Membaca Ketegangan Yordania Versus Iran

Bagikan artikel ini
Serpihan Isu dan Fenomena Lain dalam Konflik Iran-Israel
Iran mengancam akan menyerang Yordania (selanjutnya ditulis: Yordan) jika masih nekat membantu Israel. Nah, ancaman tersebut, ataupun ‘serangan’ Iran kelak, perlu dikaji sebagai serpihan isu lain dalam konflik Israel versus Iran.
Apa pasal pemicu?
Tak lain, beberapa aksi militer Yordan mencegat rudal dan drone Iran sehingga gagal mengenai target di Israel. Tak pelak, aksi tersebut membuat ‘Iran marah’. Lumayan. Kendati puluhan roket tercegat (dari 300-an roket) di wilayah udara Yordan, aksi tersebut cukup ‘menampar’ Iran di satu sisi, walau pada sisi lain, Abdullah II —Raja Yordan— menuai protes dari rakyatnya karena membela Israel tapi abai terhadap nasib Gaza, juga Raja Yordan disindir Parlemen Eropa.
Atas pro kontra di atas, sebagian orang mengatakan wajar bila Yordan sebagai pemilik kedaulatan (udara) menembaki/intercept rudal-rudal yang melintas di udaranya karena dipersepsikan mengancam warga sipil. “Angkatan Bersenjata kami akan melawan apapun yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan dari tanah air dan warganya, dan kebersihan ruang udara serta teritori,” kata media Pemerintah Yordan.
Pendapat lain justru mempertanyakan, “Adakah rudal atau drone Iran yang nyasar mengenai objek di wilayah Yordan?” Menurut data, sampai saat ini belum ada peluru nyasar ke Yordan. Rudal Iran dikenal memiliki presisi tinggi. Tak mungkin jatuh ke Yordan. Seandainya ada korban dari warga Yordan akibat keliru sasaran, maka kewajiban Yordan melindungi wilayah udaranya dari lintasan benda-benda asing atas nama keamanan tanah air dan keselamatan warganya. Dalam konteks perang tersebut, Iran nyaris belum pernah salah sasaran dan tak satu pun korban di pihak Yordan. Namun demikian, pro kontra tersebut lanjut bergulir hingga kini.
Dari perspektif geopolitik, aksi Yordan kuat diduga hanya test the water. “Memancing reaksi publik”. Khususnya reaksi Iran. Ya. Yordan sebenarnya negara miskin penghasil garam, tapi sebagai catatan khusus bahwa ia merupakan proksi Amerika Serikat (AS). Itu poin andalan. Sementara poin lainnya, AS sendiri selaku ‘tuan’-nya Yordan justru tidak ingin terlibat langsung dalam peperangan Israel versus Iran. Retorika pun berkelindan di ruang geopolitik merangkai asumsi baru, antara lain:
1. Sebagai proksi, kenapa Yordan nekat masuk dalam pusaran konflik Iran melawan Israel; dan/atau
2. Jangan-jangan, intercept terhadap rudal dan drone Iran oleh Yordan atas perintah AS secara silent?
Pertanyaan selidik mencuat mempertebal asumsi di atas, kenapa AS selaku ‘Polisi Dunia’ tidak ingin terlibat dalam konflik Iran versus Israel, padahal dunia tahu stigma Israel ialah ‘AS Kecil’ dan anekdot AS sebagai ‘Israel Besar’ — jika tidak boleh mengatakan Setan Kecil dan Setan Besar seperti julukan terhadap Israel dan AS yang disematkan oleh Imam Khomeni tempo doeloe?
Uraian di bawah ini, mencoba menjawab retorika dan pertanyaan di atas.
Tak boleh dielak, ujung dari perilaku geopolitik negara manapun ialah (meraih) geoekonomi. Pada terminologi lain, geoekonomi kerap disebut bagian dari agenda utama Kepentingan Nasional (National Interest), misalnya, atau lebih mengerucut lagi versi PBB, dimana makna Kepentingan Nasional itu sudah identik dengan kepastian jaminan untuk dapat survive bagi suatu negara yakni food and energy security dan di beberapa negara juga termasuk water (air bersih). Inilah makna poin-poin dalam perspektif geoekonomi.
Secara geostrategi, keengganan AS juga Inggris dan Perancis terlibat dalam konflik Iran melawan Israel, semata-mata terkait energy security-nya. Sebab, Selat Hormuz —merupakan chokepoint tersibuk di dunia— sangat vital dan strategis berada di teritori serta dalam kendali Iran. Karena kodrat geopolitik, Selat Hormuz dilintasi 22 juta barel minyak/per hari. Seandainya selat strategis tersebut ditutup oleh Iran dengan alasan Kepentingan Nasionalnya terganggu akibat konflik dengan Paman Sam, maka selain harga minyak dunia bakal melambung sangat tinggi, juga di dalam negeri AS sendiri niscaya timbul gejolak sosial ekonomi akibat krisis energi berkepanjangan yang akan berimbas pada krisis-krisis lain, terutama krisis politik.
Dan tentunya juga akan memberikan dampak kepada ekonomi negara-negara lain seperti kelompok negara di kawasan Eropa Barat dan Timur antara lain Inggris, Italia bahkan merambah di kawasan Asia Timur seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, termasuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara di antaranya Indonesia. Ini yang mutlak diwaspadai. Kenapa demikian, bahwa nyaris separuh kebutuhan energi AS terutama impor minyaknya berasal dari lintasan di Selat Hormuz, Iran.
Secara geopolitik, ketergantungan AS terhadap (kondusivitas) Selat Hormuz sangat tinggi, dan sisi lain yang dihitung oleh AS bahwa Iran merupakan aliansi Rusia dan Cina dalam BRICS. Keterlibatan AS pada konflik Iran – Israel justru memancing dedengkot BRICS turun gunung. Jika seperti itu, bisa terbangun asumsi baru bahwa pemicu Perang Dunia III nantinya bisa berawal di Selat Hormuz dan perairan sekitarnya.
Sekurang-kurangnya, fenomena lain yang perlu dicatat akibat konflik Iran-Israel antara lain adalah:
1) dunia kurang percaya lagi terhadap teknologi Israel terutama mesin perangnya yang selama ini dimitoskan sangat canggih;
2) melemahnya hegemoni Barat khususnya AS karena sikap plin-plan dan ‘ketidakberdayaan’ selaku Polisi Dunia; dan
3) ada proses pergeseran geopolitik (geopolitical shift) di Timur Tengah yang ditandai perdamaian antara Iran dan Arab Saudi —keduanya kini anggota BRICS— atas inisiasi Cina. Termasuk silent warfare dalam bentuk perang unipolar yang diremote AS versus multipolar yang dikendalikan BRICS.
Demikian sedikit bacaan tentang serpihan isu dan fenomena lain akibat ketegangan Iran dan Yordan, side effect dari konflik Israel melawan Iran.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com