Merangkai Isu dan Asumsi Geopolitik Guna Menggambar Skenario Ghost Fleet

Bagikan artikel ini

Ada empat isu global layak dicermati di Tanah Air terkait suhu geopolitik terutama panasnya hubungan antara AS versus Cina. Isu-isu dimaksud antara lain sebagai berikut:

Pertama, ditekennya memorandum of intent antara Menhan RI dengan Menhan Amerika (AS) pada 10 Oktober 2020 berupa Missing in Action (MIA) yakni kerja sama dalam rangka pencarian prajurit AS yang hilang di perairan Indonesia selama Perang Dunia (PD) II dulu;

Kedua, kerjasama investasi di Natuna antara Menlu RI dengan Menlu AS;

Ketiga, isu dibangunnya pangkalan militer di Papua Nugini (PNG) oleh AS. Dan seandainya pangkalan ini berdiri, maka ia merupakan pangkalan kesekian yang mengitari Indonesia; dan

Keempat, isu kepulangan Imam Besar HRS ke Tanah Air.

Selanjutnya bila menghikmati science fiction (sci-fi) atau fiksi ilmiah bertajuk “Ghost Fleet“-nya PW Singer dan August Cole, di situ isu sebagai ibarat, lalu rangkaian puzzle adalah potögan “sci-fi”-nya Singer. Ini baru asumsi. Perlu diuji. Maka entah ilusi atau imajinasi, geopolitik mengendus sebagai hal berkenaan dengan persiapan peperangan besar yang dirancang jauh-jauh hari.

Mundur sejenak. Cerita sekilas tentang Ghost Fleet. Ia adalah fiksi ilmiah yang menggambar peperangan besar pada 2030-an antara tiga adidaya yakni Rusia, Cina dan AS dimana medan tempur justru di (wilayah) “bekas Indonesia”. Nah, di sini Ghost Fleet selaku gambar besarnya, Indonesia bubar sebagai ibarat (fiksi)-nya.

Ada beberapa pertanyaan selidik mengarah pada persiapan perang besar dalam skenario Ghost Fleet adalah:

1) benarkah MIA hanya sekedar mencari tulang-belulang prajurit AS yang hilang di perairan (ALKI) Indonesia selama PD II;

2) mungkinkah investasi AS di Natuna nanti cuma sekedar eksploitasi minyak dan gas semata;

3) kemana arah daya tempur (combat power) pangkalan militer di PNG kelak?”

Jawaban di atas, menunggu kajian para analis geopolitik kendati penulis sudah mengantongi asumsi sendiri berbasis fakta.

Logika publik bilang, jika empat isu tadi disusun maka ada rangkaian yang kurang logis/tidak nyambung, misalnya, adakah keterkaitan ketiga isu di atas dengan (isu keempat) kepulangan HRS?

Catatan kecil ini mencoba merangkai puzzles tadi menjadi asumsi logis dan masuk akal. Kenapa? Apabila politik praktis bukanlah hal tersurat melainkan apa yang tersirat, kata Pepe Escobar, hal-hal tersirat itu kajian secara deep web. Nah, geopolitik justru menyelam lebih dalam lagi.

Bukan deep web, tetapi ia (geopolitik) menggunakan dark web. What lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan. Lebih dalam dari tersirat.

Di dunia intelijen, sesuatu yang tak nampak belum tentu tidak ada, dan sesuatu yang terlihat belum tentu seperti itu. Cermati trik deception. Jadi, entah operasi (intelijen) itu sudah terbuka di publik seperti kepulangan HRS yang diendorse salah satu adidaya melalui proxy agents, misalnya, itu tidak menjadi masalah. Dalam intelijen, bukankah keterbukaan publik bagian dari proses itu sendiri? Ya. Ada kredo intelijen bahwa pada keterbukaan terdapat kerahasian, juga intinya: “Tujuan tercapai”. Mengapa begitu?

Dalam doktrin daya tempur (combat power) yang ditentukan oleh beberapa hal yakni daya tembak (fire power), daya gerak (manuver), peran intelijen, perlindungan pasukan dan pangkalan (force protection) dan leadership. Nah, dalam daya tempur ini, peran intelijen hanya bagian darinya. Jadi, meski operasi intelijen sudah terbuka tetap ada “kerahasian” karena publik belum tentu memahami kemana arah combat power (daya tempur). Toh combat power tetap berjalan dan dijalankan. Itulah yang disebut dengan istilah, yang penting “tujuan tercapai”.

Pertanyaannya, bukankah empat isu di atas merupakan produk dari Partai Republik di era Trump? Bahwa kuat diduga, ia akan menciptakan kegaduhan masive melalui kepulangan HRS di satu sisi, tetapi menjalankan beberapa hidden agenda pada sisi lain, misalnya, pada investasi di Natuna, mungkin secara silent mempersiapkan pangkalan militer untuk mengkontra pangkalan militer Cina di Kepulauan Spratly; termasuk hidden agenda di MIA, berupa survey di laut dalam pada ALKI, atau pemasangan infrastruktur kapal selam dan seterusnya. Ya. Isu keempat merupakan upaya deception.

Pertanyaannya kini: “Dengan kalahnya Trump, di era Biden nanti — apakah kerjasama RI – AS yang diduga menyimpan beberapa hidden agenda itu bakal berlanjut?”

Let them think let them decide!

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com