Antara Oligarki, Slave Mentality dan Jiwa Merdeka

Bagikan artikel ini
Renungan Idul Adha 1443 H
Merdeka dalam KBBI, artinya tidak terkena atau lepas dari tuntutan; bebas (dari perhambaan penjajahan, dan seterusnya); berdiri sendiri; leluasa; tidak terikat, tidak tergantung pada pihak tertentu.
Jadi, merdeka itu sebuah status (hukum). Dan kemerdekaan merupakan peraihan legalitas, atau boleh juga disebut stempel administrasi. Secara de jure, ia adalah ‘status’ penting dalam hidup baik orang-seorang, kelompok, terutama kehidupan berbangsa dan bernegara. Aspek apapun, di bidang ipoleksosbudhankam niscaya butuh cap tersebut demi sebuah keabsahan. Kasus Holywings misalnya, atau isu ACT yang tengah viral, ketika dicabut (izin) keabsahannya langsung ‘kiamat’. Selesai. Ini sekedar contoh kecil, tidak ada maksud apapun.
Dalam sebuah revolusi, membebaskan budak adalah poin wajib yang mutlak diperjuangkan. Juga, agama apapun mengajarkan bahwa memerdekakan budak bagian dari ibadah.
Tetapi secara de facto, hal paling utama dalam diksi ‘merdeka’ adalah faktor mental. Sekali lagi: “Mental”. Ya. Mental itu berkenaan dengan batin dan watak manusia. Ia tak bersifat badan atau tenaga; atau bermakna aktivitas jiwa, cara berpikir, dan perasaan.
Lawan-lawan Mike Tyson misalnya, bila menggigil sewaktu bertatap muka dengannya, berarti mentalnya down, kekuatan si lawan langsung hilang separuh. Sudah boleh ditebak, dalam satu atau dua ronde, bahkan dalam hitungan menit pasti KO. Knock out. Dan itu bisa terjadi pada siapa saja, dimana saja. Entah individu, kelompok, ataupun (mental down) sebagai bangsa merdeka.
Ada kredo dalam hal kebebasan: tidak satu pun organisme dapat mencampuri kebebasan atau kemerdekaan melainkan aturan hukum; kredo lainnya: tidak ada kebebasan di dunia kecuali kebebasan beragama. Kemerdekaan itu hak, tetapi juga kewajiban.
Learning point yang bisa diambil, bahwa tidak ada kebebasan atau kemerdekaan kecuali dalam beragama. Tidak ada kebebasan melainkan sesuai aturan hukum. Clear? Monggo kalau ada tambahan.
Pada bangsa yang bermental budak (slave mentality), meskipun de jure ia merdeka, namun secara de facto tidak akan ditemukan kebebasan dalam makna sebenarnya. Tak ada kemerdekaan hakiki.
Mengapa?
Golongan bermental budak tidak pernah mengerti tentang apa itu ideologi, macam mana visi, apa prioritas (yang harus dikerjakan), seperti apa nilai bersama, dimana titik berangkat dan titik tuju bersama. Oleh sebab, kaum bermental budak bertindak cuma atas perintah majikan dan/atau hal-hal berkenaan ketetapan ‘tuan’-nya. Tak lebih. Mereka sekadar berharap upah, bonus, sedikit senyum serta pujian dari si tuan.
Ini asumsi. Tatkala sebuah bangsa belum mampu menjadi tuan bagi dirinya sendiri, maka selepas dari penjajahan asing (usai memproklamirkan kemerdekaan), tak lama berselang dipastikan akan kembali dalam cengkeraman penjajahan gaya baru. Entah dijajah non-state actors, atau VOC gaya baru, dan lain-lain.
Hari ini, terminologi paling aktual terkait penjajahan gaya baru, bertitel: “Oligarki”. Entah oligarki politik, sosial budaya dan lain-lain, terutama oligarki ekonomi. Poin inti oligarki itu kekuasaan oleh segelintir orang, atau struktur pemerintah dimana kekuasaan berpusat pada sekelompok orang. Arti lain oligarki yang lebih simpel namun mengerucut yaitu: bertemunya kekuasaan dan kekayaan; atau persenyawaan antara penguasa – pengusaha. Frase yang lebih vulgar lagi, oligarki itu penguasa tetapi juga merangkap pengusaha. Lha, bagaimana? Perumus kebijakan sekaligus eksekutor kebijakan.
Urgensi yang mutlak kudu dicatat, bahwa kekuasaan oligarki mampu mereduksi kemerdekaan, melibas kebebasan, bahkan membajak kedaulatan —kekuasaan tertinggi— milik rakyat. Ini perlu distabilo merah.
Ada istilah unik tetapi nyata dari Prof Jeffrey Winters soal konstelasi oligarki, yakni Wealth Defanse Industry atau Industri Perlindungan Kekayaan. Ringkas uraiannya begini: dulu, kaum pemodal (oligarki ekonomi) tidak pernah ikut terjun dalam politik praktis —selama ini di balik layar— namun sekarang justru turun langsung menjadi Bupati/Walikota misalnya, atau menjadi Gubernur, Menteri, anggota DPR, bahkan Presiden. Naiknya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45 adalah ujud operasional dari Wealth Defense Industry. Upaya perlindungan kekayaan.
Kembali ke slave mentality. Jangan sekali-sekali bicara tentang visi dan ideologi kepada para budak. Percuma. Ia akan berkilah, “Itu domain tuan-ku”. Cukup berikan roti dan sedikit janji, ia akan bersuka cita, menari-nari dalam gendang ilusi. Mirip dogma anjing ketika tulang berada dalam mulutnya, maka kebenaran hanya titah dari si tuan.
Sejarah slave mentality tidaklah melekat pada (maaf) kalangan bawah saja, tidak begitu narasinya. Kerap kali, ada ‘budak’ —secara status— namun tidak bermental budak. Banyak contoh. Terutama kisah manusia-manusia pilih tanding tempo doeloe.
Dan di era modern, tidak sedikit ditemui ‘budak’ tetapi tidak bermental budak. Nelson Mandela contohnya, atau para founding fathers bangsa manapun. Mereka punya visi, nilai-nilai kejuangan, titik tuju, dan pada puncak perjuangan justru membawa bangsanya pada gerbang kemerdekaan. Menjadi bangsa terpandang di dunia, bahkan kini sejajar dengan kelompok negara yang dulu menjajahnya.
Hal paling riskan justru tatkala slave mentality bersemayam di lubuk hati politikus, di benak kaum elit kekuasaan serta para perumus kebijakan. Vivere pericoloso. Mereka akan berusaha mem-‘budak’-kan bangsanya (tanpa rasa bersalah) dalam cengkeraman penjajahan gaya baru melalui sistem politik atau konstitusi. Kenapa? Karena dalam kondisi seperti itulah, ia bisa meneguk gemerlap duniawi. Berpesta di atas jerit tangis bangsanya sendiri.
Nah, bila hal tersebut yang berlangsung, selain kiprahnya berpotensi me-“melumpuh”-kan negeri sendiri, juga bangsa dimaksud bakal sukar keluar dari belitan si penjajah. Artinya, bila tanpa perubahan secara signifikan hingga ke akar-akarnya dan upaya jungkir balik secara serius, akan terjadi apa yang disebut dengan istilah eternal colonialism, atau long lasting colonialism. Ya. “Penjajahan Abadi”. Atau, Absentee of Lord. Apa itu? Tuan tanah yang tidak berpijak di tanahnya sendiri. Ibarat tikus mati, justru sekaratnya di lumbung padi. Masya Allah!
Selamat Idul Adha 1443 Hijriyah. Mohon maaf lahir dan batin.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com