Pembangunan Pangkalan Militer AS di Papua Nugini: Implikasi dari Pergeseran Poros Keamanan Asia Era Obama ke Skema Militerisasi Asia-Pasifik Era Trump

Bagikan artikel ini

Makalah ini disampaikan dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI.

 

Latarbelakang Di Balik Bergejolaknya Persaingan Global AS-Cina di Asia Pasifik

Tema yang diangkat Balitbang Kementerian Pertahanan RI saya kira momennya sangat tepat menyusul kunjungan Menteri Luar Negeri RI Mike Pompeo ke Indonesia minggu lalu. Bukan semata-mata karena isu Laut Cina Selatan maupun persaingan global AS versus Cina mencuat dalam pernyataan Menlu Pompeo maupun Menlu Retno Marsudi. Lebih daripada itu, ada dua masalah pokok dan strategis yang justru amat melatarbelakangi serangkaian pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga. Maupun pertemuan Presiden Jokowi dan Menlu Retno dengan Menlu Pompeo. Yaitu soal Skema Indo-Pacific dan persekutuan militer empat negara AS, Australia, Jepang dan India(QUAD).

Sejak kementerian pertahanan AS (Pentagon) mengeluarkan dua dokumen strategisnya pada 2017 lalu yaitu National Security Strategy dan National Defense Strategy, yang menegaskan secara terang-benderang bahwa Cina dan Rusia sebagai musuh utama (principle enemies) AS dan sekutu-sekutunya. Maka ketegangan internasional di berbagai kawasan, utamanya di Asia Timur dan Asia Tenggara, nampaknya semakin berpotensi memicu terciptanya Perang Dingin jilid 2. (1)

Sebagaimana terangkum dalam seminar yang diselenggarakan oleh Global Future Institute yang menyorot keterkaitan konsepsi Indo-Pasifik dan Semakin Menajamnya persaingan global AS versus Cina di Asia-Pasifik pada 15 Oktober 2019 yang lalu,  para narasumber maupun peserta aktif seminar bersepakat bahwa dalam konsepsi Indo-Pacific versi Amerika Serikat yang merujuk pada The Indo-Pacific Strategy Report yang dirilis oleh Presiden AS Donald Trump pada 2017 lalu, pada hakekatnya merupakan konsepsi yang dibuat berdasarkan kepentingan negara-negara adikuasa, dalam hal ini, AS dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO, sebagai pesaing Cina, agar tetap bisa mempertahankan hegemoninya di kawasan Asia Pasifik. Seraya memancing kembali munculnya Perang Dingin Jilid 2. (2)

 Tren global tersebut semakin nyata menyusul dirilisnya dua dokumen strategis Pentagon tersebut di atas, yaitu National Security Strategy dan National Defense Strategy, juga kedua dokumen tersebut dirilit pada 2017.

Adalah kedua doktrin Pentagon itulah, yang kemudian menjadi payung dirilisnya The Indo-Pacific Strategy Report oleh Presiden Donald Trump pada tahun yang sama ketika kedua doktrin Pentagon tersebut diluncurkan. Konsepsi Indo-Pacific versi AS yang disebut the Indo-Pacific Strategy Report itu semakin provokatif, ketika kemudian disusul dengan terbentuknya perrsekutuan pertahanan empat negara (QUAD) yang terdiri dari AS, Australia, Jepang dan India.

Sehingga tren global tersebut seakan hendak memperkuat sinyalemen sebelumnya bahwa dalam konsepsi Indo-Pacific versi AS tersebut terkandung maksud menyatukan agenda ekonomi-perdagangan dan militer.

Dengan begitu, nampak jelas bahwa melalui kedua dokumen strategis Pentagon tersebut, Washington sedang berupaya memprovokasi konstelasi global menuju terciptanya perang dingin jilid 2 antara AS bersama-sama sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO di satu pihak, berhadapan dengan Cina dan Rusia pada pihak lain.

Dalam konteks inilah, kita mencoba memahami gagasan dan jalan berpikir para policy makers Gedung Putih maupun Pentagon dalam memandang konstelasi global di Asia-Pasifik, terutama di Asia Tenggara yang mana Indonesia merupakan salah satu sasaran Perang Proxy antar negara-negara adidaya. Dengan merujuk pada The National Security Strategy, the National Defense Strategy dan the Indo-Pacific Strategy Report.

Sebab karakteristik khas dari dirilisnya ketiga dokumen tersebut, strategi global AS telah menyatunafaskan antara pertahanan/militer, ekonomi dan perdagangan. Dengan demikian, ketika Presiden Trump mencanut skema Kemitraan Lintas Pasifik atau Trans-Pacific Partnership (TPP) semasa pemerintahan Barrack Obama, bukan sekadar soal ganti presiden ganti kebijakan. Ada perubahan arah kebijakan strategis yang mendasar. Yang mana skema TPP yang semata bertumpu pada ekonomi dan perdagangan, dalam skema Indo-Pacific ekonomi dan perdagangan telah diintegrasikan dengan bidang pertahanan. Terbukti begitu Indo-Pacific versi AS dirilis, kemudian disusul dengan berdirinya persekutuan Indo-Pacific bernama QUAD.

Dengan demikian, baik dalam membaca agenda terbuka maupun agenda tersembunyi Gedung Putih, termasuk melalui kunjungan Menlu Pompeo baru-baru ini ke Jakarta, juga harus merujuk pada dua doktrin Pentagon tersebut di atas.

Seperti saya gambarkan di awal tadi, dengan adanya dengan dirilisnya ketiga dokumen tersebut pada 2017, pergolakan di kawasan Asia Pasifik dalam hal ini Asia Timur dan Asia Tenggara, semakin meruncing. Memanasnya Semenanjung Korea menyusul sikap agresif Presiden Korea Utara Kim-jong-un yang beberapa kali melakukan tes uji coba peluncuran Rudal Balistik Antarbenua (ICBM).

Yang mana manuver Korea Utara tersebut diyakini para policy makers Gedung Putih dan Pentagon didukung sepenuhnya dari belakang layar oleh Cina, juga merupakan faktor yang memicu semakin menguatnya kekhwatiran AS terhadap Rusia maupun Cina. Sehingga melalui kejadian tersebut, seakan-akan memperkuat kekhawatiran Pentagon dan para policy makers keamanan nasional Gedung Putih melalui dua doktrin Pentagon tersebut di atas.

Bahwa Washington menganggap Rusia maupun Cina telah dipandang sebagai kekuatan global alternative, yang bermaksud mengubah tatanan  global yang sudah mapan saat ini.

Membaca Beberapa Tren Global Asia-Afrika dan Sasaran Pokok Pemerintahan Trump

Ada sebuah tren cukup penting dan strategis namun belakangan ini masih luput dari pengamatan para stakeholers kebijakan luar negeri di Indonesia. Bahwa di kawasan Asia dan Afrika dalam beberapa tahun belakangan ini, pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, telah mengarahkan kebijakan luar negerinya yang bertujuan untuk meningkatkan militerisasi dan penjualan senjata, dengan mengorbankan pembangunan ekonomi yang selama ini menjadi prioritas di kedua kawasan.

Dalam salah satu tajuk rencananya beberapa waktu lalu, Manila Times mengisyaratkan kekhawatirannya bahwa kondisi perekonomian yang relatif menyenangkan belakangan ini, bisa-bisa mengundang kesan yang salah bahwa perang dagang AS versus Cina berpontensi untuk memicu hancurnya perekonomian negara-negara ASEAN.

Masalah jadi krusial ketika kebijakan proteksionisme Presiden Trump di bidang perdagangan nampaknya ditopang melalui pendekatan yang semakin militeristik. Strategi baru AS di kawasan Afrika, nampaknya menandai bakal terjadinya perubahan-perubahan di berbagai kawasan dunia lainnya. Khususnya di Asia.

Pada 2017 lalu, kerjasama perdagangan AS dengan negara-negara sub-sahara di Afrika mencapai 39 miliar dolar AS. Neraca perdagangan, AS deficit 10.8 miliar dolar AS. Investasi AS di negara-negara sub-sahara Afrika tumbuh-berkembang semasa pemerintahan George W Bush. Namun di era Obama pada 2010 lalu, menurun drastis. Bahkan kolaps.

Pada masa-masa sebelumnya, US Africa Strategy terpusat pada kerjasama ekonomi dan bantuan pembangunan sebagai masalah primer. Adapun Kerjasama militer hanya masalah sekunder.

Namun dalam strategi baru AS di Afrika, telah terjadi pergeseran prioritas. Upaya ekonomi untuk mendorong kesejahteraan ekonomi telah dikesampingkan. AS memandang Afrika sebagai sarang terorisme yang harus diredam di benua Afrika. Bahkan AS tidak lagi mendukung Peace Keeping Mission yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sementara itu kerjasama Cina dengan Afrika berkembang pesat. Pada 2016 nilai perdagangan Cina-Afrika mencapai nilai 128 miliar dolar AS. Tiga kali lipat dibandingkan kerjasama perdagangan AS dengan Afrika. Investasi Cina di Afrika pun meningkat pesat, melampaui AS. Cina juga jadi sumber bantuan pembangunan. Juga sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur di Afrika.

Mungkin karena beranggapan bahwa Strategi AS di Afrika tidak sejalan dengan One Belt One Road (OBOR) Cina, yang merupakan bagian integral dari strategi global Cina mendominasi dunia, maka AS memutuskan membelokkan  aksi-aksinya yang bertumpu pada tema-tema yang lebih cenderung ideologis.

Celakanya, perkembangan serupa nampaknya juga sedang ditrapkan AS di kawasan Asia Tenggara. Sebuah kawasan yang jauh lebih penting dari sudut pandang ekonomi maupun strategi bagi Washington. Dalam beberapa tahun terakhir, keterlibatan ekonomi AS di ASEAN telah merosot tajam. Sementara kerjasama ekonomi dan perdagangan Cina di ASEAN berkembang pesat.

Menurut US Trade Representatives, kerjasama perdagangan AS dengan ASEAN mencapai nilai 234 miliar dolar AS pada 2016. Enam kali lipat lebih besar daripada di Afrika. Namun demikian, kerjasama dagang Cina di ASEAN jauh lebih besar. Mencapai 515 miliar dolar AS pada 2017.

Maka itu, sempat ada pandangan dari beberapa pakar ekonomi bahwa perang dagang yang dicanangkan Presiden Trump terhadap Cina, bakal merugikan Cina, namun menguntungkan negara-negara ASEAN. Padahal menurut analisis Dan Steinbock dalam sebuah artikel yang ditulisnya, itu merupakan pandangan yang bersifat jangka pendek. (3)

Dalam jangka pendek beberapa negara ASEAN mungkin akan mendapat keuntungan dari beberapa sektor untuk sementara waktu. Namun dalam jangka panjang, perang dagang AS-Cina yang berlarut-larut, keberlangsungan pembangunan ekonomi ASEAN bakal terganggu. Apalagi kebijakan proteksionisme Trump dalam ekonomi dan perdagangan bertema American First, berarti Gedung Putih dalam berhadapan dengan negara-negara ASEAN akan menganut jargon: We need ASEAN to do more for US.

Berarti AS berupaya menekan negara-negara ASEAN untuk menciptakan kembali keseimbangan dalam kerjasama perdagangan. Sehingga AS akan menerapkan strategi menjalin hubungan bilateral dengan masing-masing negara ASEAN, untuk memaksimalkan keunggulan AS terhadap ASEAN.

 Dengan demikian, besar kemungkinan AS akan menekan negara-negara yang selama ini mengalami defisit perdagangan seperti Vietnam (34 miliar dolar AS), Malaysia (24 miliar dolar AS), Thailand (20 miliar dolar AS), dan Indonesia (13 miliar dolar AS). Disusul oleh Filipina dan Kamboja.

Pendirian AS terhadap ASEAN sudah mengalami perubahan sekarang.  Sejak Obama menerapkan kebijakan poros keamanan Asia, yang mana Pentagon telah menggerakkan 60 persen kapal-kapal perangnya ke kawasan Asia. Namun sejak Trump berkuasa di Gedung Putih, kebijakan Obama direvisi oleh Pentagon. Bukan sekadar mengamankan Poros Keamanan Asia. Melainkan mengembangkannya pada skala menuju militerisasi maupun peningkatan perlombaan senjata di kawasan Asia. Termasuk Asia Tenggara.

Di sini, lagi-lagi kita harus mencermati kembali salah satu doktrin Pentagon. National Security Strategy. Berdasarkan National Security Strategy 2017, Cina dipandang sebagai musuh Amerika daripada sebagai mitra. Dalam situasi demikian, perdagangan senjata jadi kondusif di kawasan Asia Tenggara.

Data yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute dari SIPRI, pengeluaran dana militer AS di Afrika sebesar 43 miliar dolar AS. Di Asia dan Oceania, mencapai jumlah 477 miliar dolar AS. Yang mana berarti 11 kali lipat lebih besar daripada pengeluarannya di Afrika. Asia Tenggara sendiri pengeluaran untuk pembelian senjata sama besarnya seperti di Afrika.

Pentagon telah mendominasi penjualan senjata ke Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Di antara para importir senjata terbesar di Asia Tenggara, Indonesia membeli 1/3 dari dari jumlah impor persenjataannya dari Inggris dan Amerika Serikat. Adapun Singapura membeli 2/3 dari jumlah impor persenjataannya dari AS.

Saat ini Pentagon berharap untuk bisa mengekspor senjata kepada Vietnam, yang mana saat ini berkiblat dalam kerjasama militernya dengan Rusia. Namun AS melihat adanya celah karena Vietnam punya hubungan yang rentan dan rawan dengan Cina, sejak penggulingan rejim Kamboja Polpot oleh Heng Samrin atas dukungan Rusia.

Begitu pula Thailand, yang saat ini mengandalkan impor senjatanya pada Ukraina dan Cina. Sedangkan Myanmar mengandalkan impor senjatanya pada Cina dan Rusia. Adapun di luar kawasan ASEAN, Pentagon berharap bisa mengekspor senjata ke India, yang mana saat ini masih mengandalkan Rusia.

Jika strategi AS dalam meningkatkan ekspor senjata kepada negara-negara ASEAN didorong oleh pertimbangan untuk mengimbangi kegagalan perdagangan AS di ASEAN, maka pada perkembangannya akan membahayakan masa depan ekonomi ASEAN.

Perubahan haluan kebijakan luar negeri AS yang kembali mengutamakan kebijakan militerisasi di kawasan Afrika dan Asia, nampaknya bertumpu kembali pada Doktrin Paul Wolfowitz pada awal 1990an, bahwa tujuan strategis AS adalah mencegah bangkitnya kembali pesaing baru, baik yang berasal dari wilayah territorial bekas Uni Soviet, maupun di pelbagai belahan dunia lainnya, yang dianggap sebagai potensi ancaman.

Maka, seperti halnya US Africa Strategy, maka US ASEAN Strategy, nampaknya bermaksud untuk memiliterisasi kembali Asia Pasifik. Sehingga berpotensi memecah-belah negara-negara di kawasan Asia-Pasifik.

Di kedua kawasan ini, Asia dan Afrika, Gedung Putih nampaknya akan semakin mendorong perlombaan senjata di kedua kawasan ini. Sehingga iklim perlombaan senjata tersebut akan menggeser prioritas pembangunan ekonomi di  ASEAN. Utamanya di negara-negara ASEAN yang telah menjalin kerjasama ekonomi yang cukup solid dengan Cina.

Selain itu, Gedung Putih juga bermaksud menyingkirkan Cina di kedua kawasan Asia-Afrika tersebut, terkait berbagai upaya menciptakan perdamaian dunia (Peace Keeping Activities). Sehingga Cina tidak akan muncul sebagai aktor utama dalam skema perdamaian di kedua kawasan tersebut.

Trend global semacam ini jelas tidak menguntungkan bagi ASEAN termasuk Indonesia yang merupakan negara terbesar di kawasan ini. Sebab yang dibutuhkan ASEAN saat ini adalah pembangunan ekonomi. Destabilisasi dan perlombaan persenjataan di kawasan Asia Tenggara, pada perkembangannya akan merusak upaya menciptakan Abad Asia (Asia Century). Mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, mustahil tanpa terciptanya perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara.

Pangkalan Militer AS Bagian Integral Skema Militerisasi dan Proliferasi Persenjataan Nuklir di Asia-Pasifik

 Saya sangat sepakat dengan TOR FGD kita hari ini bahwa skema The New Silk Road atau Jalur Sutra Baru yang diluncurkan Pemerintahan Presiden Xi Jinping pada 2013 lalu, yang merupakan cermin dari politik nasional Cina untuk kembali menghidupkan jalur sutra lama, sehingga dalam upaya memperkenalkannya kepada dunia internasional, maka kemudian disusunlah sebuah program bernama The New Silk Road; One Belt, One Road, yang saat ini dikenal dengan Belt Road Initiative. Dan berkaitan dengan skema strategis Cina yang sangat bervisi Geopolitik tersebut, AS kemudian menjadi khawatir.

Maka di sinilah kekhwatiran kita terhadap rencana pembangunan pangkalan militer asing, dalam hal ini AS dan Australia, di Pu;au Manus, Papua Nugini, harus dibaca sebagai konsekwensi pergeseran orientasi kebijakan strategis AS dari skema Poros Keamanan Asia di era Obama, berubah menjadi skema militerisasi dan proliferasi persenjataan nuklir di Asia Pasifik, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara.

Terkait dengan hal tersebut, maka pembangunan pangkalan militer untuk melayani AS dan para sekutunya, merupakan konsekwensi logis dari skema yang disusun dengan merujuk pada The National Security Strategy, the National Defense Strategy dan the Indo-Pacific Strategy Report.

 Menyadari kenyataan bahwa the US ASEAN Strategy sejak era Trump berfokus pada milterisasi kawasan, maka dalam kerjasama maupun kemitraan strategis AS-RI maupun negara-negara ASEAN lainnya, kemudian disubordinasikan kepada skema pertahanan dan militerisasi kawasan ASEAN untuk mengimbangi ketertinggalannya dalam gerakan nirmiliter pemerintahan Cina di ASEAN, khususnya di bidang ekonomi seperti saya paparkan sebelumnya.

Dengan kata lain, kerjasama bilateral antara negara-negara ASEAN termasuk Indonesia, dengan pemerintahan Trump, aspek ekonomi maupun perdagangan dan investasi, dijadikan ala timing-iming atau daya tekan, agar Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, bersedia mendukung skema Indo-Pacific versi AS seraya memperluas lingkup keanggotaan QUAD dengan melibatkan dukungan negara-negara baru ASEAN, termasuk Indonesia.

Mewaspadai Hidden Agenda AS di Balik Memorandum of Intent Terkait Missing in Action

Pada tataran yang krusial seperti inilah, perlu adanya kesatupaduan antara kebijakan pertahanan nasional dan kebijakan luar negeri. Sebab sungguh ironis ketika pemerintahan Trump melalui dokumen The National Security Strategy, the National Strategy dan The Indo-Pacific Strategy Report telah menyatupadukan kebijakan pertahanan, ekonomi dan perdagangan, pemerintah kita justru berjalan sendiri-sendiri tanpa arahan kebijakan strategis yang terintegrasi.

Maka itu, terkait untuk mengantisipasi pembangunan pangkalan militer AS di Papua Nugini, maka perspektif pertahanan negara kita bukan saja harus waspada dan peka terhadap manuver militer pihak AS itu sendiri. Melainkan juga dalam hal manuver-manuver nirmiliter yang dimainkan melalui sarana perjanjian bilateral antar negara melalui klausul-klausul perjanjian diplomatik.

Terkait hal ini, salah satunya yang perlu dicermati dengan penuh kehati-hatian adalah kemungkinan hidden agenda AS dimainkan melalui apa yang pada 10 Oktober lalu  Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto bersama Menhan Amerika Serikat (AS) Mark T Esper telah menandatangani sebuah perjanjian kerja sama untuk melakukan pencarian tentara AS yang hilang di Indonesia selama Perang Dunia II. Sebagaimana dilansir oleh laman resmi Kemhan AS pada Minggu 10 Oktober lalu, Perjanjian yang bernama Memorandum of Intent itu, dimaksudkan untuk  memajukan upaya Defense Prisoner of War / Missing in Action Accounting Agency untuk memulai kembali pekerjaannya di Indonesia untuk menemukan personel AS yang hilang di Indonesia selama Perang Dunia II.

Mengapa hal tersebut kita perlu menaruh kewaspadaan tingkat tinggi? Karena sangat berpotensi untuk dijadikan sarana pihak intelijen militer AS untuk menyelidik dan memetakan daerah-daerah sekitar Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI-3) untuk kepentingan manuver kapal-kapal selamnnya dengan dalih menghadapi ancaman bahaya kapal selam Cina. Karena memang saat ini berkembang informasi Timor-Leste entah apa pertimbangannya, mengizinkan kapal-kapal selam Cina membangun fasilitas pangkalan militer di pantai Selatan, Dili. Dekat selat Wetar.

Maka itu mengingat fakta bahwa Perang Pasifik dalam Perang Dunia II sudah berlangsung 75 tahun yang lalu, maka sangat wajar jika kita menaruh tanya ada apa tiba-tiba pemerintah Trump begitu tertarik membuat perjanjian tentang MIA? Maka itu daerah-daerah yang termasuk alur ALKI 2 dan ALKI 3 kiranya harus kita cermati betul kekuatan maupun kelemahannya dari perspektif geopolitik. Karena kedua alur ALKI inilah yang jadi sasaran strategis militer AS di balik perjanjian MOI terkait MIA.

Seperti kita ketahui, ALKI II merupakan alur pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Selat Makasar, Laut Flores, dan Selat Lombok ke Samudera Hindia, dan sebaliknya.

Adapun jalur pada ALKI-III-A merupakan alur pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu.

Khususnya ALKI III-A ini kiranya sangat penting untuk kita waspadai. Karena mempunyai 4 cabang, yaitu ALKI Cabang III B: yang digunakan sebagai alur pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, dan Selat Leti ke Samudera Hindia dan sebaliknya.

Adapun ALKI Cabang III C yang Merupakan alur pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda ke Laut Arafura dan sebaliknya.

Yang tak kalah krusial, ALKI Cabang III D  yang merupakan pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu ke Samudera Hindia dan sebaliknya. Juga ALKI Cabang III E yang merupakan alur  pelayaran dari Samudera Hindia melintasi Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda, Laut Seram, dan Laut Maluku. (4)

Mengingat titik krusial selama perang pasifik antara pasukan sekutu(baca: AS) dan Jepang pada Perang Dunia II bertumpu di Maluku dan Papua, maka fokus dari perjanjian MOI terkait MIA yang berfokus pada ALKI 3, maka bukan tidak mungkin AS sedang memetakan daerah-daerah yang potensial buat dibangun pangkalan militer yang merupakan lintasan Samudra Pasifik ke Laut Maluku.

Langkah Strategis Indonesia dan ASEAN Yang Harus Diambil

 Menyadari konstelasi global seperti tersebut di atas, maka ASEAN, terutama Indonesia, sepertinya harus membangun kontra skema untuk membebaskan diri agar tidak tersandera oleh persaingan global AS versus Cina.  Sehingga jangan sampai terseret untuk  bersekutu dengan AS atau Cina. Apalagi ketika kemudian terseret dalam pusaran konflik global AS dan Cina justru di halaman rumah kita sendiri.

Strategi diplomasi atas dasar menjabarkan politik luar negeri yang bebas dan aktif secara imajinatif, pada perkembangannya akan mendorong AS maupun Cina masuk dalam skema kepentingan nasional masing-masing negara ASEAN, termasuk Indonesia.

Atas dasar kerangka pemikiran tersebut di atas, maka pemerintah Indonesia harus menyusun skema dan strategi nasional dengan menyinergikan kementerian pertahanan, kementerian luar negeri, dan kementerian-kementrian bidang ekonomi dan perdagangan.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik. Global Future Institute

==========================================================

Beberapa Saran Bacaan

 (1). Untuk mendalami latarbelakang bergejolaknya persaingan global AS versus Cina di Asia Pasifik, silahkan baca Rand Corporation Report, The Role of the Southeast Asia in the US Strategy toward China, tahun 2000. 

(2). Baca EXECUTIVE SUMMARY Sebagai Hasil SEMINAR TERBATAS GLOBAL FUTURE INSTITUTE (GFI) 15 OKTOBER 2019 tentang Indo-Pasifik. http://theglobal-review.com/executive-summary-seminar-terbatas-global-future-institute-gfi-15-oktober-2019/

(3). Dan Steinbock, From ASEAN Economic Development to Militarization, https://www.foreignpolicyjournal.com/2019/01/22/from-asean-economic-development-to-militarization/

(4). Untuk mendalami Maluku dan Papua sebagai titik geogstrategis Indonesia dan batas keamanan nasional Amerika Serikat, silahkan baca Komarudin Watubun, Maluku “Staging Point  RI Abadi-21, Jejak 800 Tahun Maluku: Dulu, Kini dan Ke Depan. Jakarta: Yayasan Taman Pustaka, 2017. 

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com