Renungan Minggu Pon
Jejak digital para bakal calon presiden (capres) yang kini mulai tebar pesona di publik, selain popularitasnya didorong oleh pencitraan, juga selama karir politik mereka terbaca hanya mengusung isu-isu hilir. Nyaris tidak satu pun kandidat berani mengusung (persoalan) isu-isu hulu. Entah kenapa.
Kemiskinan misalnya, atau korupsi berjamaah, penguasaan sumber daya (alam) oleh asing, ketidakadilan, konflik yang cenderung lestari dan seterusnya, sebenarnya cuma persoalan hilir belaka. Hanya dampak samping atau side effect atas pembiaran permasalahan (isu) utama bangsa di hulu yakni sistem konstitusi yang berorientasi kapitalis, liberalis, dan individualis. Itulah ISU HULU. Dan isu tersebut, sebagian kalangan menganggap sebagai epicentrum persoalan serta sumber kegaduhan pada bangsa ini. Kenapa tak satu pun bakal capres mengusung isu-isu (hulu) tersebut?
Dinamika politik hingga hari ini, tampaknya masih menari-nari dalam gendang yang ditabuh oligarki, siapa itu? Ia adalah ‘tuan baru’ setelah bangsa ini terlepas dari (‘tuan lama’) kolonialisme asing. Jadi, semacam VOC gaya baru.
Kenapa oligarki disebut sebagai tuan baru, atau VOC gaya baru?
Bahwa hakiki kemerdekaan adalah faktor mental. Kemerdekaan bukan cuma status hukum, legalitas, atau de jure. Bangsa yang bermental budak akan mudah jatuh dalam cengkraman penjajah demi penjajah. Budak tidak punya visi apalagi ideologi. Baginya, visi dan ideologi itu ranah si tuan. Budak cuma butuh upah, bonus dan sedikit puja-puji. Makanya di awal pemerintahan Jokowi dulu, revolusi mental digebyarkan guna mengubah mental warga negara, kendati hasilnya di luar ekspektasi. Oke, untuk topik soal kemerdekaan dan mental budak lain waktu kita ulas. Kembali ke laptop.
Tak bisa dipungkiri, kondisi bangsa tetap dalam keterbelahan atas nama Kadrun dan Cebong. Dua entitas yang terus bertikai sejak Pilkada DKI sekira 10-an tahun lalu. Memang sempat muncul varian baru selain di atas, namun hakikinya sama yakni (semakin) menambah kegaduhan yang selama ini berlangsung. Terendus ada upaya untuk membuat permanen konflik melalui para buzzer yang terus diternak serta dipelihara.
Jangan-jangan, Kadrun dan Cebong justru dirancang oleh satu meja yang sama? Asumsinya, satu dikendalikan, satu lagi dilepas. Asyik. Si dalang cuma memberi umpan (isu) untuk dipertentangkan. Gaduh.
Itu asumsi. Arah pokoknya tak lain, agar bangsa ini terus larut dalam kegaduhan di hilir, sedang mereka abai terhadap isu-isu hulu. Sungguh rancangan canggih lagi senyap.
Apabila pemilihan presiden (pilpres) 2024 berpola seperti pilpres 2014 dan 2019 lalu, mungkin tidak akan ditemui perubahan signifikan dalam demokrasi, atau juga tidak bakal ada kemajuan hakiki pada bangsa ini kendati pilpres tersebut merupakan amanat undang-undang. Kenapa? Sebab, siapapun pemenang ia bagian dari oligarki, bahkan bisa berpotensi menjadi boneka (proxy)-nya. Kecuali jika ada sosok yang memainkan “ilmunya Musa”. Masuk ke sistem, setelah di puncak Fir’aun pun dipenggal.
Mengapa begitu?
Iya. Selain konstitusi atau sistem politik hasil amandemen empat kali UUD 1945 sebagai faktor paling utama, ada efek presidential threshold (20%), juga mahalnya biaya pilpres. High cost politics. Siapa mau ‘membakar’ 10-an triliun rupiah kecuali mereka merapat, direstui dan dibiayai oleh oligarki?
Akibat presidential threshold 20%, para kandidat capres pun sangat terbatas. Loe lagi, loe lagi. Tersirat kudu ‘ada restu’ oligarki bagi si kandidat. Entah oligarki politik terutama oligarki ekonomi, si pemilik modal. Dan rata-rata mereka —para bakal capres— adalah sosok politikus, bukan negarawan.
Lantas, apa perbedaan keduanya? Sangat berbeda!
Politikus berpikir next election. Cara menjaring suara, bagaimana bisa menang, lanjut berkuasa dan lain-lain. Sedang negarawan berpikir next generation. Bagaimana membangun negeri, membuat cerdas dan sejahtera rakyat, membawa bangsa agar terpandang di mata dunia, dan lain-lain.
Politikus mengandalkan materi —wani piro— guna meraih suara; sedang negarawan tidak berpikir kalah-menang, namun berharap ridho-Nya. Basis politikus ialah pamrih, sementara negarawan berdasarkan keikhlasan. Sak dermo nglakoni. Pasrah.
Politikus mengelola isu-isu hilir sebagai ‘dagangan’ dalam pencitraan serta bahan kampanye; negarawan membahas isu hulu yaitu permasalahan pokok bangsa yang mengakibatkan berbagai ketimpangan (isu-isu) di hilir.
Dan tampaknya, konstitusi hasil amandemen empat kali terhadap UUD 1945 hanya mampu membidani sosok politikus, bukan negarawan.
Seandainya ‘copras-capres’ pada 2024 nanti cuma diikuti para politikus dengan dimentori oleh politikus senior, maka bangsa ini ibarat membangun rumah di tepi jurang. Dengan sekali goncangan keras bisa runtuh. Ini bukan skeptis atas situasi yang ada, tetapi merujuk kondisi yang sudah-sudah, bahwa persoalan hilir, semacam isu sentimen agama, atau kemiskinan dan seterusnya bukannya diperangi, namun justru dieksploitasi. Dijadikan komoditas (politik) dalam pencitraan, misalnya, atau bahan janji-janji dalam kampanye demi kampanye. Kuat disinyalir, ada upaya melestarikan kemiskinan serta permanenisasi konflik di tataran akar rumput.
Dimungkinkan, kondisi rapuh bangsa dan kecenderungan pola pragmatis kaum politikus, terbaca oleh pihak luar/asing. Salah satu indikasinya ialah, seorang Mahathir Mohamad pun —“murid”-nya Pak Harto— berani terang-terangan menyerang Indonesia melalui isu frontier, “Kepulauan Riau bagian dari Malaysia”. Tetapi, semoga muncul skenario indah-Nya untuk bangsa dan negara yang berdiri atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagian warga meyakini akan niskala itu. Semoga Tuhan tidak berkehendak Negeri Tauhid ini menjadi bangsa pecundang di muka bumi. Ada blessing in disguise dalam situasi yang serba bergejolak lagi tidak pasti. Muncul berkah terselubung dalam skenario-Nya yang mahahalus, mahasempurna.
Optimis? Harus!
Merujuk ujaran leluhur waskita tempo doeloe, bahwa kejayaan bangsa ini terulang dalam kurun tujuh abad. Abad ke-7 bernama Sriwijaya, Nusantara I. Kemudian abad ke-14 berjudul Majapahit, Nusantara II.
Nah, bangsa ini sekarang tengah mengarungi lorong abad ke-21, Nusantara Raya. Indonesia Jaya. Entah kapan fajar menyingsing bagi Nusantara III, lalu menjadi Mercusuar Dunia?
“Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubahnya sendiri”.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)