Bangun dan Runtuhnya Sebuah Kekuasaan

Bagikan artikel ini
Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqoddimah mengatakan bahwa kekuasaan itu bisa lahir, tumbuh, berkembang dan bisa pula mati, tak lain kekuasaan itu layaknya usia manusia.
Kedaulatan politik sebuah negeri dan juga umur sebuah kerajaan atau pemerintahan dapat diketahui berdasarkan “perhitungan kefanatikan” dan loyalitas para pemimpinnya kepada Islam.
Apabila para pemimpin kerajaan tersebut memiliki militansi dan loyalitas kepada Islam yang kuat, maka daya tahan kekuasaannya akan semakin kuat dan mampu bertahan lama (meskipun telah beralih dari generasi ke generasi).
Namun sebaliknya, semakin rendah komitmen para pemimpinnya kepada (nilai-nilai) Islam, maka daya tahan kekuasaan kerajaan akan semakin rapuh.
Militansi dan komitmen  itu sendiri sangat tergantung kepada jumlah dan banyaknya para pejabat istana yang loyal kepada (nilai-nilai) Islam.
Gambaran tepat untuk mengilustrasikan hal tersebut menurut Ibnu Khaldun dapat kita lihat dari kekuasaan masa Daulah Abbasiyah.
Kelemahan yang terjadi pada suatu kerajaan akan tampak pada wilayah-wilayah bawahannya. Terlebih lagi bila kerajaan tersebut memiliki banyak kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi wilayah bagiannya, maka daerah kekuasaannya akan semakin luas dan banyak serta jauh dari pusat kekuasaan.
Setiap kelemahan yang terjadi di sebuah wilayah tentulah memerlukan waktu yang relatif lama, karena banyaknya kerajaan-kerajaan bagian. Keadaan akan semakin runyam bila setiap kerajaan bagian tersebut tidak memiliki komitmen dan militansi kepada (nilai-nilai) Islam.
Itulah sebabnya Bani Abbasiyah dapat bertahan ratusan tahun, meskipun wilayahnya sangat luas. Sebab setiap kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi bagiannya telah memiliki fanatisme kepada Islam yang sangat tinggi pula.
Perhatikan pula peristiwa yang terjadi di Afrika dan Magrib sejak Islam muncul pertama kali di Maghrib (Maroko).
Orang-orang Berber yang mendiami daerah ini sebelum masa Islam terdiri dari banyak kabilah-kabilah. Mereka tidak mampu membangun kesatuan dan dan membangun kekuasaan mereka sendiri dengan baik.
Sebab mereka diliputi oleh fanatisme kesukuan dan fanatisme kedaerahan mereka masing-masing dan bukan fanatisme kepada Islam.
Pembebasan Islam pertama ke wilayah ini dilakukan oleh Ibnu Abi Syarh. Mereka terbiasa hidup dalam pemberontakan dan murtad dari nilai-nilai Islam berulang kali bahkan melakukan kekerasan terhadap kaum Muslimin yang berada diantara mereka.
Ibnu Abi Zaid mengatakan: “Orang-orang Berber di Maghrib murtad sebanyak dua belas kali. Islam tak pernah terpatri dengan baik dalam diri mereka, kecuali pada masa pemerintahan Musa bin Nushair dan setelahnya.
Namun setelah Islam terpatri dengan baik dalam diri orang-orang Berber dimasa pemerintahan Musa bin Nushair, mereka mampu menyeberangi selat Gibaltar dan memimpin pembebasan wilayah Benua Biru Eropa yang dipimpin oleh Tharik bin Ziyad.
Rasanya mustahil pembebasan Benua Biru Eropa ini dapat terjadi bila orang-orang Berber ini masih bergelimang dengan militansi kepada kesukuan kabilah-kabilah sebagaimana ketika mereka masa jahiliyah.
Loyalitas dan militansi kepada nilai-nilai Islam ini digambarkan oleh Ibnu Khaldun seperti cahaya yang memancar ke segenap Negeri. Semakin besar wilayah kerajaan maka cahaya yang terpancar semakin jauh akan semakin meredup. Sebaliknya semakin dekat, maka cahaya yang meneranginya semakin terang.
Cahaya akan terpencar secara merata di segenap wilayah manakala setiap wilayah kecilnya juga memiliki para pemimpin dan penguasa lokal yang juga  punya ghirah kepada (nilai-nilai) Islam.
Sesungguhnya Allah Maha Menguasai atas segala makhluk Ciptaan-Nya..
Dikutip dari Muqoddimah karya Ibnu Khaldun (1332 –1406 M) yang hidup pada masa Dinasti Mamluk di Mesir.
Abu Bakar Ibnu Said, Wartawan Senior dan pengkaji Sejarah Islam. Tinggal di Solo, Jawa Tengah
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com