Lemming, menurut Dr Albert Pastore, adalah sejenis tikus kecil yang hidup di benua Amerika Utara.
Berdasarkan pengamatan, diketahui biasanya yang satu akan mengikuti yang lain, bahkan menuju kematian sekali pun, seperti ketika beriring-iringan itu tanp sadar menuju sungai yang tengha banjir atau ke tepi jurang yang dalam.
Jadi, Efek Tikus Lemming” berarti sebuah kecenderungan “menjadi Pak Turut” yang menurut Dr Pastore, gejala psikologi ini sekarang mulai menggejala di kalangan pengguna media massa, entah itu media cetak, elektronik, maupun online internet.
Celakanya, justru korban Efek Lemming ini melanda orang-orang terdidik dan kaum terpelajar, yang seharusnya mampu berpikir rasional dan kritis.
Menurut Pastore, gejala psikologis ini bisa melanda semua lapisan sosial-ekonomi di masyarakat.
Yang berbahaya dari gejala Efek Lemming ini, berpotensi untuk dimanipulasi untuk maksud-maksud jahat.
Efek Lemming memungkinkan seluruh segmen masyarakat kehilangan akal sehatnya untuk membuat pertimbangan dan keputusan.
Menyimak pandangan Dr Pastore ini, saya berkesimpulan bahwa orang-orang yang terkena Sindrom “Efek Lemming” ini, punya kecenderungan untuk menolak fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan baru yang disajikan, jika hal itu dirasa tidak cocok dengan lingkungan peer group mereka.
Jadi kalau kelompok peer-nya sudah punya sebuah sikap pandangan tertentu tentang suatu isu yang sedang berkembang, maka para korban sindrom “Efek Lemming” itu berusaha tetap menyelaraskan diri dengan sikap dan pandangan umum kelompok peer-nya. Meskikupun fakta-fakta baru tersebut sebenarnya merupakan pengungkapan sebuahnya kebenaran.
Kalau dipikir-pikir, dalam situasi yang penuh kebebasan dan demokratis sekarang ini, gejala psikologis Efek Lemming ini, justru melahirkan anggota masyarakat yang paradoks dengan demokrasi dan kebebasan.
Sebab manusia Lemming sejatinya tak mampu memikul tanggung-jawab atau tekanan sosial. Betul tidak? Akibatnya, justru lahir orang-orang tidak berwatak independen dan punya individualitas atau kedirian (tapi bukan individualisme atau egoisme lho).
Sebaliknya, manusia Lemming justru punya dorongan kuat untuk menyesuaikan diri dengan kelompok, terutama kelompok peer-nya.
Alhasil, manusia Lemming, pikirannya selalu tertutup, dan punya kecenderungan melawan setiap usaha yang akan mengubah keyakinan mereka yang keliru, bahkan dengan segenap kekuatan batin yang ada.
Dalam situasi yang demikian, para pengelola media yang sadar betul menguatnya Sindrom Efek Lemming, dengan mudah akan memberikan informasi dan sajian berita atas dasar kerangka pemikiran yang sudah dirancang dan direkayasa sebelumnya.
Menguatnya gejala psikologis Sindrom Efek Lemming di semua segmen masyarakat pengguna media massa, para pengelola media dengan mudah “menghipnotis” para pemirsa tv atau pembaca surat kabar, agar mempercayai atau meyakini omongan para narasumber tokoh atau pakar yang dianggap kompeten. Sehingga kebenaran yang dirancang dan direkayasa oleh media pun kemudian berhasil terbentuk dan tertanam di benak para penggua media massa sebagai penerima pesan.
Berpikir secara logis, terbuka dan bebas, saya kira merupakan langkah awal untuk melepaskan diri dari belenggu yang mengikat orang-orang yang telah menjadi Kaum Lemming. Melepaskan diri dari mentalitas Lemming.
Manusia Lemming amat rentan untuk jadi sasaran dis-informasi dan dengan mudah menelan begitu saja fakta-fakta berita yang kalau diverifikasi lebih lanjut, sebetulnya tak lebih dari dongeng atau cerita fiksi belaka.
Facebook Comments