Ananda Rasti, peneliti muda di Kajian Nusantara Bersatu, Jakarta
Analisa ini pertama-tama mencari sebab mengapa gagasan untuk menunjuk seseorang sebagai Wali Naggroe menimbulkan pro dan kontra yang tajam. Wali Nanggroe merupakan lembaga kekuasaan yang nampaknya tidak disebut secara eksplisit dalam MoU Helsinki, tetapi sekedar sebuah hasil tafsiran dari sesuatu pasal MoU, yang diimajinasikan sebagai sebuah kekuasaan politik. Wali Nanggroe jelas tidak ada dalam sistem ketatanegaraan RI baik di Pusat maupun Daerah.
Wali Naggroe nampaknya sebagai sebuah konsep kekuasaan politik yang mengemban dan menjunjung tinggi serta menjamin tegak berdirinya nilai-nilai budaya, adat dan nilai-nilai kehidupan rakyat Aceh, yang dipersonifikasikan pada eksisistensi seorang pemimpin yang disebut Wali Naggroe, mempunyai kedudukan hukum yang lebih tinggi dari Gubernur bahkan DPRD Aceh.
Konsepsi kekuasaan politik seperti diimajinasikan dalam pribadi seorang Wali Naggroe nampaknya dalam rangka melanjutkan idaman rakyat Aceh yang ingin menjadikan Aceh sebagai sebuah totalitas politik, ekonomi, sosial dan budaya yang dalam beberapa tahun terakhir ini diwujudkan sebagai GAM yang ingin menjadikan Aceh sebagai negara yang terpisah dari NKRI dengan kepribadian Aceh.
Negara Aceh Merdeka dengan kepribadian dan berbudaya Aceh yang terpisah dari NKRI tidak tercapai karena demi perdamaian dan cita-cita kehidupan yang aman tenteram dan dalam lindungan Allah SWT, para cerdik pandai dari kalangan rakyat Aceh menyetujui berakhirnya konflik bersenjata yang hanya mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan kepada rakyat Aceh melalui sebuah kesepakatan yang disebut MoU Helsinki.
Oleh sebab itu harus ada seorang tokoh agama yang sangat Islami mengingatkan rakyat Aceh agar sadar perdamaian di Aceh sangat mahal harganya, jangan mempolitisir MoU Helsinki untuk menciptakan kembali konflik diantara sesama rakyat Aceh dan antara rakyat Aceh dengan Pemerintah RI di Jakarta. Mou adalah sarana tercikptanya perdamaian di Aceh.
Bendera Aceh dan jabatan politik Wali Nanggroie adalah produk pikiran yang terinfeksi oleh keinginan Aceh menjadi negeri yang terpisah dari NKRI dengan cara menafsirkan MoU Helsinki secara mengada-ngada sekedar untuk membenarkan pikiran-pikiran yang ingin menjadikan Aceh bukan Indonesia.
Sebelumnya, tanggal 10 November 2013 di Hotel Meuligo dan Hotel Tiara Meulaboh Kabupaten Aceh Barat, sekitar 25 anggota Font pembela Tanah Air (Peta) melakukan aksi pengusiran terhadap para peserta dialog lembaga Wali Nanggroe yang menginap di hotel, agar tidak menghadiri acara dialog partisipasi pemangku kepentingan Aceh yang diselenggarakan oleh Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh yang diikuti sekitar 150 orang tokoh wilayah Barat Selatan Aceh. Dalam aksi tersebut, pihak Peta Aceh Barat meminta para peserta untuk kembali pulang karena dialog tersebut merupakan upaya doktrin pembohongan dan pembodohan, dan para peserta diskusi pergi meninggalkan hotel.
Menurut Taufiq yang juga menjabat sebagai Panglima Peta Aceh Barat, kegiatan dialog Wali Nanggroe tersebut telah memancing keributan di Aceh Barat, dan menilai hanya permainan dan upaya pembodohan bagi masyarakat Aceh.
Aktifitas Peta memang berhasil mendorong sejumlah undangan dialog Wali Nanggroe tersebut meninggalkan hotel dimana menginap, namun masih ada sejumlah undangan yang tinggal.
Konsep Wali Nanggroe Berpotensi Menimbulkan Konflik
Konsep jabaran Wali Naggroe telah menjadi benih konflik dan ketegangan di kalangan masyarakat Aceh. Konsep jabatan Wali Nanggroe seperti Bendera Aceh adalah produk dari sikap sebagian rakyat Aceh yang menginginkan Aceh berdiri sendiri bukan bagian dari NKRI. Pola ini nampaknya merupakan konsep strategi menjadikan Aceh diperintah melalui sistem politik yang berbeda dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia.
Wali Naggroe nampaknya identik dengan keberadaan Lembaga Dewan Adat di Papua, yang secara pelan-pelan ingin menjadi lebih berkuasa dari DPR Papua, demikian pula Dewan Adat di Papua Barat merasa lebih tinggi dari DPR Papua dan Papua Barat.
Mereka ini terus berusaha merekayasa beberapa pasal MoU Helsinki untuk menciptakan simbol-simbol yang mengesankan identitas Aceh yang bukan NKRI dengan menciptakan jabatan dengan kekuasaan politik yang seolah-olah setingkat Presiden RI disamping sebuah bendera yang mirip dengan bendera GAM.
Rakyat Aceh yang sangat religius dan Islami diperkirakan hanya bisa diyakinkan oleh seorang ulama Islam yang sangat mereka hormati agar rakyat Aceh jangan dibawa kearah pemikiran-pemikiran yang sesat dengan memanfaatkan tafsir pasal MoU sesuai dengan keinginannya menjadikan Aceh terpisah dari NKRI, tetapi selalu menafsirkan MoU Helsinki sebagai alat perdamaian bagi Aceh sebagai bagian dari RI.