Alexa Christina, pemerhati masalah Indonesia
Penetapan Undang-Undang Pilkada lewat mekanisme voting yang dimenangkan Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR, mendapat protes dari sebagian besar komponen masyarakat yang menginginkan agar pemilihan kepala daerah secara langsung yang sudah dipraktekkan selama sepuluh tahun terakhir, tetap dipertahankan. Selain partai politik yang tegabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dimotori oleh PDIP serta pada pendukungnya, salah satu komponen lain yang sangat getol menolak pemilihan secara langsung adalah Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) yang diketuai oleh Isran Noor, Bupati Kutai Timur.
Isran Noor serta sesama kepala daerah lainnya, menyambut gembira kebijakan Presiden SBY yang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 dan 2 tahun 2014 tentang Pilkada. Perppu tesebut diharapkan membatalkan penetapan DPR bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung. Kedua Perppu tersebut dianggap sebagai angin segar bagi demokrasi Indonesia.
Disisi lain Perppu tersebut masih mungkin ditolak oleh DPR, karena masih kuatnya KMP. Tidak heran jika Ketua Apkasi itu kemudian mengajak semua komponen masyarakat untuk bersama-sama memperjuangkan hak konstitusional rakyat yang dirampas dewan. Isran Nooer juga meminta kepada anggota DPR yang baru saja dilantik untuk mendukung Pilkada langsung dengan menyetujui Perppu yang dikeluarkan Presiden SBY. Baginya dengan menyetujui Perppu tersebut, merupakan terobosan untuk mengembalikan sekaligus menguatkan citra DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Persetujuan tersebut juga berarti mendukung keputusan yang dikehendaki masyarakat mayoritas, yaitu mendukung Pilkada langsung.
Selain menyampaikan himbauan dan arapan kepada anggora DPR agar mendukung Perppu Pilkada, Bupati Kutai Timur ini mengancam akan membuat Referendum alias jajak pendapat langsung bila Perppu Pilkada ditolak DPR nantinya. Menurutnya jika Perppu ditolak, pihaknya akan memperjuangkan ke pemerintahan Jokowi-JK untuk membuat semacam referendum untuk menentukan apakah masyarakat menginginkan Pilkada langsung atau Pilkada tidak langsung lewat DPRD.
Menurt penulis, ancaman mengadakan refrendum atau jajak pendapat seperti yang diusulkan Ketua Umum Apkasi sangat berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dapat dikatakan bahwa usulan tersebut datang dari seorang yang kalap, dan sama sekali tidak memperhitungkan dampak yang akan timbul jika model jajak pendapat seperti itu juga diminta oleh kelompok masyarakat yang menginginkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pecah. Apa jadinya bangsa ini jika model refrendum yang diusulkan, juga diminta oleh masyarakat Aceh dan Papua untuk mengetahui apakah rakyat di kedua daerah tersebut ingin tetap bergabung dalam wadah NKRI atau pisah dari NKRI.
Sebagai seorang pemimpin, dalam menyuarakan kepentingannya harus dilakukan secara hati-hati dan tidak emosional, sehingga apa yang diusulkan benar-benar membawa kemaslahatan bagi bangsa ini, dan bukan sebaliknya.
Masih ada jalan lain
Sesuai aturan yang berlaku dalam sistem pemerintahan kita, masih ada jalan lain yang bisa ditempuh jika nantinya DPR menolak Perppu Pilkada tersebut. Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia bisa mengajak masyarakat agar bersama-sama memperjuangkan hak konstitusionalnya dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selanjutnya jika memang MK menyatakan bahwa UU Pilkada yang ditetapkan tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan diatasnya, maka semua pihak tanpa terkecuali harus menerimanya dengan lapang dada.
Mengutip pernyataan Anis Baswedan bahwa demokrasi yang terjadi di Indonesia ini ibarat kran air yang terlalu dibuka sehingga dol, itu berarti bangsa belum siap berdemokrasi tapi demokrasi yang ada sudah terlalu kuat sehingga amburadul. Penetapan atau perubahan UU dilakukan untuk kepentingan bersama tetapi lebih pada kepentingan kelompok. Apa yang dipraktekan oleh KMP baik di DPR maupun MPR, sangat kental dengan nuansa sepeti itu. Ternyata dengan mengandalkan kekuatan yang ada di Parlemen, KMP berhasil dalam menggoalkan berbagai kepentingan mereka.
Untuk membendung gerakan KMP di Parlemen, hanya bisa dilakukan dengan cara mengajak mereka untuk bermusyawarah untuk mencapai kata mufakat. Namun aturan juga menyatakan bahwa jika kata mufakat tidak tercapai maka pengambilan keputusan bisa dilakukan dengan cara Voting. Hal ini berarti bahwa kelompok yang kecil harus siap menerima kekalahan dalam setiap perhitungan suara. Karena itu sangat diharapkan agar dalam upaya memperkuat demokrasi di Indonesia ada pemimpin-pemimpin bangsa yang bisa menjadi teladan dan mengawal demokrasi dengan baik.
Menarik apa yang dikatakan Presiden Terpilih, Joko Widodo m ketika menanggapi upaya penjegalan pelantikannya, bahwa kalau mau bersaing dalam merebut kekuasaan maka saat yang tepat adalah pada Pemilu mendatang. Partai politik yang tergabung dalam KIH berpeluang memenangkan pemilihan legislatif serta Pemilu Presiden nanti jika rakyat menilai bahwa mereka saat ini menjadi korban dari permaianan politik yang dipraktekkan KMP dan mengkhianati kehendak serta harapan rakyat. Partisipasi rakyat dalam pemilihan presiden dan wakil presiden sangat tinggi, sehingga partai politik yang mengingkari hak politik rakyat pasti akan tersisih dalam Pemilu mendatang.
Rakyat berharap dengan adanya silaturahmi antara presiden terpilih dengan pimpinan partai politik dari KMP yang sudah diperlihatkan Abu Rizal Bakri dan Prabowo Subiakto, maka isu adanya penjegalan pelantikan Jokowi-JK merupakan isu basi yang kemungkinan sengaja dihembuskan oleh kelompok kepentingan yang justru menginginkan negeri tersus menerus dilanda perpecahan. Kini seluruh masyarakat bisa menantikan bahwa pelantikan Jokowi-JK akan berjalan mulus.
Perlu Kompromi dan Komunikasi
Mengantisipasi terjadi dead lock dalam pembahasan Perppu Pilkada di DPR, maka usulan Ketua Umum DPP Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) berupa tawaran alternatif perlu dipertimbangkan. DPP AMPI mengusulkan agar pemilihan kepala daerah tingkat I (Gubernur) dipilih melalui DPRD, sedangkan kepala daerah tingkat II Bupati dan Walikota) dipilih langsung oleh rakyat. Pemilihan Bupati dan Walikota secara langsung, karena pemerintahan daereh tingkat II yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Usulan ini selain sebagai balance atau keseimbangan, juga agar tetap menjamin hak rakyat untuk memiliki kesempatan dalam memilih pimpinannya. Karena pada kenyataannya, kekuasaan di pemerintahan tingkat II itu lebih diharapkan bisa memberikan ruang untuk mendekatkan pemimpin dan rakyatnya.