Biden Targetkan Iran melalui Provokasi Dunia Maya, Militer dan Hukum

Bagikan artikel ini

Pada 18 Juni 2021, rakyat Iran memilih Ebrahim Raeisi sebagai presiden Republik Islam Iran berikutnya. Raeisi adalah seorang ahli hukum konservatif yang mencalonkan diri untuk jabatan dan berjanji memerangi “kemiskinan, korupsi, penghinaan dan diskriminasi.” Dia dipandang Washington sebagai alat Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei.

Pada konferensi pers Juni lalu, Raeisi menyerukan diakhirinya sanksi AS yang dijatuhkan pada Iran oleh Donald Trump yang melanggar hukum internasional. Dia juga mengumumkan bahwa “semua pihak harus kembali ke perjanjian nuklir.” Namun, dia mencatat bahwa Iran tidak akan menerima pembatasan pada program rudal balistiknya atau dukungan untuk milisi regional. Dia juga tidak akan bertemu dengan Presiden Biden jika diberi kesempatan.

Mendapati pernyataan dari Raesi tersebut, AS cepat merespons. Pola pelecehan yang mengganggu muncul yang mencakup provokasi dunia maya, militer, dan hukum yang dilakukan dalam konteks perang ekonomi yang dilancarkan terhadap Iran.

Pada hari Selasa, 22 Juni 2021 silam, pemerintahan Biden menutup domain web Presstv, outlet berita Iran berbahasa Inggris, yang melanggar prinsip kebebasan berbicara. Sensor Presstv.com mencegah orang Barat, khususnya orang AS, yang mengunjungi situs web untuk mendapatkan informasi tentang Timur Tengah yang bertentangan dengan narasi resmi AS.

Pada hari Minggu, 27 Juni 2021, AS meluncurkan serangan udara di perbatasan Suriah dan Irak yang menargetkan “fasilitas operasional dan penyimpanan senjata milisi yang didukung Iran.” Panglima Tertinggi Biden berjanji akan bertindak “melindungi personel AS” di wilayah tersebut. Ini adalah kedua kalinya Biden memerintahkan serangan udara di Suriah, yang pertama diluncurkan pada 26 Februari tahun ini.

Pada 14 Juli 2021, Departemen Kehakiman AS mengajukan dakwaan terhadap empat warga Iran yang dituduh merencanakan penculikan Masih Alinejad, seorang jurnalis Iran yang diasingkan yang saat ini tinggal di Brooklyn, New York. Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran menyebut tuduhan itu “tidak berdasar dan konyol.” Washington menunjukkan kepedulian yang besar terhadap kesejahteraan para jurnalis yang mengkritik musuh-musuhnya tetapi memusuhi mereka, seperti Julian Assange, yang mengecam kerajaan AS.

Provokasi paling berbahaya adalah serangan udara di wilayah di mana satu percikan api dapat memicu kebakaran besar. Dengan memerintahkan serangan udara, Biden melanjutkan apa yang mejadi “warisan” dari Donald Trump. Kedua presiden itu menggambarkan tindakan militer AS sebagai tindakan “defensif.” Bagaimana pun, pengerahan pasukan AS di Suriah dan Irak adalah tindakan ilegal.

Sebagaimana diulas Donald Monaco, AS secara militer menduduki ladang minyak Suriah yang melanggar kedaulatan negara tersebut. Keberadaan militer AS bukan untuk melawan ISIS. Manun, mereka dikerahkan untuk mengacaukan pemerintah Suriah dan mencuri minyak Suriah.

Setelah AS membunuh Jenderal Iran Soleimani di bandara Baghdad, Parlemen Irak mengeluarkan resolusi untuk mengusir semua pasukan asing dari negara itu. Para pemimpin AS mengabaikan dekrit tersebut dan mempertahankan 2.500 tentaranya di Irak.

Legalitas operasi militer AS di negara lain tidak pernah dipertanyakan oleh elit politik dan pers media mereka yang menganggap AS memiliki hak untuk menguasai dunia. Doktrin ini dikenal sebagai “eksepsionalisme“.

“Milisi yang didukung Iran” yang dibom oleh pesawat tempur AS adalah milik Pasukan Mobilisasi Populer Irak yang membantu memerangi ISIS. Kata’b Hezbollah dan Kata’b Sayyid al-Shuhada adalah organisasi paramiliter Syiah yang berjuang bersama tentara Irak melawan pemberontakan ISIS.

Media AS mengklaim pasukan AS tetap berada di Irak untuk “melatih dan mendukung” militer Irak. Pelaporannya berbelit-belit dan tidak jujur. Pasukan Mobilisasi Populer Irak adalah perpanjangan tangan dari militer Irak. Dengan mengebom kekuatan-kekuatan itu, AS mengungkapkan niat tulusnya untuk mendominasi wilayah tersebut. ‘Perang melawan teror’ melawan ISIS hanyalah dalih untuk agresi militer. Militer AS tidak akan mengalahkan sisa-sisa ISIS dengan membom pasukan yang memerangi ISIS.

Untuk memahami geopolitik kebijakan luar negeri AS terhadap Iran, tiga faktor perlu dipertimbangkan. imperium, minyak dan Israel.

Pertama, kekaisaran. Tidak ada negara yang diizinkan untuk menentang penguasa imperium global AS. Nasionalisme ekonomi dan kemandirian politik tidak bisa dibiarkan oleh hegemon. Jika satu negara dapat menentang perintah Washington, negara lain akan mengikuti jejaknya. Kedaulatan nasional adalah ancaman bagi imperium.

Tujuan dari kebijakan luar negeri AS adalah untuk membuat dunia aman demi kepentingan akumulasi modal. Bank dan perusahaan AS harus mengendalikan tanah, tenaga kerja, sumber daya, pasar, mata uang, dan pemerintah dunia. Tidak ada tantangan ekonomi atau militer terhadap kekuatan AS yang dapat diterima di imperium. Sementara hal ini “dibenarkan” di Timur Tengah karena kawasan tersebut merupakan sumber energi utamanya.

Kedua, minyak. Sejak runtuhnya imperium Inggris, AS melakukan hegemoni di Asia Barat Daya. Pada akhir Perang Dunia II, kebijakan AS di Timur Tengah dipandu dengan mengasuransikan aliran minyak murah dari wilayah tersebut. Hubungan AS dengan Arab Saudi didasarkan pada minyak. Franklin Roosevelt bertemu dengan Raja Saudi Ibn Saud pada 14 Februari 1945. Roosevelt menjadwalkan pertemuan itu di atas kapal pesiar AS di Terusan Suez dalam perjalanan pulang dari Konferensi Yalta di mana dia tanpa basa-basi memberi tahu Churchill bahwa Inggris keluar dari bisnis imperium. Pada pertemuan dengan Raja Saud, Roosevelt membuat pengaturan di mana AS akan melindungi monarki Saudi untuk aliran minyak murah yang tak ada habisnya.

Penting juga untuk dicatat bahwa Ibn Saud menentang pembagian Palestina selama pertemuan tersebut, pertanda hal-hal yang akan datang ketika Arab Saudi memimpin embargo minyak OPEC terhadap AS pada tahun 1973 karena dukungan AS untuk perang Israel dengan Mesir dan Suriah. House of Saud telah lama meninggalkan perjuangan Palestina.

AS dan Arab Saudi juga menciptakan sistem petro-dolar pada tahun 1973 ketika monarki setuju untuk menjual minyak mentah dengan dolar AS. Pada tahun 1975, negara-negara OPEC mengikutinya.

Ketiga, Israil. AS tidak hanya mengusir imperium Inggris dan Prancis di Timur Tengah setelah Perang Dunia II, tetapi juga menggantikan Inggris sebagai dermawan utama Israel. Itu adalah Deklarasi Balfour Inggris tahun 1917 yang mendirikan “Tanah Air Yahudi” di Palestina. Dan AS lah yang mendorong melalui pembagian Palestina oleh PBB pada tahun 1947. AS adalah negara pertama yang memperpanjang pengakuan diplomatik negara Zionis pada tahun 1948. Hanya untuk menunjukkan siapa bos di Timur Tengah, AS menggagalkan invasi Inggris, Prancis, dan Israel ke Mesir pada tahun 1956. Sejak saat itu, penguasa imperium AS telah melancarkan serangan di wilayah tersebut.

Sementara Iran menantang AS dalam tiga hal. Iran mendirikan kedaulatan ekonomi pada tahun 1951, memiliki cadangan minyak yang besar yang dinasionalisasi dan menentang penjajahan Israel atas Palestina.

Pada bulan Maret 1951, Parlemen Iran memberlakukan undang-undang yang menasionalisasi industri minyak Iran. Tak lama kemudian, Mohammad Mossadegh terpilih sebagai Perdana Menteri Iran, posisi yang didudukinya sampai digulingkan oleh kudeta CIA pada tahun 1953. Kejahatannya? Memajukan kedaulatan ekonomi dan melakukan kontrol atas sumber daya minyak Iran.

Setelah kudeta, Shah Reza Pahlavi dikembalikan ke kekuasaan oleh AS sampai monarki tiraninya digulingkan oleh revolusi Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini pada Februari 1979.

Iran memiliki cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Setelah penggulingan Mossadegh, Shah mengembalikan keuntungan minyak ke perusahaan-perusahaan Inggris dan AS. Dia menggunakan SAVAK, polisi rahasia Iran, untuk menyiksa dan membunuh lawan dari pemerintahan otokratisnya. Berdirinya Republik Islam mengembalikan kendali minyak Iran kepada pemerintah Iran.

Perusahaan Minyak Nasional Iran mengendalikan operasi minyak dan gas nasional dan dimiliki oleh negara. China adalah konsumen utama minyak Iran, diikuti oleh Uni Eropa. Manun sektor minyak dan gas alam sangat dilumpuhkan oleh sanksi AS yang dijatuhkan setelah Trump keluar dari kesepakatan nuklir Joint Comprehensive Plan of Action nuclear (Rencana Aksi Komprehensif Bersama) yang dinegosiasikan oleh Obama.

Bagi AS dan Israel, Iran adalah jantung dari “poros perlawanan” yang mencakup Suriah, Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Palestina yang Diduduki. Mereka bergabung dengan Arab Saudi dalam upaya untuk menghancurkan poros tersebut. Perang kotor di Suriah dilancarkan untuk menggulingkan pemerintah Assad dan mengisolasi Iran. Saudi menganggap Iran sebagai bagian dari “busur Shai” yang membentang dari Teheran ke Baghdad ke Damaskus ke Beirut. Pada awal 2007, kelompok neokonservatif dalam pemerintahan Bush secara aktif mendukung pasukan Sunni yang dipimpin oleh Arab Saudi melawan pasukan Syiah yang dipimpin oleh Iran.

Perang proksi Suriah diorganisir oleh CIA. Kode operasi bernama “Timber Sycamore” telah disetujui oleh rezim Obama pada tahun 2012. Washington mempersenjatai dan melatih para jihadis yang meneror Suriah. Arab Saudi dan Qatar menyediakan dana. Israel secara konsisten menggunakan angkatan udaranya untuk mendukung para jihadis dengan mengebom Suriah. Turki bergabung dalam perang untuk menekan Kurdi di Suriah utara.

Intervensi militer Rusia Vladimir Putin pada September 2015 menggagalkan rencana tersebut dengan menyelamatkan pemerintah Assad dan mempertahankan kemerdekaan Suriah. Pejuang dari Garda Revolusi Iran, Hizbullah dan Pasukan Mobilisasi Populer Irak mendukung Tentara Arab Suriah dalam perang proksi melawan apa yang disebut Tentara Pembebasan Suriah, ISIS dan pemberontakan fundamentalis.

Yang paling penting, Israel khawatir akan pengembangan bom nuklir Iran yang akan mematahkan monopoli nuklir negara Zionis dan membatasi perilaku agresifnya. Selama kunjungan Presiden Israel Reuven Rivlin baru-baru ini, Joe Biden meyakinkan Rivlin bahwa dukungan AS untuk Israel adalah “berlapis besi” dan Iran tidak akan pernah diizinkan untuk mengembangkan senjata nuklir selama pemerintahannya. Rivlin memperingatkan Biden untuk tidak memasuki kembali perjanjian nuklir JCPOA dengan Iran karena keinginannya yang diakui, tidak pernah terbukti, untuk mengembangkan senjata nuklir. Padahal, JCPOA memastikan Iran hanya bisa mengembangkan tenaga nuklir untuk keperluan energi dan medis. Tidak ada yang pernah disebutkan tentang persediaan rahasia lebih dari 400 senjata nuklir Israel.

Terlepas dari upaya AS dan sekutunya, pemberontakan dikalahkan, Assad tetap berkuasa dan sayap Israel terpotong ketika Rusia memberi Suriah sistem pertahanan rudal S-300.

Namun, dominasi neokonservatif terkait pembentukan kebijakan luar negeri AS tetap utuh. Israel dan kelompok neokonservatif menginginkan perang dengan Iran. Mereka percaya jalan menuju penghancuran perlawanan Palestina terletak melalui Teheran. Para peneliti di Rand Corporation yang terkenal kejam, menegaskan bahwa Iran mengendalikan jaringan organisasi paramiliter yang menghadirkan ancaman bagi pasukan AS di Timur Tengah yang perlu dinetralisir.

Para pemimpin politik AS menunjukkan kebencian patologis terhadap Iran. Hillary Clinton mengancam akan “melenyapkan” Iran jika Iran menyerang Israel pada 2008. Mendiang penghasut perang John McCain, berjanji untuk “mengebom mengebom mengebom, mengebom mengebom Iran” dengan nada lagu Beach Boys ketika sebagai kandidat presiden pada 2007 silam. Donald Trump mengancam untuk “melenyapkan bagian-bagian Iran” jika menyerang “apa pun yang Amerika” pada tahun 2019.

Terpilihnya pemerintahan baru pada Juni lalu menjadi pertanda buruk bagi para penguasa imperium AS yang berusaha membuat Iran bertekuk lutut dengan melanjutkan sanksi ekonomi yang melumpuhkan. Saat ini, Iran berjanji untuk kembali bergabung dengan perjanjian nuklir JCPOA jika AS mencabut sanksi. Namun, AS tidak akan mencabut sanksi kecuali Iran menghentikan pengembangan rudal dan dukungan untuk organisasi “teroris”, yang berarti Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina yang Diduduki, Pasukan Mobilisasi Populer di Irak dan pemberontak Houthi di Yaman.

Presiden Ebrahim Raeisi akan mengambil alih kekuasaan pada Agustus ini. Dia memberikan sedikit ruang untuk kompromi. Namun, hasilnya adalah jalan buntu, yang ditandai dengan berlanjutnya perang ekonomi dan konflik intensitas rendah yang terus-menerus dengan AS dan sekutu-sekutunya.

Sebuah pertanyaan kunci perlu direnungkan di masa depan yang semakin tidak menyenangkan. Berapa lama Iran bisa bertahan dari rezim sanksi AS dan menghindari perang dengan kekuatan imperialis yang tidak akan pernah berhenti sampai menginspirasi perubahan rezim di tanah air rakyat Persia?

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com