Ancaman Golput dan Netralitas PNS

Bagikan artikel ini

Masdarsada, peneliti Fordial, Jakarta

Belum lama ini di Padang, Sumatera Barat, sekitar 4.000 guru honorer melakukan aksi unjuk rasa di Kantor DPRD Padang menuntut peningkatan kesejahteraan. Jika tuntutan tidak dikabulkan, mereka mengancam akan memilih golput pada Pileg 9 April 2014. Selama ini gaji guru honorer tidak lebih dari Rp300.000,- per bulan, bahkan ada yang di bawah itu. Menyikapi tuntutan tersebut, Komisi IV DPRD menyayangkan ancaman para guru honorer yang akan golput pada Pemilu 2014 karena akan merugikan diri sendiri dan tidak ada perwakilannya yang akan berjuang di DPRD. Sedangkan, salah seorang pengamat politik IAIN Imam Bonjol mengatakan, wajar para guru honorer mengancam golput, karena selama ini aspirasi mereka tidak diperjuangkan oleh DPRD Kota Padang yang telah mereka pilih. Mereka menilai selama ini para anggota dewan hanya memperjuangkan kelompok dan golongannya saja.

Berapa jumlah Golput yang terjadi dikota Padang/Sumatera Barat akan terlihat pada akhir pemungutan suara, ketika jumlah suara dihitung. Jumlah suara yang tidak memilih akan kelihatan dari jumlah warga negara Indonesia yang berhak memilih dari daerah pemilihan Kota Padang tetapi tidak hadir ke TPS ditambah jumlah surat suara yang kosong. Secara orang per orang tidak akan mudah didetek siapa yag ternyata bersikap golput pada saat hari pemungutan suara.

Oleh sebab itu semua ancaman berupa tindakan hukum bagi mereka yang golput tidak akan mempunyai dampak mencegah terjadinya golput, karena sulit menetapkan orang per orang menggunakan hak pilihnya atau bersikap golput. Empat ribu guru honorer tersebut tidak tinggal dalam satu asrama, satu RT, satu RW bahkan tidak dalam satu desa. Mereka tersebar diseluruh wilayah kota Padang, bahkan mungkin desa-desa disekitarnya.

Empat ribu guru honorer yang mengancam mogok apabila tuntutannya tidak dipenuhi akan sangat mudah melaksanakannya ancamannya dan akan sangat sulit dilakukan deteksi setelah pemilihan terjadi. Oleh sebab itu apabila empat ribu guru honorer yang akan melakukan aksi tersebut adalah orang-orang yang militan, sangat mungkin jumlah golput di daerah Kota Padang akan benar-benar terjadi.

Pada sisi lain masalah golput ini jangan menjadi satu-satunya alasan bagi Pemprov Sumatera Barat menanggapi atau tidak menanggapi keluhan warganya, yang menuntut jaminan kesejahteraan yang pantas bagi sebagian kecil warganya. Tentu ada sebab-sebab konkrit nasib para guru honorer tersebut belum bisa diselesaikan, tetapi sebagai tenaga yang telah bekerja jelas ada hak-hjak mereka yang pantas diberikan.

Pemda Kodya Padang harus sadar memikirkan kesejahteraan bagi warganya adalah tugas utamanya, bahkan Pemda Kodya Padang tidak bisa memaksa warga Kodya Padang untuk memberikan suaranya pada saat Pemilihan Umum, apalagi dengan menggunakan ancaman dan kekerasan, meskipun Pemda Kodya Padang mempunyai kewajiban untuk bisa meyakinkan warganya, bahwa memilih adalah Hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia yang taat kepada kewajibannya.

Oleh sebab itu yang terbaik adalah Pemda Kodya Padang menjanjikan akan menyelesaikan masalah guru honorer di Kodya Padang, tetapi Pemda Kodya Padang mengingatkan bahwa memberikan suara bagi setiap WN Indonesi dimanapun berada, antara lain di kota Padang, adalah kewaajiban setiap warga Negara yang memahami hak-hak dan kuajibannya.

Netralitas PNS

Sebelumnya, di Jawa Tengah, salah seorang anggota Divisi Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga Panwaslu Wonosobo mengatakan, kampanye terselubung yang dilakukan calon DPD Jateng dari PGRI dengan melibatkan sejumlah PNS guru di Wonosobo sedang ditangani Bawaslu. Dari hasil temuan Panwaslu di lapangan saat ini sejumlah guru masih memobilisasi massa karena pelanggaran yang dilakukan tergolong masif dan terstruktur.

Sejumlah bukti-bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa yang menjadi pemegang komando adalah para guru PNS dengan memperalat para guru honorer. Keterlibatan PNS, termasuk guru dan honorer dalam kampanye pemilu diancam hukuman pidana dan sanksi administratif. Penggelontoran dana aspirasi tidak dilarang namun jika bertujuan mempengaruhi orang untuk memilih sudah masuk dalam domain pelanggaran pemilu.

Menurut penulis, Pemilihan Umum adalah program negara, oleh karena semua aktivits yang bertujuan menggagalkan Pemilihan Umum dapat dituntut melakukan pelanggaran hukum dengan tuntutan pidana tertentu.

Semua aktivitas yang bersifat menghasut orang lain agar tidak mermilih jelas merupakan perbuatan yang dapat dikatagorisir sebagai upaya menggagalkan Pemilu, sehingga bisa dituntut secara pidana.

Ol;eh karena itu dengan alasan apapun aktivitas seorag tokoh PGRI didaerah Wonosobo yang menghasut berbagai orang anggota PGRI agar tidak memilih, jelas merupakan tindakan pelanggaran hukum, sehingga bisa ditindak.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com