Akibat mesin-mesin (media) propaganda yang beroperasi secara sistematis lagi masif guna membelokkan opini publik —soal Aleppo— agaknya, publik pun terbelah menjadi dua kelompok saling berhadapan, meskipun ada kelompok lain yang memilih menjauh dari hiruk-pikuk propaganda serta ingin secara jernih mencermati kejadian dari sisi “mengapa ia terjadi,” bukan sekedar “apa yang terjadi.”
Golongan pertama melihat, bahwa peristiwa Aleppo sebagai kemenangan tentara Suriah merebut kembali kota tersebut dari tangan pemberontak; golongan kedua menggebyarkan ada peristiwa dan/atau tragedi kemanusian di Aleppo akibat serangan tentara Suriah dibantu Rusia dalam rangka mengusir kaum pemberontak (makar). Pro-kontra inilah yang kini menggeliat pada ranah publik (global hingga lokal) dimanapun.
Setiap tujuan niscaya membawa korban. Itu sudah jamak dalam dunia politik. Demikian pula upaya Bashar al Assad merebut kembali Aleppo dari cengkraman kelompok makar, tak boleh dipungkiri, berjatuhanlah korban anak-anak dan perempuan. Pada titik inilah, gegap blow up dan/atau eksploitasi mesin propaganda (media) Barat sebagai tragedi kemanusian begitu gencar. Dan propaganda tersebut relatif berhasil, oleh karena pasca perebutan Aleppo, Arab Saudi, selain mengusir Duta Besar dan memutus hubungan diplomatik dengan Rusia, ia juga membentuk aliansi (baru) militer dari 34 negara Islam, kecuali Iran dan Indonesia.
Tampaknya mapping baru blok/aliansi militer di tingkat global pasca tragedi Aleppo bakal kian terang benderang. Siapa berkawan mana, apa melawan siapa, dan seterusnya.
Uniqnya, pada fenomena pembentukan blok militer baru tersebut justru Iran dan Indonesia tidak masuk ke koalisi negara-negara Islam (prakarsa Arab Saudi). Hal ini menarik untuk dikaji, kendati Menlu RI Retno Marsudi telah resmi menyatakan bahwa sejak awal koalisi militer yang ditawarkan Arab Saudi dalam Center for Counter Extremism and Terorism tak sejalan dengan undang-undang (UU) Indonesia yang menganut paham hubungan internasional bebas aktif.
Nah, melalui asumsi geopolitik sebagai pisau bedahnya, penulis mencoba mengkaji Aleppo dari aspek “mengapa ia terjadi,” atau menguak hal yang tersirat dari apa yang tersurat. If you would understand world geopolitic today, follow the oil (Deep Stoat). Bila ingin memahami bagaimana geopolitik hari ini, ikuti aliran minyak. Ini pisau pertama. Pisau kedua ialah teori propaganda, “Tebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik maka kebohongan itu akan menjadi sebuah kebenaran” (Joseph Gobbels).
Mengapa Aleppo menjadi ladang rebutan para adidaya?
Dalam konteks geopolitik, berbicara tentang Aleppo mutlak harus membahas Suriah selaku induk karena ia bagian kedaulatannya. Keuniqan Aleppo, selain dianggap kota tertua di dunia, pusat perdagangan, juga faktor keberagaman baik agama, budaya maupun warga/etnik —Aleppo pernah dibawah kendali berbagai negara— termasuk oleh Perancis, Tartar, Mongol, dan lain-lain. Dan baru 1944-an, ia menjadi bagian dari kedaulatan Suriah.
Membaca konflik Aleppo hari ini, tak boleh lepas dari gerakan Arab Spring yang pernah melanda penggalan Jalur Sutera —Timur Tengah dan Afrika Utara— dekade 2011-an dimana “gerakan” tersebut bisa menjatuhkan Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, Abdullah Ali di Yaman, dan seterusnya. Sekilas Arab Spring, ia adalah modus perang asimetris ala Barat dimana perannya sebagai pengganti modus kolonialisme klasik ala militer (konvensional) pasca Barat/Amerika dan sekutu (NATO dan ISAF) yang “babak belur” ketika melakukan invasi militer di Irak dan Afghanistan (2001 – 2011).
Suriah, Iran dan Libya juga target Arab Spring selain Tunisia, Yaman dan Mesir yang tergolong sukses. Namun modus baru (gerakan massa) tadi gagal total karena rakyat (Libya, Suriah dan Iran) memiliki daya tahan serta daya tangkal terhadap provokasi yang ditebar oleh National Endowment for Democracy (NED) cq CANVAS (Central Applied Non Violent Action and Strategic), mereka ini operator Arab Spring. Singkat kata, gagal melalui Arab Spring di Libya, Suriah (dan Iran), kadar gerakan ditingkatkan menjadi perang sipil atau pemberontakan bersenjata (makar) terutama difokuskan di Libya dan Suriah, dimana pelatìhan bahkan pendanaan kaum makar ini didukung oleh Arab Saudi, Qatar, Turkey (dan Jordan?) “proxy“-nya Barat di Timur Tengah.
Pola serbuan kolonialisme ke Libya dan Suriah sejatinya serupa tapi tidak sama. Dengan kata lain, kegagalan Arab Spring di kedua negara, seketika dinaikkan kadarnya menjadi perang sipil, dimana para pemberontak justru disuplai dan dibiayai oleh Barat cq negara proxy di atas tadi. Sedang ketidaksamaan pola di kedua negara selain tentang isu yang ditebar sebagai pintu masuk, juga soal Resolusi PBB. Kalau isyu yang ditebar di Libya perìhal kepemimpina tirani, demokrasi dan HAM, sedang isu di Suriah tentang konflik sektarian antara Syi’ah-Sunni, senjata kimia, dan lain-lain.
Selanjutnya bila isu di Libya mampu menerbitkan Resolusi PBB No 1973/No Fly Zone lalu NATO pun membombardir Libya hingga luluh lantak, sementara di Suriah hingga detik ini, tak secuil pun Resolusi PBB diunduh sebab selalu dijegal veto Rusia dan Cina. Demikian kilas balik secara singkat sebelum peristiwa di Aleppo ramai di permukaan.
Dengan demikian, mencermati kasus (Aleppo) bukanlah faktor yang berdiri tunggal sebagai “tragedi kemanusian” sebagamana blow up media-media tertentu, akan tetapi merupakan rangkaian dari upaya Barat dkk melalui kaum pemberontak untuk melengserkan Assad, namun mendapat reaksi perlawanan signifikan. Dan sebagaimana jamak di dunia politik, bahwa setiap tujuan (merebut kembali Aleppo) akan selalu membawa korban. Ini yang kini mencuat di panggung geopolitik global.
Pertanyaannya sekarang, “Kenapa Barat sangat bernafsu melengserkan Bashar al Assad?”
Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments