Secara hakiki, pemimpin itu cermin dari rakyatnya. Pangilon, kata wong Jowo. Ibarat rakyat bercermin, maka pantulan di kaca tak lain adalah “wajah”-nya. Wajah (cahaya) rakyat. Implementasinya di wilayah, bagi golongan yang punya karakter keras, misalnya, pemimpinnya kudu keras, berani lagi tegas. Pemimpin yang klemar-klemer cenderung tidak dianggap, syukur-syukur tak dilecehkan.
Atau, pada masyarakat yang lemah lembut, sang pemimpin kudu lembut pula. Pemimpin yang keras justru kontra produktif. Itulah poin inti kepemimpinan hakiki. Sekali lagi, itu kepemimpinan hakiki — bukan lazimnya kepemimpinan di buku-buku manajemen.
Pertanyaannya adalah: “Karakter rakyat Indonesia itu bagaimana, lemah lembut, keras, plin-plan atau mencla-mencle?”
Memang perlu penelitian secara mendalam. Dan mungkin belum pernah ada riset oleh siapapun mengingat perputuasi kebhinekaan serta keberagaman yang relatif lestari. Tetapi secara ringkas —benang merahnya— cermati local wisdom leluhur yang gegap beroperasi di publik. Kenapa? Karena local wisdom atau kearifan lokal adalah pasak penghubung (linking pin) antara masa silam, masa kini dan ke depan. Local wisdom dianggap nilai yang tak lekang oleh zaman.
Singkat kata, tata cara pemilihan pemimpin apapun di level manapun, seyogianya melalui sebuah forum musyawarah mufakat sebagaimana tersurat pada sila ke-4 Pancasila.
Dalam musyawarah mufakat, tidak ada istilah kalah-menang, ataupun zero sum game. Aspirasi pihak yang kalah tetap diakomodir. Dan pihak pemenang pun tak arogan, tidak bersikap sewenang-wenang. Saling menghormati, saling menghargai. Itulah hikmat kebijaksanaan di balik forum musyawarah. Sejuk dan indah. Dan itu pula konstitusi kita, tidak ada buruk muka cermin dibelah.
Ketika one man one vote (satu orang satu suara) ala Barat sebagai model yang dipakai oleh bangsa ini guna mencari sosok pemimpin —dipuji asing memang— selain membidani pemimpin kurang amanah sebab mencerminkan sebuah “kepentingan lain.” Kenapa? Selain mekanisme dan prosesnya berbiaya tinggi serta kerap ada back up dari kaum pemodal, juga terselip ketidakadilan pada model tersebut. Contoh, suara tokoh agama disamakan dengan suara pemilih pemula; atau suara sang profesor disamakan dengan suara tukang sayur, mahasiswa dan seterusnya. Adilkah kondisi ini?
Nah, dari model pemilìhan ala Barat ini, maka kebijakan yang lahir nantinya bukan murni aspirasi (suara) rakyat, namun si pemimpin yang terpilih, misalnya, selain cenderung ingin mengembalikan modalnya (ini benih korupsi), atau bisa jadi kebijakan tersebut merupakan kepentingan si pemilik modal yang membiayai kampanye si calon tadi.
Dalam kampanye model demokrasi pilihan langsung, modusnya berlomba menggebyarkan citra. Setiap calon membidani buzzer ataupun influencer —Tim Sukses— dari berbagai latar belakang, saling menebar propaganda “tuan”-nya, menipu massa, menyihir publik. Kenapa? Karena citra bukanlah realita. Bahkan kerap yang ditusuk oleh pemilih adalah citranya, bukan realita. Gilirannya, selain rakyat dibuat lupa, abai terhadap latar belakang terutama ideologi si kandidat, juga rakyat di akar rumput terpecah belah. Pro ini, pro itu. Sering tatkala hajatan usai pun, keterbelahan di akar rumput justru berlanjut.
Pada akhirnya, rakyat selaku pemilik kedaulatan ibarat membeli kucing dalam karung. Para pemilih hampir tidak pernah tahu, apakah yang dipilih itu kucing dapur, kucing hutan atau kucing garong? Jangan-jangan justru keong racun!
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)