Bagaimana Jokowi Bicara Fiksi sebagai Pengaburan Realitas?

Bagikan artikel ini

Malika Dwi Ana, Network Associate Global Future Institute (GFI)

Ketika krisis kepercayaan terhadap kinerja pemerintah kian menjalar serta meluas di ruang publik akibat program dan kebijakan pemerintah yang tak kunjung dapat menjawab serta tidak mampu mengantisipasi turunnya daya beli, meroketnya harga kebutuhan publik, melemahnya rupiah, memberikan solusi atas sempitnya lapangan kerja, dan lain sebagainya.

Sementara di sisi lain, di tahun politik ini, kubu petahana berpikir kalau Jokowi sangat butuh (input) bahan kampanye spektakuler guna menaikan kembali elektabilitas yang terus melorot dari waktu ke waktu akibat permasalahan bangsa tadi yang tidak tertangani secara baik. Ringkasnya kubu petahana ingin menaikan politik elektoralnya.

Selain digempur berbagai (blunder) kebijakan publik para menterinya, juga termasuk para buzzer dan penolakan warga di beberapa daerah terhadap ormas pendukungnya, lalu kemudian semakin memerosotkan popularitasnya. Untuk itu, dibutuhkan ide unik atau terobosan merusak guna membangun kembali dan memperbaiki lagi kepercayaan tersebut, meskipun dengan cara yang terkesan ‘konyol’ sekalipun. Manuver ini toh pada akhirnya kembali pada konsumen, yaitu rakyat sebagai penikmat drama sekaligus objek dramaturgi politik di negeri seterah ini.

Singkatnya, di tahun politik ini, pihak petahana butuh langkah yang out of the box demi merebut kembali simpati dan empati publik. Sebab, jika gunakan kacamata pragmatisme yang rasanya santer terasa pada kontestasi ini, pilpres itu bukan perkara soal benar atau salah, tetapi yang utama masalah kalah atau menang. Mau dengan cara apapun, segala daya dan upaya akan dikerahkan untuk menjemput kemenangan entah melalui fiksi, fiktif atau hoax serta kekonyolan sekalipun yang sejatinya jauh dari realitas sosial.

Narasi terdahulu yang dibangun soal market Pilpres 2019, bahwa pasar suara pemilìh terbagi dalam tiga golongan potensial, yaitu pemilih muslim, generasi milenial dan suara emak-emak. Kalau suara muslim sudah jelas kemana mencair. Selain akan terbagi  berdasar koalisi partai, pro ijtima ulama atau tidak, sampai strategi buzzer, dan sebagainya. Sehingga yang bakal diperebutkan nanti justru suara kaum milenial dan emak-emak. Itulah gambaran pasar suara dalam Pilpres 2019 mendatang.

Dan agaknya, trik para think tank petahana kemungkinan memilih Jokowi agar tampil langsung agar terkesan ‘sok milenial’, karena tidak mungkin peran ini dibebankan ke cawapresnya yang (konon) ulama besar. Mungkin terasa mustahil jika kyai mengendarai motor sembari jumping jumpalitan, atau juga agak terkesan tidak pas kalau juga Ma’ruf Amin, bicara soal Thanos, Avenger, atau Game of Thrones? Karena rasanya, beliau lebih suka tadarusan baca ‘kitab kuning’ ketimbang nonton Game of Thrones di siaran HBO. Bukankah demikian rutinitas ulama?

Suatu Pengaburan Realitas demi Politik Elektoral?

Sementara itu, hal-hal yang kerap Jokowi lontarkan dengan menautkan analogi seperti Avengers dan Game of Thrones baru-baru ini bisa disebut sebagai istilah demonologi politik, yakni rekayasa sistematis untuk memproduksi “sesuatu”. Sesuatu dimaksud bisa bersifat bombastis, terkesan heroik dan luar biasa, jika untuk mengangkat diri sendiri (pencitraan). Tapi bila dijalankan keluar (labeling terhadap pihak lawan) memberikan stigma yang menakutkan, mencemaskan, membahayakan rakyat, misal di pidatonya yang menyinggung soal “winter is coming“.

Namun perlu dicatat, bahwa semua esensi narasi demonologi itu sifatnya fiksi dan fiktif yang semunya tidak riil dan justru merupakan produk komodifikasi budaya Barat. Misalnya, analogi tentang karakter Thanos yang jahat dan ambisius dalam film Avengers yang hendak menghancurkan separuh populasi global, atau dengan gunakan analogi sosok Evil Winter yang akan menghancurkan dunia dengan salju, dalam serial Game of Thrones.

Pertanyaannya, kenapa Jokowi tidak mengganti Thanos dengan persoalan riil seperti melemahnya rupiah, atau sempitnya lapangan kerja, naiknya harga kebutuhan pokok, merosotnya daya beli masyarakat, dan lain sebagainya. Mengapa Jokowi tidak mengganti Evil Winter dengan istilah neoliberalisme yang memang telah mencengkeram bangsa ini hingga mengakibatkan kemiskinan tak bertepi dan IMF-World Bank adalah pihak yang melanggengkannya, atau sekularisme yang telah meluas dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat?

Dan gilirannya bisa dibaca, bahwa pidato ala Game of Thrones dalam acara IMF – World Bank di Bali kemarin adalah kelanjutan dari skenario atraksi motor dengan stuntman asal Thailand dan narasi pidato di Vietnam yang memplokamirkan diri sebagai salah satu Avengers yang akan melawan Thanos. Intinya, merebut empati kaum milenial dan emak-emak dalam Pilpres 2019.

Narasi Jokowi yang hendak mencampurkan analogi Avenger dan Game of Thrones dalam pidato-pidatonya justru memperlihatkan apa yang ada di bawah alam sadarnya. Yaitu semacam pengaburan realitas yang tengah berlangsung lewat perumpamaan yang tidak relevan. Alih-alih ingin gunakan analogi itu untuk dapati simpati, justru malah Jokowi bisa dicap sebagai sosok presiden yang tidak mengerti sistem ekonomi-politik internasional.

Mungkin akan terasa berbeda jika Jokowi bertindak seperti apa yang Sukarno lakukan. Sosok Sukarno adalah sosok yang juga menggemari karya fiksi, tapi ia memilah-memilih karya fiksi yang aktual dengan situasi nasional dan dunia. Tak heran dengan membaca karya Charles Bywater yang bertajuk The Great Pacific War-nya itu, lantas Sukarno mendapat gambaran dan sekaligus bisa bernalar mengenai prediksi masa depan Indonesia di tengah era penjajahan, sehingga dapat melakukan aksi konkrit yang progresif demi kemerdekaan Indonesia kala itu. Sampai konteks ini, jelas analogi yang digunakan oleh Jokowi mengaburkan realitas demi secerca pujian dan riuh tepuk tangan.

Pada akhirnya, ini adalah kritik. Bahwa pilpres yang tinggal enam bulan kedepan adalah masa penantian yang mengerikan. Harga mempertahankan popularitas Jokowi agar tetap menang itu adalah terpuruknya ekonomi dan melunturnya legitimasi politik Indonesia yang bisa berjangka panjang, bukan sebatas 5 tahunan. Namun terlihat aneh jika sekarang narasi yang digemborkan kubu petahana adalah Indonesia seolah baik-baik saja.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com