Mewaspadai Isu Frontier Ala Mahathir

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Asymmetric War
Pidato Mahathir Mohamad (MM), 9 Juni 2022, di acara Aku Melayu: Survival Bermula (I’m Malay: Survival Begins) ada poin yang urgen bagi Indonesia:
“Riau dan Singapura secara historis bagian dari Johor Tanah Melayu, Malaysia seharusnya merebut kembali dua wilayah tersebut”.
Dan respon Kemlu RI selaku pihak berkompeten relatif lugas dan tegas, inti tanggapannya antara lain:
Kepulauan Riau: Wilayah NKRI yang ditentukan atas prinsip dan ketentuan hukum internasional; Indonesia tidak melihat dasar hukum dan alasan pernyataan MM; Politisi senior seharusnya tak menyampaikan statement yang tidak berdasar (baseless); Kepulauan Riau sampai kapanpun akan menjadi wilayah NKRI.
Dalam politik praktis, statement MM mungkin hanya cek ombak. Melihat reaksi publik. Terutama ‘ombak’ di Riau dan Tanah Melayu di sekitar Kepri. Akan tetapi, pernyataan MM bukanlah ranah politik praktis, kurang pas jika disebut cek ombak. Lebih tepat disebut menebar (isu) frontier. Ia masuk koridor geopolitik karena sifatnya interstate alias antarnegara.
Dari perspektif geopolitik, statement MM memang tergolong (dimensi) frontier, yaitu: “Batas imajiner pengaruh asing dari boundary (batas negara secara hukum) terhadap rakyat di sebuah negara”.
Ya. Frontier bersifat dinamis. Ia bisa bergerak, bergeser, bertambah, atau ‘mati’ alias berhenti, maupun menipis bahkan hilang. Tergantung dinamika (dan antisipasi). Clue-nya ialah, ketika pengaruh pusat sudah tidak lagi mencakupi wilayah tertentu akibat pengaruh asing, maka frontier akan muncul. Lazimnya (titik awal) adalah pengaruh budaya, ekonomi, ideologi dan seterusnya. Apabila frontier tidak segera ditangani oleh pusat ia dapat berubah menjadi pengaruh politik, dan gilirannya bisa memisahkan diri, contohnya, lepasnya Sipadan Ligitan, ataupun pisahnya Timor Timur (Tim-Tim) tempo doeloe.
Perbatasan antara Tim-Tim dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dulu merupakan frontier bagi Indonesia. Kenapa? Ternyata secara kultur, kita gagal mempengaruhi warga Tim-Tim masuk ke dalam kultur NTT, sedang mereka mayoritas satu suku. Tim-Tim pun akhirnya lepas. Persoalan ada faktor-faktor yang dominan atas pisahnya Tim-Tim, what lies beneath the surface, itu hal lain. Lain waktu kita ulas.
Di Indonesia, titik-titik frontier relatif tidak sedikit karena wilayah terluar berbatas dengan 10-an negara asing baik di darat maupun di laut. Di Natuna misalnya, Cina menebar frontier melalui ‘serbuan’ ratusan nelayan yang diback up oleh Coast Guard dan kapal perang. Tetapi, antisipasi pusat relatif cepat. Selain mengubah nama perairan menjadi Laut Natuna Utara, juga upaya penjagaan laut secara ketat serta pembangunan terkait infrastruktur pelabuhan dan dermaga kapal selam di Natuna. Frontier pun agak menipis.
Balik lagi ke MM. Entah pernyataan pribadi, atau mewakili negara, statement MM —PM Malaysia pada masanya— perlu diwaspadai sebagai upaya asing menebar frontier di Tanah Melayu.
Kenapa?
Kapasitas MM sebagai negarawan dan/atau politisi senior di Malaysia bukannya (statement) ujug-ujug dan tanpa perhitungan. Niscaya ia sudah memegang data serta informasi tentang Riau. Entah data apa ia pegang.
Dalam asymmetric war yang berpola ITS (Isu, Tema/Agenda, Skema), MM baru sebatas menebar “isu”. Entah isu sebagai pola atau isu sebagai modus. Jika yang ia lakukan isu sebagai modus, maka sifatnya hanya testing the water. Mirip cek ombak dalam politik praktis. Entah isu berjalan landai, atau timbul reaksi keras. Namun tidak ada tindak lanjut. Sekedar test the water.
Tetapi, apabila yang dimainkan MM adalah isu sebagai pola, maka akan ditindaklanjuti dengan tema atau agenda. Entah apa agenda lanjutannya. Yang jelas, skema besarnya kelak —isu sebagai pola— ialah merebut Riau menjadi bagian Malaysia.
Berbasis pengalaman, Malaysia itu — jangankan hal yang terlihat (pulau atau wilayah), sedang hal tak terlihat seperti lagu rasa sayange dan budaya reog pun dilibas. Diklaim kepunyaannya.
Tugas kita bersama selaku anak bangsa, terutama aparat terkait yang berkompeten adalah mencermati apa agenda yang akan digulirkan MM usai isu frontier ditebar ke publik.
“Pertahankan rumah serta halaman pekarangan kita sekalian” (Panglima Besar Soedirman, 1957).
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com