M. Djoko Yuwono, Wartawan Senior yang pernah jadi Redaktur Senior Pos Kota Grup
Pendahuluan
Media massa nasional selama ini lebih banyak memberitakan pembangunan Papua dari aspek fisik. Bisa dipahami, mengingat hal ini sejalan dengan tema besar yang diangkat oleh pemerintah sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2015—2019. Di luar aspek fisik, RPJMN 2015—2019 sebenarnya juga menekankan upaya peningkatan kualitas SDM dan penguasaan iptek bagi masyarakat Papua. Peningkatan kemampuan SDM dan iptek ini sejalan dengan arah dan kerangka pengembangan wilayah secara nasional, dilakukan untuk mendukung pengembangan klaster-klaster industri. Pada bagian ini, kita bisa melihat bahwa pendekatan sosio ekonomi menjadi perhatian utama pemerintah. Bagaimana pembangunan aspek sosio kulturalnya?
Pendekatan sosial kultural ini, tentu, merupakan faktor yang tak kalah pentingnya dalam mendesain pembangunan wilayah Papua. Kearifan lokal dan karakteristik unik sosial budaya yang berkembang di Tanah Papua, tentu harus dilihat sebagai modal sosial sekaligus modal kultural dan modal spritual dalam pembangunan kawasan itu.
Bagaimana pemerintah mengelola sosio kultural masyarakat Papua dalam bingkai NKRI? Jangan sampai, misalnya, kearifan lokal dan keunikan karakteristik sosial budaya mereka justru terkondisi menjadi bibit disintegrasi bangsa dan negara kita. Kita bisa melihat kasus ini bermula dari aspek bahasa, yang ke depan sangat berpotensi dijadikan alasan untuk mendukung masyarakat Papua memisahkan diri dari NKRI. Indikasi ke arah sana semakin tampak, namun media massa nasional sepertinya belum menganggapnya sebagai isu yang serius.
Bahasa dan Ancaman Disintegrasi
Sesuai dengan amanat UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005—2025, prioritas kebijakan pembangunan adalah memantapkan pembangunan secara menyeluruh berbasis sumber daya yang tersedia. Di sana, tentu saja, tercakup pula sumber daya kultural dan bahasa sebagai salah satu unsurnya, yang oleh Koentjaraningrat (1974) disebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan subordinatif. Sebagai unsur dari budaya, bahasa mesti didekati dengan sikap yang sama dengan unsur-unsur lainnya. Indonesia sebagai negara bangsa, sebagaimana galibnya suatu negara bangsa pada umumnya, tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur yang dapat mengikatnya sebagai satu kesatuan: suku bangsa atau ras, agama, dan bahasa.
Secara nasional, Indonesia memiliki 659 suku bangsa. Tetapi, suku bangsa manakah dari 659 suku bangsa itu yang dapat menjadi benang pengikat keindonesiaan? Tidak ada. Demikian halnya, agama apakah yang bisa kita jadikan perekat nasionalisme keindonesiaan? Tidak ada. Lantas, apa yang bisa menjadi perajut kebinekaan suku bangsa dan agama itu? Jawabnya: bahasa Indonesia. Artinya, bahasalah sebagai pengikat kesatuan Indonesia. Mengingat hal ini, pemanfaatan potensi kebahasaan mesti menjadi perhatian utama untuk menegakkan dan merawat kesatuan Indonesia, khususnya potensi bahasa lokal/daerah. Bahasa lokal/daerah perlu mendapat perhatian. Dengan demikian, kebijakan penanganan segala potensi bahasa harus ditempatkan pada kedudukan dan fungsi masing-masing jenis bahasa yang dirumuskan dalam UU Nomor 24 Tahun 2009. (Mahsun, 2015)
Sebagai negara bangsa yang nasionalismenya dibangun di atas fondasi bahasa, bukan negara bangsa yang nasionalismenya dibangun di atas fondasi ras/suku bangsa seperti Afrika Selatan, dan bukan pula negara bangsa yang nasionalismenya dibangun di atas fondasi agama seperti Republik Islam Iran, Indonesia perlu memaksimalkan potensi bahasa dalam memperteguh kediriannya. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka keutuhan bangsa ini menghadapi ancaman besar.
Munculnya isu kemelanesiaan, kemelayuan, dan otonomi daerah yang cenderung diidentikkan dengan otonomi bahasa daerah merupakan contoh isu keberagaman bahasa yang terkait dengan masalah kebangsaan. Itulah sebabnya, Indonesia perlu memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh bahasa, baik itu bahasa nasional dan bahasa daerah. Pemaksimalan potensi bahasa dapat menjadikan bahasa-bahasa itu sebagai media untuk memperteguh identitas keindonesiaan yang bineka tunggal ika.
Sebagai negara bangsa yang dibangun di atas fondasi nasionalisme bahasa, Indonesia mengalami “gempuran” dari bahasa pula. Berbagai isu kebahasaan yang dihubungkan dengan politik kebangsaan, seperti yang muncul di belahan Timur maupun Barat kawasan Indonesia memberikan gambaran betapa bangsa ini haruslah mengelola secara arif keberagaman bahasanya, demi keutuhan NKRI.
Tahun 1884 seorang sarjana berkebangsaan Belanda, J.L.A Brandes, melalui disertasi doktornya berjudul Bijdrage tot de Verglijkende Klankleer der Westersche Afdeeling van de Maleisch-Polynesische Taal-familie, mengelompokkan semua bahasa di Indonesia ke dalam kelompok bahasa yang sama, yaitu kelompok Melayu Polinesia (Austronesia) yang terbagi menjadi dua subkelompok: Austronesia Barat dan Austronesia Timur. Kedua subkelompok bahasa ini membelah dua wilayah Indonesia, sehingga membentuk garis yang secara linguistis dikenal sebagai garis Brandes. Wilayah garis Brandes bagian Barat mencakupi wilayah Barat mulai dari Sumatra, Jawa, Bali, sampai ke arah Timur: pulau Sumbawa bagian barat (kabupaten Sumbawa dan kabupaten Sumbawa Barat) dan ke Utara pulau Kalimantan. Wilayah garis Brandes bagian timur mencakupi: wilayah pulau Sumbawa bagian Timur, Sulawesi, NTT, Maluku, Halmahera, sampai ke Papua dan Papua Barat.
Pendapat Brandes itu didukung oleh R. Blust (1978). Hanya saja, Blust merinci kembali kelompok Austronesia Timur ke dalam dua subkelompok: Austronesia Tengah dan Austronesia Timur. Namun, intinya kedua pakar Austronesia itu tetap mengelompokkan semua bahasa yang terdapat di Indonesia ke dalam satu rumpun bahasa: rumpun Austronesia.
Pada perkembangan berikutnya, inilah “biang keladinya”, Summer Institut of Linguistic (SIL) membentuk filum tersendiri. Melalui buku yang diterbitkannya berjudul Bahasa-Bahasa di Indonesia, 2006, menyebutkan bahwa 742 bahasa yang dituturkan oleh orang-orang di Indonesia dikelompokkan menjadi dua kelompok besar: Austronesia dan non-Austronesia. Untuk kelompok non-Austronesia di dalamnya terdapat kelompok bahasa yang berpusat di Nugini, yang oleh para ahli bahasa di kawasan itu disebut Filum Trans Nugini dan Papua Barat.
Bahasa-bahasa tersebut banyak ditemukan di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat, sebagian di Maluku dan Maluku Utara, dan sebagian kecil di Nusa Tenggara Timur (khususnya NTT). Dari 269 bahasa di wilayah Papua dan Papua Barat yang masih aktif dituturkan, terdapat 53 bahasa yang disebut masuk dalam kelompok Austronesia. Sisanya masuk kelompok non-Austronesia (Filum Trans Nugini dan Papua Barat); sedangkan di Maluku dan Maluku Utara, dari 129 bahasa yang masih aktif digunakan terdapat 17 bahasa yang diklasifikasikan sebagai kelompok bahasa-bahasa Papua Barat dan satu bahasa yang diklasifikasikan sebagai bahasa Trans Nugini, sisanya termasuk kelompok Austronesia.
SIL mendasarkan pandangannya itu pada pandangan pakar-pakar sebelumnya, misalnya Wurm (1978, 1982, dan 1983) atau Voorhoeve (1988 dan 1995). Penyebutan Trans Nugini dan Papua Barat sebagai sebuah filum tersendiri dikontraskan dengan istilah Austronesia, yang oleh banyak pakar disebut kelompok bahasa yang dikategorikan sebagai rumpun. Antara kelompok yang berstatus filum dan rumpun, dalam kategori Swadesh, merupakan dua kelompok yang tidak berada dalam satu relasi kekerabatan yang lebih dekat. Oleh karena itu, kedua kategori kelompok bahasa ini berada pada rentang sejarah yang berbeda, tidak memperlihatkan keterpautan dalam satu kesamaan asal. Dalam konteks keindonesiaan dan dari segi psikologis, kondisi ini tidak dapat dijadikan modal emosional untuk memperlihatkan keterpautannya dalam satu relasi kekerabatan antarberbagai suku bangsa penutur bahasa-bahasa lokal di Indonesia. Karenanya, kondisi ini dapat menjadi titik krusial bagi upaya integrasi bangsa, lebih-lebih jika dihadapkan pada realita bahwa di wilayah yang ditengarai terdapat bahasa selain rumpun bahasa Austronesia tersebut ditemukan banyak gejolak sosial yang mengarah pada disintegrasi bangsa, seperti gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan gerakan RMS (Republik Maluku Selatan), yang sampai saat ini riak-riaknya masih terasa dalam denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia.
Berdasarkan pengamatan dan beberapa bukti kondisi sosial kekinian, pengelompokkan bahasa-bahasa di Indonesia atas rumpun besar Austronesia dan Non-Austronesia memiliki keterkaitan dengan strategi geolinguistik-politis, yaitu pemanfaatan isu keberbedaan kelompok bahasa untuk tujuan politis. Sebut saja, Gerakan Melanesia Raya (minta merdeka) di Manokwari, 14 Desember 2010, yang terjadi sebulan setelah dilangsungkan konferensi internasional dengan tema International Conference on Papuan Cultural Diversity in the Mozaic of Indonesian Cultural (Keberagaman Budaya Papua dalam Mozaik Kebudayaan Indonesia). Topik-topik makalahnya diarahkan ke tema Keberagaman Budaya Papua di dalam Konteks Kebudayaan Melanesia.
Strategi pengelompokan ulang bahasa-bahasa di Indonesia oleh SIL patut diduga memiliki kaitan dengan penggantian nama Irian menjadi Papua. Nama Irian adalah nama pemberian Bung Karno, ketika wilayah itu kembali ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi, merupakan singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland. Di mata Bung Karno, nama Irian memiliki nilai strategi geolinguistik-politis untuk memutus mata rantai keterkaitan dan perasaan bersatu secara emosional-kultural antara penduduk Irian Barat dan komunitas di bagian timur Indonesia (Papua Nugini,)serta penduduk di negara kepulaun Melanesia.
“Sekarang kaum separatis di Papua makin kencang memunculkan perang strategi bahasa dengan mengatakan bahwa bahasa yang dipakai oleh suku bangsa ras Melanesia di wilayah Indonesia Timur tidak termasuk rumpun bahasa Austronesia,” kata Kepala Bidang Strategi Kebahasaan pada Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK) di Badan Bahasa, Joni Endradi. (Singgalang, 10 Oktober 2017)
Pernyataan Joni Endradi itu mengingatkan kita pada strategi perang asimetris, perang nirmilier—yang dalam hal ini menggunakan medium bahasa—untuk menciptakan disintegrasi bangsa dan negara Indonesia. Kaum separatis Papua mendompleng pendapat ahli bahasa dari Summer Institute of Linguistic, LSM asing yang memfokuskan diri pada penelitian bahasa.
Pada Kongres Bahasa Indonesia X, Oktober 2013, Prof. Dr. Mahsun (yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Bahasa) sudah mengingatkan adanya ancaman disintegrasi bangsa melalui pengembangan isu kebahasaan, utamanya yang terkait dengan kelompok separatis di Papua. Guru besar ilmu linguistik Universitas Mataram, NTB, ini menyebutkan bahwa bahasa dijadikan alat dalam perang asimetris namun banyak anak bangsa ini—bahkan para penentu kebijakan—tidak menyadarinya. Untuk menggugurkan hasil penelitian tim dari SIL, Prof. Mahsun bahkan pernah melakukan penelitian genolinguistik dengan hasil membuktikan bahwa bahasa-bahasa yang dipergunakan oleh orang-orang Papua masih termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
Apa itu genolinguistik? Seperti disebutkan oleh Prof. Mahsun, istilah genolinguistik digunakan untuk merujuk pada suatu kerja akademik yang bersifat kolaboratif antara dua disiplin ilmu yang berbeda: disiplin ilmu linguistik dan genetika. Penelitian genolinguistik ini untuk menemukan keberpengaruhan antara gen dan penutur bahasa dalam suatu masyarakat, bahkan bahasa di setiap bangsa. Untuk penelitian itu, Mahsun sebagai ahli linguistik menggandeng Prof. Dr. dr. Mulyanto, ahli hepatika dari Universitas Mataram.
Sayang sekali, isu ini tidak mengemuka di media massa. Media massa kita lebih asyik dengan berita-berita yang “laik jual” seperti kasus saham Freeport, konflik horisontal, konflik masyarakat adat dengan aparat keamanan dan sejenisnya. Padahal, skema serangan pihak lawan telah dibuat sedemikian canggih dengan metode serangan yang tak tampak dan itu di luar perhatian kita. Tahu-tahu, nanti kita terbelalak begitu Papua benar-benar memisahkan diri dari NKRI.
PENUTUP
Indonesia sebagai negara bangsa, sebagaimana galibnya suatu negara bangsa pada umumnya, tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur yang dapat mengikatnya sebagai satu kesatuan: ras/suku bangsa, agama, dan bahasa. Pembangunan kawasan Papua yang dilakukan pada aspek fisik penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, tetapi itu akan menjadi tidak ada artinya kalau mereka kemudian memisahkan diri dari NKRI. Oleh karena itu, pembangunan nonfisik yang terkait dengan sosio kultural hendaknya juga menjadi perhatian pemerintah dan liputan pers demi terjaganya kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia yang bineka tunggal ika.
Pustaka
- Mahsun. 2010. Genolinguistik: Kolaborasi Linguistik dengan Genetika dalam Pengelompokan Bahasa dan Populasi Penuturnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Mahsun. 2015. Indonesia dalam Perspektif Politik Kebahasaan. Depok: Rajawali Pers.
- Alisyahbana, S.T. 1988. Kebudayaan sebagai Perjuangan. Jakarta: Dian Rakyat.
*) Makalah ini yang disampaikan pada Diskusi Akhir Tahun: “Peran Media Dalam Memotret Papua dari Perspektif Sosial Ekonomi dan Polkam” yang di selenggarakan Global Future Institute (GFI) dan Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI), Kamis, 28 Desember 2017