LAPORAN UTAMA: Georgia, Basis Operasi Militer-Intelijen AS dan Israel Destabilisasi Rusia

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Beberapa indikasi menunjukkan bahwa persekutuan strategis Amerika Serikat-Israel-Arab Saudi untuk melancarkan aksi destabilisasi terhadap Rusia, termasuk aksi teror di Volgograd, telah menggunakan Georgia sebagai basis operasi mereka. Termasuk dengan menjadikan Georgia sebagai sarana transportasi pengiriman senjata illegal ke pelbagai negara baik di kawasan Asia, Afrika, maupun yang berdekatan secara geografis dengan Rusia. 

Adakah kaitan aksi teror di Volgograd dengan sikap Rusia yang secara tegas mendukung Presiden Suriah Bashar al Assad?  Belum bisa dipastikan. Namun ada satu fakta menarik. Beberapa minggu sebelum terjadinya aksi terror di Volgograd, Kepala Badan Intelijen Arab Saudi Pangeran Bandar bin Sultan telah berkunjung ke Moskow menemui Presiden Vladimir Putin. Dalam pertemuan tersebut Bandar bin Sultan mendesak Putin agar menghentika dukungan dan bantuannya kepada Presiden Assad.
Dari penelusuran bahan-bahan pustaka yang dirangkum oleh Tim Riset Global Future Institute, kunjungan Bandar bin Sultan ke Moskow beberapa minggu sebelum aksi teror di Volgograd yang dulunya bernama Stalingrad itu, nampaknya merupakan yang kedua kalinya. Pertemuan sebelumnya dengan Putin, terjadi pada Agustus 2013.
Melalui dua pertemuan dengan Putin tersebut, Bandar bin Sultan selain mendesak Putin menarik dukungannya terhadap Assad, sekaligus menawarkan beberapa konsesi menarik seraya mengeluarkan ancaman bahwa kalau jika Presiden negri beruang merah tersebut menolak, Rusia akan akan jadi sasaran serangkaian aksi teror yang akan dilancarkan oleh beberapa elemen dari kelompok pemberontak Chechnya yang  berada dalam orbit Arab Saudi.
Namun Putin agaknya menolak bujukan dan ancaman Arab Saudi tersebut, bahkan balik mengancam pihak Saudi bahwa Rusia akan menyerang pangkalan-pangkalan di Arab Saudi yang diyakini sebagai sarang kelompok-kelompok teroris binaan Saudi.
Terlepas dari tekanan maupun ancaman pihak Saudi terhadap Rusia, mungkinkah Arab Saudi seberani itu menekan dan mengancam Rusia jika tidak ada dukungan dan perlindungan dari belakang layar dari Amerika? Artikel kami terdahulu, Tangan-Tangan Amerika dalam aksi teror di Volgograd, secara jelas mengindikasikan adanya keterlibatan Amerika melalui jaringan Islam radikal Al Qaeda yang melakukan penetrasi dan kooptasi terhadap kelompok separatis Chechnya. Lantas, adakah keterlibatan Israel di balik tekanan dan ancaman Saudi terhadap Putin?
Berita yang sempat beredar beberapa waktu yang lalu, dilaporkan tentang adanya pertemuan rahasia antara Kepala Badan Intelijen Arab Saudi Pangeran Bandar bin Sultan dengan Kepala Badan Intelijen Israel beserta pejabat tinggi Israel lainnya di Jenewa Swiss pada 27 November 2013.
Dalam pertemuan antara Pangeran Bandar bin Sultan bersama para pejabat Israel itu, dibahas  tentang upaya untuk mengontrol pengaruh kelompok-kelompok radikal dalam perang saudara di Suriah, meredam kekuatan Ihwanul Muslimin (IM) di dunia Arab, dan menghentikan gelombang Musim Semi Arab.
Terkait agenda yang dibahas dalam pertemuan tersebut, memang bisa jadi hanya sebuah kamuflase belaka. Namun fakta bahwa ada pertemuan rahasia antara para petinggi intelijen dan keamanan Saudi dan Israel, mengindikasikan adanya kerjasama yang jauh lebih strategis daripada sekadar membahas upaya mengontrol kelompok-kelompok radikal Islam mengingat pada kenyataannya kelompok-kelompok berbendera Islam tersebut sejatinya merupakan binaan badan intelijen CIA Amerika dan Inter Service Intelligence (ISI) Pakistan, yang barang tentu juga atas sepengetahuan Arab Saudi dan Badan Intelijen Israel Mosssad.
Perang Asimetris Amerika dan Israel terhadap Rusia
Dengan kata lain, selain Amerika, kemungkinan Israel memainkan peran terselubung dari belakang layar, kiranya perlu dipertimbangkan. Ahmad Yanuana Samantho, menginformasikan adanya diskusi terbatas dari Desk Strategis Wirakartika. Melalui diskusi tersebut, Samantho menginformasikan adanya RENCANA ODED YINON, sebagai strategi Israel menciptakan konflik Islam dengan menggunakan Islam berhaluan Salafi Wahabi yang berhaluan keras sebagai pion.
Gagasannya adalah sebagai berikut. Sejak tahun 1970, ahli strategi Israel, telah merancang sebuah cara agar keberlangsungan Negara Israel tetap eksis dan jauh dari serangan musuh-musuh Israel.
Taktik yang digunakan adalah dengan menciptakan konflik sektarian ditubuh kaum muslimin agar mereka disibukan untuk saling berkelahi satu sama lain. Israel tak dapat bermain sendiri, perlu pion yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan Oded Yinon, adalah Amerika Serikat yang memainkan peran untuk memainkan sekutu dekat Amerika yang diikat dalam Anzus Treaty.
Adalah Saudi Arabia yang memiliki potensi besar sebagai garda terdepan dalam memuluskan Rencana Oded Yinon, Saudi memiliki idiologi wahabi dengan pengikut militan yang menamakan dirinya sebagai kelompok salafi. Dan gerakan salafi yang “tak sadar telah dimainkan oleh Israel” menjadi boneka-boneka oded yinon dengan dalih pemurnian akidah islam menghantam gerakan Islam baik dari kalangan Madzahb ahlu sunnah (di Indonesia, Nahdlatul Ulama/NU) maupun madzhab Syiah.
Menyimak informasi tersebut, maka persekutuan strategis Arab Saudi-Israel menjadi satu hal yang cukup masuk akal. Pertanyaannya adalah, rencana aksi macam apa yang mereka lancarkan terhadap Rusia? Benarkah semata-mata karena gusar terhadap dukungan total Rusia terhadap pemerintahan Presiden Assad di Suriah? Sepertinya ada sesuatu yang lebih strategis yang hendak disasar oleh persekutuan Arab Saudi-Israel sebagai negara satelit Amerika.
Dalam sasaran geopolitik Amerika, di Rusia ada kawasan Heartland(daerah jantung) yang sejak lama hendak mereka kuasai, yaitu penguasaan pipanisasi BTC(Baku, Tblisi, Ceyhan), dimana geopolitics of pipeline itu melingkar lintas negara dari mulai Azerbaijan, Georgia dan Turki. Maka untuk menguasai jalur pipanisasi di wilayah Heartland Rusia tersebut, maka ancaman yang berasal dari kelompok-kelompok radikal Islam sepertinya memang sengaja dihembuskan oleh pihak Amerika sebagai bagian dari aksi destabilisasi Amerika di kawasan Heartland  dan Kaukasus.
Pada tataran ini, indikasi keterlibatan kelompok separatis Chechen dan Al Qaeda dalam aksi terror di Volgograd harus dibaca sebagai bagian dari aksi destabilisasi terhadap Rusia, yang tujuan akhirnya adalah mempunyai pengaruh geopolitik terhadap kawasan Heartland dan Kaukasus di Rusia. Karena baik kelompok separatis Chechen maupun Al Qaeda bukan merupakan kelompok bersenjata yang secara independen bebas dari campur tangan Amerika dan Israel.
Dengan demikian, aksi teror di Volgograd bisa dibaca sebagai bagian dari rencana Perang Asimetris Amerika dan satelit-satelitnya seperti Arab Saudi dan Israel, untuk melemahkan Rusia di wilayah Kaukasus. Tujuan strategisnya tentu saja penguasaan minyak di kawasan ini. Dan ini sejalan dengan skema Zbigniew Brzezinsky yang sejak era pemerintahan Jimmy Carter hingga Barrack Obama, merumuskan sasaran strategisnya adalah untuk melumpuhkan Rusia dan Cina di berbagai kawasan punya nilai strategis dari sisi geopolitik.
Georgia: Basis Operasi AS dan Israel Destabilisasi Rusia
Dan Israel, dari berbagai sumber pustaka yang berhasil dihimpun Tim Riset Global Future Institute, menggunakan Georgia, negara eks Uni Soviet, sebagai basis operasi militer dan intelijen mereka untuk menggoyang stabilitas Rusia. Hal ini bisa ditelisik melalui keterlibatan Daniel Alvirez, agen perdagangan senjata asal Amerika, yang juga merupakan Presiden Direktur pabrik manufaktur senjata Bull Shoals di Arkansas.
Gimana cerita awalnya sehingga Alvirez yang  notabene berasal dari Miami Florida AS tersebut bisa-bisanya terlibat sebagai pemain kunci dalam penjualan senjata di Georgia? Pada Februari 2008 lalu, sebuah perusahaan agen pembelian senjata  bernama A’s dari cabang yang beroperasi di Israel, menjalin kontak dengan Alvirez untuk membahas pembelian senjata.
Dalam hal ini A’s company bertindak mewakili kepentingan Pemerintah Georgia yang bermaksud membeli beberapa persenjataan strategis. Maret 2008, Alvirez mendapat kabar bahwa jarigan agen-agen senjata asal Miami Flrorida telah ikut serta membantu memfasilitasi penjualan senjata kepada Pemerintah Georgia.
Pada Maret 2008 itu juga, Alvirez mulai beraksi dengan mengontak seorang eksekutif perusahaan pemasok senjata untuk memfasilitasi A’s company yang merupakan agen pembelian senjata yang berbasis di Israel tersebut sehingga bisa membeli berbagai jenis persenjataan yang jadi keinginan Georgia. Rupanya Alvirez ini juga tahu persis bahwa pihak agen-agen penjualan senjata Israel telah menyuap beberapa pejabat Georgia agar kontrak jual-beli senjata tersebut bisa terlaksana dengan lancar.
Benar saja. Juli 2008 kontrak tersebut berhasil disepakati untuk pembelian jenis senjata amunisi M855 lewat sebuah perusahaan bernama 1’s company dengan harga senilai 278 dolar AS untuk 1000 pucuk senjata. Sedangkan jenis senjata M855 yang dibeli Gerogia tersebut kabarnya  berjumlah 14 juta pucuk senjata.  Berarti nilai proyek jual-beli senjata ilegal itu mencapai sebesar 3.892.000 dolar AS.
Kata kunci penting dari cerita ini adalah, Georgia sebagai ajang jual-beli senjata illegal. Pertanyaannya dikirim ke mana dan untuk apa? Sebab dari kisah Daniel Alvirez tersebut mengindikasikan bahwa Georgia telah dijadikan sarana transportasi pengiriman senjata Ilegal ke pelbagai negara di Asia dan Afrika. Yang tentunya bisa dipastikan juga ke beberapa wilayah yang berada dalam kedaulatan Rusia seperti Volgograd dan Beslan. Dua kota di Rusia yang telah jadi sasaran aksi teror kelompok-kelompok yang terkait dengan separatis Chechnya.
Sebelumnya, memang santer terdengar Amerika akan memasok senjata secara besar-besaran ke Georgia menyusul desakan dari Presiden Georgia. Bahkan sudah tersiar kabar Amerika akan memasokk senjata anti-pesawat terbang dan anti-tank senilai puluhan juta dolar melalui negara ketiga. Selanjutnya menurut berita yang kami lansir dari kantor berita Antara, peralatan militer yang akan dipasok itu terdiri sistem pertahanan udara Patriot, rudal anti-pesawat terbang Stinger dan portabel Igla-3, di samping rudal-rudal anti-tank Javelin dan Hellfire-2.
Menyusul serangan militer Rusia ke Ossetia Selatan dalam upaya untuk membawanya kembali di bawah kontrol pemerintah pusat.di Moskow pada Agustus 2008, Presiden Georgia Mikheil Saakashvili berjanji untuk membangun angkatan bersenjata yang baru dan kuat setelah Georgia kalah perang 2008 dengan Rusia. Dan Saakashvili berharap bahwa Washington akan memberikan dukungan kuat kepada Tbilisi dalam mengembangkan militernya.
Namun sebagaimana analisis kami sebelumnya di situs ini, Washington secara resmi menyatakan keenganannnya memasok senjata ke Georgia, namun ada perkembangan menarik bahwa kelompok hawkish yang antara 2000-2008 berada di belakang pemerintahan George W Bush, secara diam-diam mengondisikan tetap berlangsungnya penjualan senjata kepada Georgia yang dianggap sebagai sekutu andalan Amerika dan NATO dalam menghadapi Rusia di kawasan Eropa Timur.
Namun, dari berbagai penelusuran sumber pustaka yang dilakukan oleh tim riset Global Future Institue, terungkap bahwa kalaupun ada pengiriman senjata secara illegal dari Amerika ke Georgia, ternyata pasokan senjata tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk mempersenjatai angkatan bersenjata Georgia sebagaimana yang mencuat di surat kabar.
Berbagai jaringan kekuatan korporasi global Amerika, Israel, Jordania maupun Serbia, ternyata hanya menggunakan Georgia sebagai sarana transportasi untuk penyelundupan senjata senjata militer secara illegal ke negara-negara ketiga. Dan Israel, nampaknya telah menjadi pemain aktif yang berperanan besar dalam jual-beli senjata secara illegal tersebut.
Ada menarik menyusul adanya rencana untuk menjadikan Georgia sebagai lahan subur penjualan senjata bagi para pebisnis peralatan militer strategis internasional.
Berita yang kami lansir dari www.mainjustice.com ,  mengungkap adanya peran para broker Israel dalam memicu terjadinya Perang antara Georgia dan Rusia pada 2008 lalu. Ini terungkap berdasarkan investigasi Departemen Kehakiman Amerika berkaitan dengan praktek Korupsi dalam pemasokan peralatan militer di sektor industri pertahanan.
Bagaimana bisa Israel berhasil menanam pengaruh di pemerintahan Georgia? Situs www.mainjustice.com punya cerita menarik. Mantan Menteri Pertahanan Georgia Davit Kezerashvili tercatat pernah menghabiskan masa remajanya di Israel. Bukan itu saja. Kezerashvili dalam wawancara pada 2006 lalu mengaku sangat gandrung dalam segala  jenis persenjataan militer.
Dalam suatu operasi intelijen, sosok macam Davit Kezerashvili jelas sangat tepat dan sempurna sebagai pintu masuk Israel dan para pebisnis senjata untuk menanam pengaruhnya di Georgia. Apalagi ketika Presiden Saakashvili pada 2006 lalu mengangkat Kezerashvili sebagai menteri pertahanan.
Steve LeVine dalam artikelnya yang menarik di situs mainjustice.com menggambarkan Georgia sebagai lahan potensial bagi segala macam perdagangan illegal baik dalam bidang jual beli-senjata maupun narkoba. Dan yang lebih celakanya lagi, transaksi perdagangan illegal tersebut mendapat dukungan diam-diam dari jajaran petinggi pemerintahan Georgia di tingkat nasional.
Dan untuk urusan penjualan senjata secara illegal ini, Geogia ternyata selama ini telah digunakan sebagai sarana transportasi untuk pengiriman senjata secara illegal ke suatu negara ketiga.
Beberapa kasus membuktikan bahwa setidaknya ada tiga negara yang melalui sarana transportasi dari Georgia, telah dikirim beberapa pasokan senjata yang tentunya dijual secara illegal tanpa sepengetahuan pihak-pihak instansi pemerintahan resmi dari negara yang bersangkutan.
  1. Kongo, Afrika, 2007, dalam kecelakaan pesawat terbang An-12 yang telah menewaskan 8 penumpang, termasuk di antaranya 2 orang warga negara Georgia, termasuk pilatonya yang bernama Zurab Mosia, 55 tahun, dan teknisi pesawat bernama Artur Bagdasarov. Yang mencurigakan dari kejadian ini, tidak ada informasi rinci berkaitan dengan isi kargo pesawat kecuali penjelasan bahwa pesawat terdaftar dengan nama Transaviaservice, dan tidak ada nomor izin laik terbang bagi pesawat ini. Dan yang lebih mencurigakan lagi, tidak ada penyelidikan dan investigasi resmi menyusul kecelakaan pesawat tersebut.
  2. Filipina, Agustus 2009. Kapal yang berlayar berbendera Panama, berhasil ditangkap, dan di dalamnya terdapat 13 pelaut asal Georgia. Kejadian tersebut memicu kecurigaan adanya penyelundupan senjata secara gelap ke Filipina. Namun hanya seorang kapten Amerika yang harus bertanggungjawab. Dengan kata lain, kasus ditutup.
  3. Azerbaijan, Baku, Maret, 2010. Menurut Badan Informasi Azerbaijan, beberapa aparat Kementerian Keselamatan Nasional Azerbaijan telah menahan 8 orang anggota kelompok radikal agama berasal dari Dagestan and Chechnya, yang sedang merancang aksi terorisme. Dan fakta yang tak kalah menarik, sejumlah senjata telah dikirim ke Azerbaijan lewat Georgia.
Sekarang jelaslah sudah. Kalau Georgia selama ini memang telah dijadikan sebagai sarana transportasi pengiriman senjata illegal ke berbagai negara dalam kerangka operasi militer dan intelijen AS dan Israel mendestabilisasi Rusia, maka aksi teror Volgograd sangat masuk akal jika dirancang strateginya melalui Georgia. Seperti halnya ketika sejumlah senjata dikirim ke Azerbaijan lewat Gergioa untuk aksi teror yang rencananya akan dilancarkan oleh kelompok radikal berbendera Islam radikal dari Dagestan dan Chechnya.
Referensi:
2. Baca Hendrajit, Di Balik Persekutuan Strategis Arab Saudi-Israel, The Global Review Quarterly, Edisi IV Januari 2014.  Hal 96-99.
3. Rencana Oded Yinon Strategi Israel Menciptakan Konflik Islam Dengan Menggunakan Salafi Wahabi Sebagai Pion, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14638&type=1#.Uvnm_vtP1kg 
4. Bandingkan dengan artikel Hendrajit, Bom Boston dan Aksi Destabilisasi AS di Kawasan Heartland dan Caucasus, The Global Review Quarterly, hal 95-100, edisi III Mei 2013.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com