Tulisan The Economist, berjudul What Jokowi’s Inglorious Exit Means for Indonesia ini menyoroti keberhasilan Jokowi dan akhir yang mengecewakan.
Beberapa poin penting dari artikel ini diterjemahkan oleh AS Laksana, wartawan senior dan sastrawan.
—
Menjelang pemilihan yang dijadwalkan pada 14 Februari, presiden yang akan segera pensiun ini memberikan dukungannya kepada Prabowo Subianto, seorang mantan jenderal dan menantu Soeharto yang memiliki catatan buruk dalam urusan hak asasi manusia dan ambivalensi terhadap demokrasi. Putra tertua Jokowi menjadi pasangan Mr. Prabowo—berkat saudara ipar Jokowi, yang sebagai ketua mahkamah konstitusi telah menghapus batasan usia yang menghalangi keponakannya yang baru berusia 36 tahun.
Dukungan Jokowi menjadikan Mr. Prabowo favorit untuk memenangi jabatan presiden pada upaya ketiganya (ia kalah dalam pemilihan tahun 2014 dan 2019, dan secara gegabah mengklaim bahwa pemilu tersebut dicurangi). Para pesaing utamanya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, keduanya mantan gubernur yang kompeten, menyatakan bahwa kampanye mereka telah diacak-acak atau dibatalkan oleh aparat pemerintah. Ini merupakan pertanda yang mengkhawatirkan bagi Indonesia, dan merupakan akhir yang kurang terhormat untuk Jokowi.
Meskipun ia tidak memenuhi pertumbuhan pesat seperti yang dijanjikan, manajemen ekonominya telah menjadikan Indonesia salah satu ekonomi yang paling baik dalam beberapa tahun terakhir. Kerentanannya terhadap nilai tukar dolar yang kuat dan perubahan arus modal global sempat membuatnya menjadi anggota “Fragile Five” pasar-pasar berkembang. Namun, berkat manajemen yang bijaksana, keuangan publik membaik, dan ekonomi Indonesia menjadi lebih stabil, dengan pertumbuhan sekitar 5% setiap tahun secara konsisten.
Infrastruktur diperbarui, dengan penambahan ribuan mil jalan dan rel. Paket reformasi yang disahkan tahun lalu melonggarkan pembatasan terhadap investasi asing. Dengan mendorong pemrosesan nikel secara domestik, Jokowi telah mendukung pengembangan industri yang siap menghasilkan separuh produksi nikel dunia. Tata kelola yang lebih baik telah memberikan kontribusi, antara lain, pada penurunan deforestasi yang meluas dan telah lama membuat Indonesia menjadi salah satu emiten gas rumah kaca terbesar. Kebijakan luar negeri “nonblok” telah menempatkannya secara aman di antara Amerika dan Tiongkok dalam sebagian besar masalah.
Mr. Prabowo berjanji untuk melanjutkan sebagian besar kebijakan Jokowi, dan itu menenangkan para investor. Namun, mereka terlalu optimistis. Kemajuan yang telah dicapai, yang dilandasi oleh naluri otoriter Jokowi dan delusi tentang kebesarannya, tampaknya sangat mungkin akan ditiru oleh Mr. Prabowo. Mantan jenderal tersebut mendukung proyek mercusuar Jokowi untuk membangun ibukota baru senilai 34 miliar dolar di hutan hujan Kalimantan. Ia tampaknya ingin memperpanjang kebijakan proteksionis untuk nikel—yang hanya akan membawa keuntungan jika permintaan akan logam tersebut tetap tinggi—ke sektor-sektor yang kurang menjanjikan. Dikecam atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia pada era Soeharto—karena itu Amerika dan Australia pernah mencekalnya—ia masih rentan terhadap serangan, termasuk dalam urusan pidato tahun lalu di mana ia mengemukakan rencana perdamaian dengan Putin. Dukungan Jokowi kepada Prabowo kabarnya membuat rekan-rekan teknokrat presiden, termasuk Sri Mulyani Indrawati, menteri keuangan di balik sebagian besar kemajuan, merasa tersisihkan.
Kemenangan Mr. Prabowo tentu saja tidak perlu menjadi akhir dari politik liberal di Indonesia: kemajuan yang dinikmati oleh 200 juta pemilih dapat membuat mereka lebih menuntut di masa depan. Namun demikian, nepotisme yang begitu telanjang dalam kampanyenya sangat memprihatinkan. Jokowi datang pada 2014 sebagai udara segar. Tetapi dengan tidak memperkuat demokrasi Indonesia, bahkan ketika ia telah memperkuat ekonominya, ia meninggalkan aroma kurang sedap di belakangnya.