Toni Ervianto, Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) serta alumnus Fisip Universitas Jember dan alumnus program pasca sarjana Kajian Intelijen Strategis, Universitas Indonesia.
Hasil Kongres Rakyat Cina ke-18 telah diumumkan, dimana Xi Jinping yang sebelumnya menjabat Wakil Presiden Cina telah diangkat sebagai Sekjen Partai Komunis Cina (PKC) yang nantinya juga sebagai Presiden Cina. Beberapa pengamat sebelumnya menyebutkan bahwa kekuasaan Xi Jinping tidak akan mutlak, karena kemungkinan jabatan tertinggi militer akan tetap dipegang Hu Jintao yang sekarang menjabat sebagai Presiden Cina, dimana jabatan tersebut akan berakhir pada sidang tahunan parlemen yang diperkirakan berlangsung Maret 2013. Namun, perkiraan para pengamat ini ternyata meleset sebab hasil Kongres Rakyat Cina ke-18 justru telah mengukuhkan Xi Jinping sebagai Ketua Komisi Pusat Militer Cina, sebuah kekuasaan tertinggi di tubuh militer Cina yang membawahi sekitar 2,3 juta personil tempur tersebut. Sementara itu, Hu Jintao akan berhenti total dari kegiatan politik pemerintahan dan PKC.
Elit tertinggi PKC yaitu anggota Komite Tetap Politbiro hasil Kongres Rakyat Cina beranggotakan tujuh orang yaitu Xi Jinping (Sekjen PKC dan Ketua Komisi Pusat Militer), Li Keqiang (Perdana Menteri), Zhang Dejiang (Wakil Perdana Menteri), Yu Zhengsheng (merupakan perwakilan dari oposisi yaitu Ketua Partai Shanghai), Liu Yunshan (Kepala Propaganda), Wang Qishan (Wakil Perdana Menteri dan juga Sekretaris Komisi Sentral Inspeksi dan Disiplin PKC) dan Zhang Gaoli (juga merupakan perwakilan dari partai oposisi yaitu Ketua Partai Tianjin).
Hasil Kongres Rakyat Cina juga mendapatkan perhatian dari Amerika Serikat. Menurut Penasehat Keamanan Gedung Putih, Tom Donilon, memelihara hubungan baik dengan Cina harus menjadi salah satu hal penting dalam masa jabatan Barrack Obama yang kedua kalinya, karena Cina akan memainkan peranan yang besar dalam menyelesaikan berbagai masalah global yang banyak terjadi sekarang ini.
Peranan Cina
Suksesi kepemimpinan di Cina selama ini dilakukan secara ketat, karena memilih pemimpin di Cina ada aturannya tersendiri, baik yang tersirat maupun tersurat. Oleh karena itu, beberapa tokoh yang sangat berambisi menjadi Presiden Cina seringkali menemui kegagalan antara lain Bo Zilai yang merupakan tokoh konservatif di Cina yang “diusir” karena pandangannya yang berbeda dengan pakem yang berlaku di Cina.
Ketatnya suksesi kepemimpinan di Cina tersebut adalah hal yang wajar, karena kepemimpinan di Cina sebenarnya merupakan ekspresi yang monolitik bukan plural. Hal ini terlihat dari ciri kepemimpinan Hu Jintao misalnya yang secara politik sangat trampil menjalankannya walau agak sedikit konservatif, namun Hu Jintao memiliki pandangan yang sangat strategis yaitu Cina harus mempunyai pijakan yang kuat di kawasan yang mengelilinginya seperti kawasan Asia Timur, Asia Tengah bahkan ASEAN.
Pada dasarnya, modal dasar Cina untuk memiliki peranan yang besar dalam percaturan politik global ke depan sudah sangat kuat, hal ini karena pemerintahan Cina yang bersifat state capitalist hanya sedikit terkena imbas krisis ekonomi global. Disamping itu, safety net di dalam negeri Cina juga diperkuat agar tidak terjadi “hollow power (kekuatan kosong)” dan melakukan loncatan teknologi yang cepat. Berbeda dengan Amerika Serikat dan Eropa yang menerapkan sistem liberal, maka kerugian akibat krisis ekonomi global sangat sistemik, bahkan kondisi ekonomi di Eropa saat ini sudah dapat dikatakan ke titik “free fall”.
Modal dasar lainnya adalah upaya Cina melakukan “power balancing” karena adanya intrusi AS dengan memakai Jepang sebagai “tangan kanannya” yang mengganggu Cina. Yang paling membuat marah Cina terhadap AS adalah upaya AS melalui Jepang yang selalu “memanaskan” suasana di Laut Cina Selatan. Bagi Cina, stabilitas kawasan disekelilingnya perlu dijaga untuk selalu stabil dengan lingkungan politik yang tenang, agar modernisasi yang dilakukan Cina tetap berjalan serta ekonomi mereka tetap bergerak.
Cina dibawah Xi Jinping
Xi Jinping adalah kader yang memang telah dipersiapkan oleh PKC, disamping itu Xi Jinping juga pernah tinggal di Amerika Serikat selama dua tahun sehingga mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan masyarakat AS. Xi Jinping juga dikenal sebagai pribadi yang lebih ramah dan tidak kaku seperti Hu Jintao, karena Xi Jinping dinilai beberapa kalangan di Cina lebih moderat dan reformis. Xi Jinping juga pernah belajar dari tokoh reformis Cina yaitu Hu Yaopang dan Zhao Zhiyang, seorang tokoh yang berani secara transparan mendukung aksi mahasiswa di Tianamen, bahkan Xi Jinping berteman dengan anak Hu Yaopang yaitu Hu Dejiang yang sependapat bahwa Cina akan maju jika melakukan reformasi, namun bukan reformasi seperti yang terjadi di Uni Soviet.
Masa depan Cina dibawah Xi Jinping tidak akan jauh berbeda dengan Cina dibawah Hu Jintao, karena Xi Jinping akan mengutamakan kemitraan yang baik dengan negara-negara disekitarnya, sehingga tidak akan ada perubahan kebijakan politik ataupun ekonomi yang drastis dari Hu Jintao ke Xi Jinping, bahkan Xi Jinping lebih konservatif dibidang ekonomi dibandingkan Perdana Menteri, Li Keqiang. Oleh karena itu, kemungkinan Xi Jinping akan membenahi masalah-masalah di dalam negeri seperti akutnya korupsi di PKC, mengadakan reformasi birokrasi serta mencegah terjadinya domestic chaos yang dipicu class struggle.
Kebijakan Xi Jinping terkait dengan muslim Uighur di Xinjiang dan Xinchian, Tibet ataupun Falun Gong tidak akan berbeda dengan Hu Jintao. Xinjiang dan Tibet akan terus diupayakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Cina, karena Tibet sebagai penghasil air bersih sangat penting bagi Cina. Oleh karena itu, Cina akan bersikap tegas bahkan kalau perlu melanggar HAM terhadap kelompok tertentu yang ingin melepaskan Tibet dari Cina, karena Cina tidak akan pernah memberikan kemerdekaan terhadap Tibet. Sedangkan dalam kasus Falun Gong, Cina berprinsip anggota Falun Gong melawan PKC dan di Cina dikenal prinsip “tidak ada dua matahari” dan Cina juga tidak takut dengan gertakan HAM dunia internasional.
Menurut ahli masalah Cina dari University of Singapore, Bo Zhikua menyatakan, Perdana Menteri Cina yang baru, Li Keqiang merupakan lulusan Universitas Beijing yang berpaham liberal, namun tidak sama dengan Gorbachev sehingga Li Keqiang tidak akan tergesa-gesa melakukan perubahan sistem di Cina.
Ada empat modernisasi baru (Xin Si Hua) yang akan dilakukan Li Keqiang dalam 10 tahun ke depan yaitu pertama, fokus pada bidang transformasi ekonomi. Kedua, mendorong perkembangan industrialisasi. Ketiga, mendorong perkembangan teknologi informasi. Keempat, membangun desa menjadi kota dan modernisasi sistem pertanian (Koran Yindunixiya Shangbao, 22 November 2012)
Apa yang dilakukan Cina dalam konteks mencapai kepentingan nasionalnya adalah wajar saja, karena kepentingan nasional Cina yang dikejar sekarang ini antara lain seperti dikemukakan Gregory C Chow dalam bukunya “Memahami Dahsyatnya Ekonomi Cina” dengan mengatakan, PDB AS pada tahun 2007 sebesar US $ 13,8 trilyun, sedangkan Cina US $ 7,1 trilyun. Dengan tingkat pertumbuhan yang diasumsikan 2,8% dari tahun 2007 s/d tahun 2020, maka PDB AS pada tahun 2020 diperkirakan US $ 19,76 trilyun, sedangkan PDB Cina mencapai US $ 19,78 trilyun.
Yang penting untuk dipetik pelajaran dari Cina buat Indonesia adalah upaya mencapai kepentingan nasional kita harus diupayakan secara cepat dan tepat serta jangan mau diintervensi kepentingan ataupun nilai-nilai asing/global.