Saskia Yuli, pemerhati masalah politik di Kajian Nusantara Bersatu, Jakarta
Ditangkapnya Hasan Basri alias Ewin yang juga anggota Persatuan Sopir Truk Pelabuhan (PSTP) telah menjadi perhatian dan pembicaraan aktivis melalui jejaring sosial, termasuk sebuah organisasi bernama Pembebasan Nasional memuat postingan yang menuntut pembebasan Hasan Basri alias Ewin anggota PSTP Belawan yang hingga kini masih di tahan Kepolisian Sumut saat mogok nasional.
Hasan Basri juga anggota Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh dan Rakyat Sumatera Utara (KNGBR) yang melakukan pemogokan di kawasan pelabuhan pada tanggal 1 November yang lalu. Hasan Basri bersama-sama dengan kaum buruh se-Indonesia memperjuangkan tuntutan kenaikan upah minimal 50% secara nasional, penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing, serta jaminan sosial untuk rakyat dengan cara mogok nasional (Monas). Menurut Pembebasan Nasional, Hasan Basri adalah korban represifitas negara, sama halnya dengan 28 orang buruh di Bekasi yang dipukuli dan dibacoki oleh preman bayaran para pengusaha. Hasan Basri bersama buruh-buruh lainnya turun ke jalan untuk memperjuangankan hak mereka: kesejahteraan yang lebih baik. Namun, Hasan Basri ditangkap oleh pihak Kepolisian Sumatera Utara, dengan tuduhan bahwa Hasan Basri menabrakkan Truknya ke arah polisi. Hasan Basri dikenai pasal 122 dan 124 KUHP perihal penganiayaan secara bersama-sama.
Kaum Buruh Harus Cerdas
Status edaran yang disebarluaskan melalui sosial media dalam konteks komunikasi massa dapat dinilai sebagai selebaran gelap, karena pengirim sama sekali tidak menyebut identitasnya. Permasalahan yang dikemukakan oleh selebaran gelap ini adalah pelanggaran hukum/kekerasan oleh Kepolisian terhadap oknum buruh Hasan Basri alias Ewin yang membahayakan orang lain. Pola aksi dan tuntutan kelompok buruh yang dibela ini sangat identik dengan tuntutan kelompok buruh golongan kiri.
Ada kelemahan yang dapat dikenakan kepada Pemerintah ketika sudah banyak informasi yang menyatakan kaum buruh melakukan ancaman akan mogok akhir Oktober 2013 nampaknya sama sekali tidak ada respons dari Pemerintah termasuk aparatur keamanan, untuk mengantisipasinya dengan menyebarkan pengertian bahwa MOGOK artinya TIDAK BEKERJA, bukan aksi massa sepanjang jalan. Bahkan, penggalangan yang dilakukan aparat pemerintah kepada aktivis buruh yang menelan biaya besar ternyata tidak dapat menghentikan aksi mogok nasional ataupun mogok daerah (modar) dari kalangan buruh.
Menurut catatan penulis, notabene daerah Sumatera Utara adalah daerah yang dalam konteks aksi buruh adalah daerah rawan sejak pada masa Orde Baru sekalipun ketika serikat buruh berada dibawah pimpinan Mochtar Pakpahan demonstrasi buruh secara besar-besaran dilakukan di kawasan Medan, yang mengakibatkan pimpinan SBSI tersebut ditangkap dan sebagai tanggung jawabnya ia dijatuhi hukuman penjara.
Apabila kasus yang melibatkan oknum Hasan Basri atau Ewin ini benar, maka Kepolisian perlu memprosesnya segera dan mengumumkan tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan, melihat suasana masalah perburuhan (apabila tidak ditangani dengan tertib) berkecenderungan bisa kembali kemasa Orde Lama, maka mengingat telah adanya UU Ormas, maka organisasi buruh rasanya perlu lebih ditertibkan sehingga kordinasi dan konsultasi antara kelompok buruh dengan fihak pengusaha maupun Pemerintah, dapat dilakukan dengan lebih tertib.
Kasus Hasan Basri ini juga menunjukkan bahwa unjuk rasa yang dilakukan buruh dapat berekses hukum dan menyebabkan si buruh menjadi tidak bekerja bahkan dipenjara. Kalau sudah begini, para tokoh atau aktivis yang mengajak buruh untuk melakukan unjuk rasa, sweeping bahkan mogok kerja hanya mampu “membela” melalui media sosial, apakah ini seimbang atau sepadan dengan aktivitas buruh yang berunjuk rasa yang kadang-kadang harus mengalami kekerasan. Inilah anti klimaks perjuangan buruh. Sekali lagi, kalangan buruh harus cerdas menyikapinya.