Arab Saudi dan Israel Memang Saudara Kandung dari Orang Tua Yang Sama (Catatan Singkat dari Pertemuan Para Menlu OKI ke-40 9-11 Desember 2013)

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Pertemuan para menteri luar negeri negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam(OKI) berjalan sesuai rencana. Pertemuan digelar di Conakri Gunea mulai 9 Desember hingga 11 Desember 2013. Sesuai tulisan kami terdahulu berjudul Sidang Para Menteri Luar Negeri OKI ke-40 dan Rencana Rahasia Arab Saudi, tentang sikap Negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI untuk memutuskan hubungan diplomatik terhadap negara-negara yang mengakui pencaplokan Israel atas wilayah Yerusalem. Sekaligus mendesak Negara-negara OKI untuk membuat resolusi agar untuk memindahkan kedutaan mereka ke kota bersejarah tersebut. Nampaknya, terkait isu Palestina Merdeka, pernyataan negara-negara anggota OKI cukup progresif.

Berita yang dilansir oleh kantor berita Iran IRIB 12 Desember 2013, mengutip pernyataan Mahmoud Ali Youssouf, menteri luar negeri Djibouti di awal sidang, menyatakan tekadnya bahwa merupakan kewajiban kita (negara-negara OKI, red) untuk melanjutkan dukungan pembentukan negara independen Palestina dan pengakuan resmi dari PBB. Yang tentunya disertai harapan bahwa pada akhirnya akan semakin mempercepat terbentuknya negara Palestina merdeka, dan ditetapkannya Baitul Maqdis sebagai ibukota Palestina.

Mungkinkah hal ini bisa terwujud secepatnya? Agaknya hasil pertemuan para Menteri Luar Negeri OKI belum sampai pada tahapan tersebut. Apalagi hal tersebut baru sebatas pernyataan yang dikumandangkan oleh Menlu Mahmoud Ali Youssouf meskipun pernyataan tersebut bisa dipastikan merefleksikan pandangan umum semua negara anggota OKI tak terkecuali Indonesia.

Maka dalam kaitan ini, Global Future Institute sepaham dengan politik keredaksian kantor berita Iran IRIB bahwa OKI sebenarnya mampu memainkan peran berpengaruh dalam menciptakan gerakan global di masyarakat internasional dalam mendukung terwujudnya hak-hak legal bangsa Palestina khususnya pembentukan negara independen Palestina. Apalagi mengingat kenyataan bahwa pembentukan negara independen Palestina adalah hak pasti yang juga ditekankan oleh berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Isu Suriah Masih Tetap Misteri

Lantas, bagaimana dengan isu-isu lain yang pada awalnya juga diagendakan seperti konflik bersenjata di Suriah maupun Mali? Menariknya, hampir semua media di Indonesia tak ada yang memberitakan pertemuan para menlu OKI tersebut secara lengkap kecuali kantor berita Iran IRIB.

Apa yang sesungguhnya terjadi pada pertemuan para menlu OKI kali ini? Salah satu mata-rantai penting untuk mengungkap misteri ini adalah rencana rahasia Arab Saudi yang nampaknya bertentangan dengan aspirasi sebagian besar negara-negara yang tergabung dalam OKI. Seperti tulisan kami terdahulu, berkembang informasi Arab Saudi bermaksud untuk menggalang dukungan dan pengaruh dari negara-negara OKI agar kelompok pemberontak Suriah yang bermaksud menggulingkan Presiden Bashar Assad, diikutsertakan dalam berbagai forum pertemuan OKI dalam kapasitas sebagai wakil negara.

Tentu saja proposal Arab Saudi tersebut bisa dibaca sebagai alat Amerika Serikat dan Israel untuk membangun sphere of influence di kalangan negara-negara Islam OKI.

Berita yang beredar di berbagai media beberapa waktu lalu nampaknya memperkuat informasi ihwal adanya rencana rahasia Arab Saudi.  Kepala intelijen Arab Saudi, Pangeran Bandar bin Sultan, dilaporkan melakukan pertemuan rahasia dengan kepala badan intelijen Israel dan pejabat tinggi Israel lainnya di Geneva, Swiss, 27 November lalu.

Dalam pertemuan antara Pangeran Bandar bin Sultan bersama para pejabat Israel itu, dibahas tentang upaya untuk mengontrol engaruh kekuatan kelompok radikal dalam perang saudara di Suriah, meredam kekuatan Ikhwanul Muslimin (IM) di dunia Arab, dan menghentikan gelombang Musim Semi Arab.

Menariknya, berita tersebut dilansir secara bersamaan oleh kantor berita Iran Fars yang kemudian dikutip dan disebarluaskan oleh harian Israel The Jerusalem Post. Pertemuan itu juga terjadi hanya tiga hari setelah tercapainya kesepakatan sementara di Geneva pada 24 November antara Iran dan P5+1 (AS, Rusia, Inggris, Perancis, dan China, plus Jerman) tentang isu program nuklir Iran.

Benarkah indikasi ke arah persekutuan Arab Saudi dan Israel semata-mata karena sama-sama kecewa dengan kesepakatan Geneva yang nampaknya menguntungkan Iran?

Lepas dari kekecewaan bersama Israel dan Arab Saudi, sejatinya Arab Saudi dan Israel sama-sama negara-negara satelit Amerika dan Inggris sejak awal berdirinya.

Ihwal Kelahiran Negara Arab Saudi

Menyusul Menyusul kekalahan Imperium Ottoman Turki pada Perang Dunia I, beberapa negara arab kemudian jatuh ke tangan Inggris seperti Irak, Jordan dan Arab Saudi lewat dinasti Ibnu Saud.

Pada 1922, Arab Saudi mendapatkan kemerdekaan penuh dari Kerajaan Inggris melalui The Treaty of Jeddah. Sejak itu, praktis Arab Saudi menguasai beberapa kawasan di Timur Tengah dengan dukungan sepenuhnya Inggris. Setelah menganeksasi Riyadh, kemudian mencaplok Madina dan Mekkah yang sebelumnya dikuasai dinasti Hashemite.

Inggris-AS memang mempertaruhkan segalanya di Timur Tengah, karena 66,5 persen cadangan minyak mentahnya memang berada di kawasan tersebut. Dan 42 persen di antaranya, berada di keenam negara Arab di kawan teluk tersebut. Sementara di Arab Saudi sendiri, terdapat 60 ladang minyak dan gas bumi yang menghasilkan 10 juta barel per hari.

Melalui perjanjian yang dikenal The San Remo Agreement, kawasan minyak Timur Tengah dibagi antara kedua negara eropa tersebut. Beberapa pengusaha minyak besar Amerika yang berada dalam kepemilikan  Rockefeller mulai meraja lela seperti Exxon Mobil, Chevron, dan Texaco kemudian bergabung dengan British Petroleum, Royal Dutch/Shell yang berada dalam kepemilikan keluarga Rothschild dan keluarga kerajaan Belanda.

Maka, beberapa perusahaan besar seperti Exxon Mobil, Texaco, BP Amoco dan Royal Dutch/Shell, yang berada dalam kepemilikan Rockefeller dan Rothschild, mulai merancang sistem pengamanan menyeluruh untuk mengamankan penguasaan mereka akan minyak mentah di kawasan teluk.

Maka, Arab Saudi yang dikuasai dinasti Ibnu Saud dijadikan sebagai basis dan markas operasi politik-ekonomi-intelijen-militer dari kekuatan-kekuatan korporasi tersebut sejak pasca Perang Dunia I.

Pada 1979, menyusul runtuhnya kerajaan Iran di bawah kepemimpinan Shah Reza Pahlevi, dan diberlakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak asing di Iran, beberapa pengusaha minyak Amerika dan Eropa dipaksa untuk mencari basis kekuatan dan pengaruh baru di Timur Tengah.

Maka, dua konglomerat besar Rockefeller dan Rothschild mulai menyusun kembali kekuatan baru di Timur Tengah melalui terbentuknya Dewan Kerjasama Teluk (GCC), dan melibatkan setidaknya enam negara yaitu Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman dan Qatar. Dewan Kerjasama Teluk dengan pilar 6 negera Arab tersebut, kecuali Oman, merupakan negara OPEC (Negara-Negara Pengekspor Minyak).

Konsesi yang diberikan Arab Saudi dengan adanya perlindungan militer dari persekutuan negara-negara yang kemudian tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk tersebut adalah, negara-negara barat mendapatkan pasokan minyak mentah dengan harga semurah mungkin. Sebagai konsekwensi dari kerjasama itu, muncullah beberapa perusahaan kontraktor pertahanan negara-negara barat memberi pelatihan militer terhadap angkatan bersenjata Arab Saudi. Beberapa perusahaan tersebut antara lain SAIC, Booz Hamilton, TRW dan Vinnel Corp.

Bisa dimaklumi jika negara-negara arab tersebut semuanya merupakan negara monarki sehingga para pengusaha minyak yang berada di belakang pemerintah Amerika dan Inggris dengan mudah bisa mengendalikan dan mengaturnya melaui uang suap dan segala bentuk praktek korupsi lainnya sebagai modus operandi.

Terciptanya Dewan Kerjasama Teluk yang disponsori Amerika-Inggris tersebut, pada perkembanganya telah melemahkan negara-negara arab berhaluan nasionalis seperti Lebanon dan Syria. Sementara negara-negara monarki Arab boneka Amerika-Inggris ini justru kian menguat.

Skema ekonomi liberal seperti Foreign Direct Investment lewat perbankan dan perusahaan-perusahaan barat, kemudian menciptakan zona perdagangan bebas di wilayah kedaulatan negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk. Bahkan ada pelabuhan bebas arus masuk barang di Dubai, Uni Emirat Arab.

Skema persekutuan strategis Amerika-Inggris dengan keenam negara arab tersebut harus ditelusur melalui skema model penjajahan ala Inggris sejak 1776. Melalui apa yang disebut sebagai British East India Company, Kuwait dijadikan basis dan markas kekuasaan Kerajaan Inggris dalam mengendalikan seluruh kawasan Timur Tengah.

Berarti sejak abad ke-16 Kuwait sudah dipandang Inggris sebagai wilayah yang cukup strategis. Sejak 1917, Inggris mulai memindahkan dukungannya kepada dinasti Ibnu Saud dari Arab Saudi melalui momentum persekutuan untuk mengalahkan dinasti Ottoman dari Turki.
Di sinilah bermula campur tangan pengusaha Inggris Rothschild dengan mendorong pemerintah Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang mendukung berdirinya tanah air bagi Yahudi di tanah Palestina. Yang sekarang kita kenal sebagai Israel. Bagi Rothschild, tujuan utamanya bukan mendukung Yahudi atau negara Israel, melainkan penguasaannya atas kawasan minyak di Timur Tengah.

Singkat cerita, keenam negara Teluk yang mulai dilepas sepenuhnya sebagai negara merdeka antara 1961 dan 1971, sejatinya merupakan alat monopoli dari dua pengusaha minyak Amerika-Inggris Rockefeller dan Rothschild.

Dengan demikian, Arab Saudi dan Israel memang saudara kandung dari satu orang tua yang sama: Amerika dan Inggris. Jadi tidak aneh kan kalau kedua negara tersebut seakan-akan baru bersekutu pada saat ini?

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com