Pentingnya Power Concept dan Urgensi Momentum dalam Misi Perdamaian

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Geopolitik
Kedudukan Indonesia selaku Presidensi G20 cukup keren dan unik di tengah perseteruan antardua blok global yakni Blok Barat/NATO pimpinan Amerika (AS) versus Blok Timur dalam hal ini Rusia.
Dunia memahami, bahwa Ukraina hanya sekedar ‘medan tempur’ dari dua blok yang bertikai. Itulah proxy war bahkan boleh dianggap hybrid warfare karena lebih kental perang (saling) sanksi antara para pihak sehingga berdampak serta berkontribusi terhadap tiga krisis global yang kini terjadi yaitu krisis pangan, energi, dan krisis keuangan.
Sekali lagi, Presidensi Indonesia dalam G20 cukup keren lagi unik. Keren, sebab haluan politik luar negeri sejak dulu adalah bebas aktif. Non blok. Ketika menjadi Presidensi G20 di tengah konflik antara dua blok di atas, para anggota G20 percaya dan yakin atas sikap netral Indonesia. Anggota G20, terutama para pihak yang berseteru niscaya akan hadir lengkap di Bali karena ketidakhadirannya justru merugikan mereka sendiri, minimal bisa kalah dalam propaganda saat sidang nantinya.
Dianggap unik, betapa selaku Presidensi G20, Indonesia masih memiliki ketergantungan terhadap kedua blok dalam hal pangan, energi dan keuangan. Ini alasan pertama. Geopolitik Indonesia tergerus oleh para pihak yang bertikai. Power Indonesia kurang signifikan sebagai penengah karena faktor geopolitik. Alasan kedua, saat ini Putin tengah menggugat sejarah Kejayaan Rusia di panggung geopolitik global melalui (pintu) konflik Ukraina. Ia mencoba mengubah konsep unipolar yang selama ini dinikmati Barat menjadi multipolar. Nah, di tengah gegap upaya perjuangan Putin meraih Rusia Raya, tiba-tiba datang pihak ketiga meminta upaya ‘gugatan’ (peperangan)-nya dihentikan?
Makanya, usai kunjungan (misi) perdamaian Jokowi ke Kiev, Ukraina kembali dibombardir oleh Rusia. Artinya apa, dalam sebuah misi besar tak cukup hanya berbekal semangat dan kemauan saja, tetapi betapa pentingnya power concept yang memadai serta momentum yang pas. Saat yang tepat. Dalam kasus di atas, momentum belum tiba namun terburu merespon. Akhirnya cenderung tidak efektif.
Politik bebas aktif itu akan menjadi dahsyat jika ruang dan waktunya tepat. Momentum tiba. Mohon maaf, seandainya yang datang di Kiev – Moskow adalah Arab Saudi yang membawa misi jajaran negara di Jazirah Arab dikala Rusia diisolir oleh berbagai negara, barangkali akan berbeda kondisi. Kenapa? Sebab, power concept Arab Saudi dan jajaran seimbang dengan Rusia —sesama net oil exporter— bahkan lebih tinggi daripada Ukraina.
Dalam geopolitik, power concept ialah power militer, power politik dan power ekonomi. Sedang seruan PBB saja tidak digubris. Maka seyogianya power concept si juru damai kudu setingkat lebih tinggi dari para pihak yang bertikai, atau paling sedikit seimbang.
Tanpa momentum dan power concept yang memadai, sebuah misi perdamaian hanya sekedar jalan-jalan dengan protokoler mahal lagi ketat di wilayah konflik. Tentu akan sarat dengan risiko. Entah risiko peluru nyasar, misalnya, ataupun risiko-risiko lainnya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com