Arief Budiman (1941 – 2020)

Bagikan artikel ini
Saya tahu nama sosiolog keluaran padepokan Harvard, Amerika, ini dari majalah sastra HORISON. Hari itu pelatih teater kami membawa majalah itu ke sekolah. Dalam pertemuan sebelum latihan ia menunjuk naskah drama dalam majalah itu yang akan kami mainkan dalam acara perpisahan senior yang baru lulus. Saya mengambil majalah itu dan membaca isinya sambil lalu. Saya juga melihat halaman mazet.
Olala semua empu sastra dan kebudayaan tumplek blek di kolom redaksi. Majalah bagus, pikirku. Tapi perjumpaan dengannya bermula dari buku CHAIRIL ANWAR, SEBUAH PERTEMUAN (Pustaka Jaya, 1976). Sebagai murid sekolah menengah buku yang berasal dari skripsi tahun 1968 itu nyaris tak dapat saya pahami. Meski bertema sastra buku ini sebenarnya kitab filsafat. Arief mencoba mendekati sajak-sajak Chairil lewat telaah filsafat eksistensialisme yang berat. Mengherankan karya begini bisa lahir dari fakultas yang sama sekali jauh dari buku teks yang memuat gagasan Heidegger, Camus, Sartre, Jaspers, atau bahkan Socrates itu.
Awal tahun 1980-an saya bertemu pertama kali dengannya. Saat itu ia baru pulang dari Amerika dan namanya tengah banyak disebut dalam berbagai pertemuan. Lewat sebuah artikel di KOMPAS, berisi kritik terhadap gagasan profesor Mubyarto mengenai sistem ekonomi bercorak nasional, ia memicu perdebatan besar tentang Ekonomi Pancasila selama berbulan-bulan tahun 1981. Ini polemik berskala nasional karena hampir semua media cetak pusat dan daerah memuat isu ini. Saya pun pergi ke Salatiga pingin bertemu debater ulung itu.
Waktu itu belum ada hp-hp-an. Kalau kita hendak bertemu seseorang ya nubruk langsung. Kami berjumpa di sebuah ruangan di Universitas Kristen Satya Wacana, tempat ia mengajar. Ramah. Nampak santai, hanya memakai kaos oblong warna marun. Meski baru bertemu tidak keluar pertanyaan: dari mana atau ada keperluan apa? Ia memperlakukan saya seolah kami berkawan hingga saya pun tidak nampak seperti murid kena setrap di depan kelas. Ia lalu menyilakan saya duduk tepat di samping kanannya.
Bila ada intelektual yang mampu menjelaskan sesuatu dengan lancar dan tidak banyak menggerakkan tangan untuk menekan suatu kalimat tak syak lagi memang dia orangnya. Gelombang suaranya terdengar datar. Kata-kata seolah tinggal diucapkan. Mendengar Arief bicara sama nikmatnya seperti membaca tulisannya. Saya pun lega dan bebas bertanya.
Setahu saya, betapapun mentah suatu pertanyaan, ia selalu menjawab tiap soal yang diajukan. Jarang terlihat menarik napas panjang sebelum menjawab seperti gaya bicara seorang ilmuwan politik yang pernah saya temui. Dan di atas semuanya ia orang yang enak diajak bicara. Tempatnya boleh dimana saja. Tidak mesti duduk dikursi, di atas tikar pun oke. Dengan kata lain: sama rata sama rasa. Arief mengaku terus terang ia seorang sosialis. Itu sebabnya ia mengambil bahan disertasinya tentang Chili dibawah Salvador Allende, tokoh sosialis yang dikudeta jenderal Pinochet (1973). Dalam acara anugerah Bakrie Award di Jakarta (2006) ia mengatakan merasa terhina menerima hadiah tersebut karena seorang kiri menerima anugerah yang diberikan kelompok kanan.
Sebagai intelektual-aktivis ia menggerakkan banyak kontroversi di Indonesia merentang dari masalah sastra hingga ilmu sosial. Sastra Kontekstual, ide yang digagas Arief dan Ariel Heryanto tahun 1984 dalam sebuah serasehan sastra di Solo, entah bagaimana malah ia yang dijadikan sasaran hujah padahal gagasan awalnya berasal dari Ariel. Ia dianggap jubir yang getol mempromosikan sastra itu untuk melawan sastra non-kontekstual atawa sastra universal yang menurut mereka tidak berpijak dibumi itu.
Maka Umar Kayam pun menyoal “metode” sastra itu di rubrik Catatan Kebudayaan majalah Horison. Arief menjawab dalam edisi berikutnya dengan mengajak begawan itu melangkah ke tahap riset bersama. Debat panjang tentang sastra ini yang berlangsung diberbagai media dan melibatkan sejumlah sastrawan senior dan junior itu kemudian dibukukan oleh Ariel Heryanto (editor):
PERDEBATAN SASTRA KONTEKSTUAL (Rajawali, 1985). Setelah menggerakkan debat besar Ekonomi Pancasila, tahun 1983 ia memulai serangan pada ilmu sosial di Indonesia yang tidak mampu melahirkan teori apa pun, yang disebutnya ahistoris (PRISMA, Juni, 1983).
Jika Sistem Ekonomi Pancasila tidak jelas sosoknya (“Mubyato sendiri belum dapat merumuskan dengan tepat isinya dan hanya mampu membuat pagar-pagar batas”, tulisnya) maka sifat ahistoris ilmu sosial Indonesia itulah menurutnya yang membuat disiplin itu tidak mampu menyumbang teori penting dalam khazanah keilmuan di tanah air.
Barangkali itu sebabnya ia (bersama Sritua Arief dan Adi Sasono) getol mempromosikan gagasan radikal Teori Ketergantungan yang berasal dari studi para ahli di Amerika Latin untuk menghidupkan “kematian” ilmu sosial di Indonesia. Arief pernah menulis artikel tentang subjek ini di harian KOMPAS (2 September 1985) dengan judul yang sulit dilupakan: Teori Ketergantungan Digantung?
Apa yang nampak jelas di sini adalah kemampuannya untuk selalu “melawan arus”, ciri penting intelektual ini. Dalam riset disertasi saya kira sangat jarang sarjana Indonesia mengambil bahan diluar negaranya. Hampir semua disertasi mereka, terutama dalam disiplin ilmu sosial, mengulik masalah dalam negeri. Arief beda dan melompat jauh ke luar negaranya. Ia merambah Amerika Latin dan mungkin satu-satunya disertasi sarjana Indonesia yang menyasar negara Amerika Latin: JALAN DEMOKRATIS KE SOSIALISME, PENGALAMAN CHILI DIBAWAH ALLENDE (Sinar Harapan, 1987). Meski berasal dari disertasi membaca buku ini tidak perlu mengerutkan jidat.
Arief sangat ahli menyederhanakan hal yang ruwet. Buku ini disajikan dengan bahasa yang enak dibaca, jauh dari kesan bahasa ilmiah akademis yang kaku dan penuh istilah teknis. Dalam satu pertemuan saya pernah bertanya mengapa beberapa bukunya tipis-tipis (misalnya, Teori Pembangunan Dunia Ketiga hanya 147 halaman atau Pembagian Kerja Secara Seksual malah tidak sampai 100 halaman) padahal tema yang dibahasnya terhitung berat yang baru bisa tuntas ditelaah paling sedikit dalam 300 halaman? Ia rupanya memperhitungkan daya beli masyarakat. Bila buku terlalu tebal harganya pasti mahal dan tak terjangkau mayoritas pembaca. Benar-benar sosialis karatan.
Darwati Utieh, Wartawan Senior 
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com