai Kudeta Konstitusi atau Invasi Senyap oleh asing, karena identik dengan merobohkan dan/atau mengubah total NKRI. Bahkan, ada yang lebih nglunjak lagi, salah satu proxy asing (operator lokal) pelaku pengubah UUD 1945 yakni JT menganggap dirinya sebagai the Second Founding Fathers.
Apakah akibat hal-hal tersebut di atas, atau faktor lain — kini mulai nampak perilaku sebagian warga merujuk apa yang disebut dengan istilah stockholm syndrome. Apa itu? Singkatnya, ia merupakan kondisi mental dan kejiwaan sebagian warga yang justru jatuh cinta kepada penjajah yang tengah/hendak merampas kehidupannya. Itulah beberapa prakondisi, prolog, sekaligus asumsi dalam tulisan ini.
Nah, asumsi-asumsi di atas, mari kita urai satu per/satu agar lebih mudah dicerna, dipahami dan dimengerti.
Pertama, kepemimpinan hasil Pilpres liberal cenderung buruk.
Bukan karena apa. Ya. Semata-mata disebabkan model Pilpres yang menafikan ajaran leluhur. One man one vote itu mengabaikan para hikmat kebijaksanaan melalui wadah musyawarah mufakat. Entah para hikmat yang dipilih secara selektif, atau ditunjuk secara bottom up (proses dari bawah). Yang jelas, bukan ditunjuk dari atas sebagaimana terjadi di era Orde Baru.
Para hikmat di sini, salah satunya ialah raja dan sultan nusantara, si pemilik wilayah, uang, bahkan si empunya rakyat sebelum Indonesia lahir dan berdiri; termasuk bangsa-bangsa lama, ataupun suku-suku yang hingga kini masih hidup, eksis dan berkembang. Tampaknya, peran inilah yang dihapus dalam praktik konstitusi pasca-UUD 1945 diamandemen oleh kelompok ‘bablasan reformasi’ alias kaum neoliberal (neolib).
Lalu, apa dampaknya?
Selain one man one vote atau Pilpres langsung itu membelah bangsa (social enclave) hampir di semua lapis sosial —ini adu domba bangsa via sistem— katakanlah, konflik berkala lima tahunan terasa hingga ke dapur rumah tangga ketika satu rumah beda pilihan. Juga, high cost politic. Politik biaya tinggi. Muncul bandar-bandar kecil di akar rumput dimana ujungnya adalah bandar menengah selaku ‘donatur’. Tanpa sengaja, kondisi ini menarik para cukong ke wilayah politik praktis. Dan itulah titik mula oligarki ekonomi ikut serta mengendalikan kebijakan dan kekuasaan karena faktor (politik) balas budi.
Maksud leadership buruk di catatan ini, bahwa siapapun terpilih melalui Pilpres langsung —one man one vote— bukanlah murni karena faktor ideologi dan program-program yang pro rakyat, tetapi hanya karena framing media, misalnya, ataupun fabrikasi isu, atau faktor propaganda, pencitraan alias realitas semu. Mayoritas rakyat tak kenal siapa mereka. Jadi, yang ditusuk dalam bilik suara bukanlah visi dan ideologi para kandidat, tapi hanya citra si kandidat. Tak lebih. Yang dicoblos pemilih cuma realitas semu.
Hal yang tidak kalah urgen, bahwa Pilpres langsung ini rerata membidani politisi, bukan negarawan. Apa bedanya? Jika politisi hanya berpikir next election, bagaimana memompa elektabilitas, esok ingin berkuasa lagi dan seterusnya; sedang negarawan berpikir next generation, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan lain-lain. Tentu berbeda baik sisi cara maupun orientasi.
Kedua, nyaris tidak ada kedamaian dan keadilan bagi rakyat sejak Pilpres liberal digelar 2004 silam.
Ini terdengar lebay. Agak genit. Breakdown filosofinya begini:
1) bagaimana dapat terwujud kedamaian di publik, sementara setiap lima tahunan rakyat ‘dibelah’ untuk pro ini, pro itu? Kemudian polarisasi tersebut dimobilisir oleh buzzers. Diperluas, diperbesar, lantas dibentur-benturkan di akar rumput. Lengkap sudah, ketika situasi dan kondisi tersebut dikapitalisasi melalui money politic. Gilirannya rakyat jadi bermental NPWP, nomer piro, wani piro?
Seandainya Pilpres diserahkan kepada para hikmat melalui MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara, niscaya budget dan konflik berkurang signifikan. Bila timbul konflik, selain terlokalisir hanya di satu tempat saja (Gedung MPR), secara kuantitatif dan kualitatif juga niscaya mengecil;
2) nonsense bisa terwujud keadilan sosial, tatkala dampak politik balas budi malah membidani 1% warga (oligarki ekonomi) menguasai 50-an persen (%) aset nasional, dan lain-lain.
Ketiga, sebagian warga terjangkit stockholm syndrome. Bahasa gaulnya, lho kok malah ‘jatuh cinta’ kepada orang atau kelompok yang hendak/tengah merampas kehidupannya?
Agak sulit menerangkan sub-bab ini. Entah kenapa. Apakah karena ‘ramah dan sopan’-nya si penjajah, misalnya, atau tak sedikit warga kurang melek ilmu dan wawasan; ataupun, halus lagi sempurnanya pola perang asimetris yang digelar oleh kaum penjajah di negeri ini sehingga nyaris tak teraba; atau, jangan-jangan karena faktor suap, fee, dan konspirasi? Jujur. Saya tak berani menarik simpulan. Itu tadi. Memang agak sulit menerangkan perihal stockholm syndrome, kendati ia ada (being), nyata (reality) dan berada (existance) di masyarakat kita.
Pada momen benturan antara KENARI versus KENARA di Bumi Pertiwi, contohnya, ada sebagian warga justru berpihak terhadap KENARA. Ya, KENARA itu akronim dari Kepentingan Negara Asing, sementara KENARI artinya Kepentingan Nasional RI. Nah, keberpihakan warga pada KENARA secara ‘die hard‘ inilah yang disebut dengan istilah stockholm syndrome. Jatuh cinta kepada si penjajah. Itu singkat keterangannya. Silakan ditafsirkan sendiri.
Jadi, merujuk judul catatan di atas “Bukan Karena Jokowi”, memang! Carut marut tatanan demokrasi di negeri ini bukan semata karena kiprah Jokowi di ujung kekuasaannya yang nir-etika secara kelembagaan, bahwa konstitusi baru hasil amandemen UUD 1945 (1999-2002) sebagai penyebab utama. Jelas. Selain UUD 2002 sudah meninggalkan Pancasila sebagai norma tertinggi, abai terhadap local wisdom leluhur, politik biaya tinggi, juga faktor merebaknya virus stockholm syndrome di publik karena berbagai kondisi.
Sesuai prolog dan asumsi catatan ini, sebaiknya segenap anak bangsa kudu bangkit dan segera bergerak sesuai rel yang benar yakni konstitusi UUD 1945 Naskah Asli, rumusan the Founding Fathers.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com