Pakta Militer JAPHUS dan AUPHUS: Bisa Meningkatkan Eskalasi Ketegangan dan Perlombaan Senjata di Asia Tenggara

Bagikan artikel ini

Eskalasi konflik militer di Asia Tenggara sepertinya akan semakin meningkat seturut rencana perluasan lingkup persekutuan militer antara Amerika Serikat, Jepang dan Filipina (JAPHUS) untuk membendung pengaruh kekuatan militer Cina di Laut Cina Selatan. Tentu saja Pakta Pertahanan AS-Filipina-Jepang tersebut merupakan penjabaran lebih spesifik dari Pakta Pertahanan Empat Negara (QUAD) antara AS, Australia, Jepang dan India di kawasan Asia-Pasifik menurut Strategi Indo-Pasifik (US Indo-Pacific Strategy).

Pakta Pertahanan AS-Jepang-Filipina (JAPHUS) yang dirancang oleh Washington pada awal April lalu, nampaknya pemerintah AS juga akan segera mengembangkan lebih lanjut Sebuah Pakta Militer bersama sebagai pengembangan lebih lanjut dari Pakta Militer Bersama antara AS-Inggris dan Australia (AUKUS) yang diluncurkan pada 2023 lalu. Seperti juga skema JAPHUS, AS nampaknya akan segera mengembangkan pakta serupa di Asia Tenggara antara AS-Australia dan Filipina (AUPHUS).

Sebagaimana dilansir oleh situs berita Asia Times, AS nampaknya memang semakin provokatif memancing ketegangan militer di kawasan Asia Pasifik. Dengan mengerahkan rudal jarak jauh dan menengah di kawasan Asia Pasifik.

Dalih yang digunakan AS untuk mengerahkan rudal jarak jauh dan menengah (long and intermediate range missiles) adalah untuk membendung kemungkinan invasi militer Cina ke Taiwan. Padahal dengan manuver militer AS yang bersifat agresif baik melalui Pakta Pertahanan Bersama JAPHUS maupun AUPHUS) di Asia Tenggara, dan juga dengan pengerahan besar-besaran rudal jarak jauh dan menengah di Asia Pasifik, AS dan sekutu-sekutunya malah memancing meningkatnya perlombaan persenjataan di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara pada umumnya.

Baca:

Pacific shift: US to build a ‘missile wall’ against China

Lebih krusial lagi, ketika Cina pada perkembangannya terpancing untuk juga semakin meningkatkan pengerahan persenjataan strategis dan pasukan militernya di Laut Cina Selatan.

Isyarat tersebut sama sekali tidak mengada-ada mengingat fakta bahwa yang menyatakan rencana pengerahan rudal jarak menengah maupun Tomahawk dan SM-6s pada 2024 ini, adalah Panglima Angkatan Darat AS di Pasifik (Commander of the US Army Forces Pasific), Jenderal Charles Flyn. Pernyataan Jenderal Flyn tersebut disampaikan Halifax International Security Forum di Nova Scotia, Kanada.

Night view of East Asia. Photo: worldmap1.comSekarang jelas lah sudah motif di balik keputusan pemerintah AS untuk membatalkan secara sepihak perjanjian pembatasan senjata nuklir jarak menengah (Intermediate Range Nuclear Forces-INF) antara AS-Rusia pada 2019 lalu. Sehingga AS merasa tidak perlu terikat lagi dengan perjanjian INF untuk mengerahkan rudal jarak jauh-nya (Army;s Precision Strike Missile-PrSM), yang mampu menembak sasaran yang berjarak lebih dari 500 kilomater, di Asia Pasifik.

Lagi-lagi, Panglima Angkatan Darat AS Jenderal Flyn menggunakan dalih adanya ancaman yang membahayakan stabilitas di kawasan Pasifik dari angkatan bersenjata Cina. Meskipun berbagai kalangan masih memandang ancaman invasi Cina ke Taiwan masih bersifat spekulatif, Jenderal Flyn dengan sangat yakin menekankan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi Presiden Xi Jinping untuk membuat kebijakan militer yang agresif di Asia Pasifik.

Tentu saja pernyataan Jenderal Flyn bukan saja spekulatif, namun juga bermaksud memprovokasi keadaan seolah-olah ancaman dari Cina terhadap Taiwan nyata adanya. Padahal kalau kita cermati secara lebih mendalam, apa yang disampaikan oleh Jenderal Flyn hanya mengaitkan kesiapsiagaan militer Cina seolah-olah dimaksudkan untuk sewaktu-waktu menyerbu Taiwan. Juga, Jenderal Flyn yang tentunya juga menyuarakan kebijakan strategis Pentagon, bermaksud memberi kesan bahwa meningkatnya efektivitas informasi dan semakin luasnya lingkup operasi militer Cina, dimaksudkan untuk memperlemah persekutuan AS dan negara-negara di kawasan Asia Pasifik.

Hal itu membuktikan adanya indikasi bahwa AS telah melancarkan geostrategi bersifat hard-power yang mengandalkan kekuatan militer di Asia Pasifik dengan dalih untuk menciptakan stabilitas di kawasan Asia Pasifik, dan adanya ancaman invasi militer Cina ke Taiwan.

Namun demikian, beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand dan Filipina dari Asia Tenggara, maupun Korea Selatan dan Jepang dari Asia Timur, dan juga Australia, sepertinya berkeberatan untuk ikut serta dalam Strategi “Missile Wall” AS. Apalagi pemerintah Thailand  saat ini sedang menjalin kerja sama yang erat dengan Cina, sehingga enggan untuk melakukan kebijakan luar negeri yang mengundang permusuhan dari Beijing. Begitu pula Filipina juga keberatan karena mengkhawatirkan blokade laut Cina sehingga memutus pasokan pasukan militer dari Guam, sehingga bisa memperlemah pertahanan laut dan udara Filipina.

Alhasil Jepang lah satu-satunya sekutu yang jadi andalan AS untuk memfasilitasi penempatan rudal jarak jauh dan menengah AS di Asia Pasifik.

Baca:

Terbesar Sejak 1951,Jepang-AS Tingkatkan Aliansi Militer di Indo-Pasifik

Dalam pertemuan antara Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dalam pernyataan bersama menegaskan bahwa aliansi AS-Jepang tidak dapat dipatahkan. Kedua kepala pemerintahan telah menyepakati beberapa poin penting dalam pertemuan mereka awal April lalu antara lain: Pentingnya dukungan bagi Ukraina, pengembangan bersama teknologi baru, dan rencana kerja kedua negara untuk mengirim astronot Jepang ke bulan.

Selain itu yang paling penting bagi Perdana Menteri Kishida, Jepang berhasil memperoleh komitmen baru dari AS untuk Keamanan dan Stabilitas Asia Timur Laut di tengah semakin meningkatnya kemampuan militer Cina, seraya menghadapi Korea Utara yang belakangan ini semakin meningkatkan program pengembangan rudal balistik jarak menengahnya.

Namun, terlepas dalih AS maupun Jepang untuk meningkatkan postur militernya yang lebih agresid dengan dalih untuk membendung Cina, AS dan sekutu-sekutu strategisnya di Asia Pasifik sedang berusaha memprovokasi Cina. Sebab Cina pun pada gilirannya akan semakin meningkatkan postur pertahanan militernya secara lebih agresif. Seperti misalnya program pengembangan  rudal-rudal jarak menengah  (IRBMS) seperti Dong Feng-26 (DF-26) yang mampu menembak ke sasaran dengan daya jangkau sekitar 400 kilomater. Sehingga mampu menembakkan sasaranya ke pangkalan militer AS di Guam maupun kapal-kapal tempurnya di laut. Belum lagi kemampuan Cina mengembangkan rudal-rudal balistik jarak menengah (MRBMs) seperti DF-21 D yang dikenal sebagai the carrier killer dengan daya jangkau tembak berjarak 1500 kilometer.

Meskipun Cina juga beralasan bahwa pengerahan persenjataan nuklir berupa rudal jarak menengah dan jarak jauh itu hanya untuk mempertahankan diri/self defense, namun tak urung hal itu juga akan menciptakan ketegangan militer dan peningkatan perlombaan persenjataan antar negara-negara adikuasa di kawasan Asia Pasifik. Sehingga pada perkembangannya akan merugikan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya. Tak terkecuali Indonesia.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com