Membaca Perilaku Geopolitik (1)

Bagikan artikel ini

Geopolitik, entah ia sebagai konsepsi, teori atau pengetahuan, terkadang agak sulit dipahami oleh khalayak awam karena “perilaku’-nya sering tak konsisten. Dan ketidakkonsistenan tersebut sebenarnya dipicu oleh motivasi-motivasi politik, oleh sebab perilaku apapun niscaya berbasis atas motivasi yang ingin diraih. Dampak kecil ini akhirnya menimbulkan anggapan bahwa seolah-olah geopolitik itu sekedar “diawang-awang”, ilmu tidak membumi, terlalu tinggi abstraksi, hanya domain militer, ilmu perang, dan lainnya. Kenapa begitu, bahwa hakiki geopolitik di tataran implementatif sering berubah-ubah mengikuti turbulensi dan fluktuatif dinamika sesuai keadaan yang berkembang. Manakala sebagai konsep (dan pengetahuan) dapat dipahami secara cerdas, justru ia dapat dijadikan selain alat untuk memeta (mapping) atas hiruk-pikuk politik yang telah, sedang dan akan terjadi, bahkan geopolitik bisa juga digunakan untuk hal-hal yang lebih strategis daripada sekedar mapping belaka.

Pada catatan sederhana ini, kita tak akan bahas lagi perihal definisi, epistimologi, aksiologi, dan lainnya tentang geopolitik itu sendiri kecuali sekilas untuk menyambungkan bahasan. Juga tidak akan diurai detail ajaran para pakar seperti “Teori Ruang”-nya Friederich Ratzel (1844–1904), atau “Teori Kekuatan”-nya Rudolf Kjellen (1864–1922), “Teori Pan Region”-nya Karl Haushofer (1869–1946), teori Halford Mackinder (1861–1947) tentang “Heartland” (Jantung Dunia); atau “Teori Kekuatan Maritim”-nya Walter Raleigh (1554–1618), Alfred T. Mahan (1840–1914), dan lain-lain. Sesuai judul di atas, fokus bahasan nanti lebih kepada perilaku geopolitik, kenapa ia mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Tak ada maksud menggurui siapapun, terutama kaum ahli dan para pihak yang berkompeten selain ingin sharing pemahaman semata. Jikalau ada perbedaan pendapat, atau pemakaian kalimat yang kurang tepat baik arti, maksud dan maknanya — anggaplah kewajaran yang perlu diperdalam dalam diskusi nanti, mengingat selain kemampunan penulis yang masih terbatas, juga “kebenaran ilmu” pun sejatinya masih bersifat nisbi atau relatif. Ia bergerak sesuai tuntutan zaman. Inilah uraiannya secara sederhana.

Bicara geopolitik, sekurang-kurangnya ada empat variabel atau dimensi saling terkait antara satu dengan lainnya yakni time (waktu), space (ruang), struggle (berjuang) dan people (rakyat). Inilah variabel yang menjadi basis pijakan dalam mengkaji tabiat geopolitik. Contoh sekilas perihal ‘dimensi waktu’ dapat diartikan sebagai era atau masa-masa tertentu terkait kecenderungan implementatif geopolitik berkenaan dengan masa lalu, kini dan kedepan; atau arti space (dimensi ruang) lebih kepada penekanan teritorial sebagai target dan titik kebijakan. Memang ruang disini boleh dimaknai sebagai “isi geografi’ yang sering dimaknai sumberdaya alam (SDA), atau mungkin letak serta (keuniqan) posisi geografi sebagai basis kebijakan strategis sebuah negara, dan lain-lain; sedangkan struggle sebagai dimensi adalah teknis dan taktis bagaimana geo (strategi) politik bekerja sesuai tren di era atau masa tertentu; dan terakhir people selaku dimensi ialah bangsa atau rakyat yang hidup di atas (geo)-nya, baik mereka sebagai obyek ataupun subyek (pelaku) atas implementasi geopolitik itu sendiri. Adakah dimensi lain yang dapat digunakan untuk mencermati perilaku geopolitik?

Selanjutnya, tatkala kini muncul terminologi geostrategi dan geoekonomi selain geopolitik selaku induknya, maka geostrategi dapat dimaknai sebagai ujud kebijakan (dan strategi) sebuah negara berbasis geopolitik yang berintikan pada kewilayahan, teritori, atau posisi, dll dimana ia boleh diletakkan sebagai target, sekaligus merupakan pusat (titik) rencana dari kebijakan di segala bidang. Singkat kata, geostrategi merupakan kebijakan strategis negara yang berbasis atas keadaan yang nyata baik di negaranya sendiri, atau di luar wilayah negara. Tidak ada geostrategi tanpa geopolitik.

Sedang geoekonomi timbul akibat (side effect) dinamika politik pasca cold war atau “perang dingin” (1941-1991). Tak boleh dipungkiri, tatkala cold war berlalu, terlihat hubungan serta tatanan dunia kian bervariasi, lalu memunculkan tren dan model “geopolitik baru” yang didominasi kepentingan-kepentingan geo-ekonomi secara nyata. Inilah yang disebut realitas (geo) kembar: “geopolitik dan geoekonomi”  Dalam artian, apapun negara apabila membahas serta mengimplementasikan geopolitik akan senantiasa bermuara pada (geo) ekonomi, dan jika ingin meraih (menguasai) ekonomi suatu negara tertentu mutlak harus melalui penerapan (dan penguasaan) geopolitik negara tujuan atau wilayah target. Sekali lagi, itulah yang sering disebut para penggiat dan pengkaji geopolitik dengan istilah ‘realitas kembar’.

Jika kita mengurai dimensi time dalam geopolitik, maka garis besar variabel tersebut meliputi tiga masa atau zaman yang terdiri atas: (1) masa imperialis, (2) era perang dingin. dan (3) masa-masa setelah berakhirnya perang dingin, atau sering dianggap sebagai tatanan politik global yang ‘menuju’ Tata Dunia Baru (New World Order), sebagaimana yang kini sedang bergerak? Entahlah. Namun inilah variabel pokok untuk membaca sifat, tabiat, karakter, atau perilaku geopolitik —apapun istilahnya— yang sering bergeser serta berubah seiring tuntutan zaman.

Mencermati perilaku geopolitik di era imperialisme misalnya, tak lain karena dipicu oleh revolusi industri (1750-1850) sebagai motivasinya. Motivasi memang rujukan utama dari sebuah ‘perilaku’ apapun, kapanpun dan dimanapun. Revolusi industri melanda belahan dunia Barat diawali dari Inggris, kemudian menyebar ke Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, dan akhirnya merambah hampir ke seluruh dunia.

Dan konsekuensi logis terjadinya industrialisasi tadi, menjadi faktor penyebab kelompok negara Barat memiliki “kepentingan nasional” (motivasi) yang mutlak dan wajib dipenuhi agar sektor industri di dalam negeri mereka terus berjalan. Inilah titik mula maraknya imperialisme atau kolonialisme di muka bumi, oleh karena industrialisasi —kala itu— telah dianggap semacam “peradaban baru”, menggantikan peradaban sebelumnya. Sementara imperialisme itu sendiri dapat diartikan sebagai kebijakan perluasan kekuasaan atau otoritas suatu imperium atau suatu bangsa terhadap bangsa-bangsa atau negara-negara lain dalam rangka meraih wilayah koloni demi memenuhi kepentingan nasional.

Kjellen dan kaum pemikir imperialis lainnya memahami geopolitik sebagai bagian dari ilmu imperialis Barat dimana berhubungan antara aspek geografi dan politik. Dan geopolitik pun dimaknai sebagai konsep perluasan wilayah seperti “Lebensraum”-nya Hitler punya, atau semacam “Heartland”-nya Mackinder. Itulah awal ekspansionisme kolonial ke negara-negara lain baik melalui pintu atau atas nama modernisasi, industrialisasi, transformasi budaya, atau atas nama penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi, pergolakan sosial, dll. “Matahari telah terbit dari Barat”, kendati “hidden agenda” sebenarnya adalah mencari bahan baku semurah-murahnya, lalu menciptakan pasar seluas-luasnya. Tak bisa dipungkiri, aktor-aktor imperialis yang dominan saat itu ialah Inggris, Rusia, Italia, Perancis, Amerika Serikat (AS), Jerman, dan Jepang.

Geopolitik menjadi urgen di era tersebut karena cakupannya yang komprehensif dalam memandang peta (politik) dunia serta mampu memberikan gambaran cara bagaimana mengaitkan dinamika lokal, regional, dan sistem global secara menyeluruh. Tatkala muncul asumsi di kalangan global review bahwa ‘konflik lokal merupakan bagian dari konflik global’, maka tak lain dan tak bukan, perspektif yang digunakan ialah geopolitik. Tak ada kejadian secara kebetulan, tak ada faktor tunggal di setiap peristiwa.

Kendati beberapa pakar geopolitik memiliki pendapat tak sama, tetapi perilaku geopolitik dalam hal target kolonialisme cenderung mengarah pada land and soil (baca: menjajah negara lain), meski “PINTU”-nya berbeda-beda. Alfred Mahan misalnya, lebih menekankan pada sea power (kekuatan laut) dan penguasaan perairan. Mahan meyakini, koridor sea power tidak hanya untuk tujuan militer semata, namun juga dapat digunakan untuk meraih kepentingan lain yang lebih besar terutama bidang ekonomi. Maka pantaslah jika doktrin Mahan hingga kini masih melegenda di lingkungan Angkatan Laut AS, “Barangsiapa menguasai Lautan Hindia, maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia”.

Friedrich Ratzel lain lagi, pencetus geopolitik Jerman ini mengembangkan ajarannya melalui perkembangan spesies. Ia berpendapat bahwa migrasi spesies merupakan faktor krusial dalam adaptasi sosial dan perubahan kultur. Ratzel juga mengatakan bahwa untuk tetap sehat, spesies harus memperluas ruang (land and soil) hidupnya, dan pada akhirnya teori inilah yang dijadikan landasan bagi konsep “Lebensraum”-nya Hitler.

Lain pintu Mahan dan teori Ratzel, lain pula pintu yang dugunakan Halford Mackinder dalam ajarannya. Ia mengatakan bahwa geopolitik merupakan cara baru untuk melihat politik global sebagai dunia yang bersatu. “Who rules East Europe commands the Heartland. Who rules the Heartland commands the World-Island. Who rules the World-Island commands the World”.

World Island yang dimaksud Mackinder ialah Eropa, Asia, dan Afrika. Sementara posisi strategis sentral di World Island adalah wilayah Eurasia yang kemudian disebut Mackinder sebagai Heartland. Eurasia menjadi pivot area (poros wilayah) sebagai target geografi yang strategis karena ruang negara tidak statis. Arti penting Eurasia meluas karena SDA yang berlimpah terutama emas, minyak dan gas. Pivot area sebagai salah satu titik kekuatan untuk menguasai dunia, dimana negara-negara yang menguasainya identik menguasai dunia.

Dari perbandingan sekilas ketiga teori di atas, masing-masing ajaran seolah-olah tak sama namun sejatinya hanya ‘berbeda pintu’ saja. Dan dari sisi dimensi waktu (time), geopolitik di era imperialis menampilkan Eropa sebagai titik episentrum dunia karena revolusi industri yang melanda belahan bumi Barat dianggap faktor pemicu (motivasi)-nya. Sedangkan pada dimensi ruang (space), industrialisasi dan kebutuhan space yang lebih luas menjadi penting agar sebuah negara industri tetap bisa survive walau via peperangan sekalipun. Lalu pada dimensi struggle, bahwa strategi penguasaan yang paling rasional ialah menggunakan militer, sehingga tabiat geopolitik saat itu menimbulkan kolonialisme di muka bumi.

Hal yang tak boleh dilupakan sebab dianggap perilaku geopolitik di masa imperialisme adalah, bahwa luasnya teritori (wilayah negara jajahan) merupakan tolok ukur hegemoni dan refleksi dari kekuatan sebuah negara. Itulah sekilas sifat, karakter atau ciri geopolitik di era imperalisme.

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com