Tim Riset Global Future Institute (GFI)
Teror bom di Hotel Marriot bukanlah yang pertama kali terjadi di Jakarta. 5 Agusutus 2003 lalu, kejadian serupa juga melanda hotel berbintang lima tersebut. Seperti juga halnya dengan teror bom Jumat 17 Juli lalu, ledakan terjadi akibat bom berdaya ledak tinggi (high explosive). Ketika itu 12 orang tewas, luka-luka 156 orang. Warga asing menjadi sasaran utama pelaku pemboman.
Pelaku dan otak pemboman sayangnya berhenti pada dua tokoh sentral Jemaah Islamiyah di Asia Tenggara, Nurdin M Top dan Dr Azahari. Lebih dari itu, urat nadi jaringan terorisme yang kabarnya berskala global tersebut masih sulit untuk diungkap. Begitupun, 3 Mei 2005, seseorang bernama Ismail alias Muhammad, Bagus Budi Pranoto, Luthfie Choidar, dan Son Hadi, berhasil didakwa menyembunyikan kedua pentolan Jemaah Islamiyah tersebut.
Namun, vonis berkisar 3 tahun penjara terhadap Ismail Cs karena memberi fasilitas dan kemudahan kepada M Top dan Azahari, tidak dengan sendirinya berhasil membuka jaringan konspirasi di tingkat yang lebih tinggi. Sehingga gagal untuk menjawab satu isu sentral dari kejadian ini: Benarkah ini murni aksi teror atau merupakan operasi intelijen bermondus teror. Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan krusial tersebut.
Bahkan ketika aparat kepolisian menangkap dan mengadili Amir Mejelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir dalam kasus bom Mariot I, esensi di balik kasus ini bukannnya semakin menemukan titik terang.
Selintas Tentang Teori State-Sponsored Terrorism
Webster Griffin Tarpley, bikin buku bagus soal modus operandi terorisme menyusul kasus peledakan di World Trade Center dan gedung Departemen Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon) 11 September 2001. Menurut Tarpley, dalam suatu operasi intelijen bermodus teror, suatu jaringan kelompok politik tertentu justru yang melalkukan suatu penetrasi dan penyusupan ke dalam tubuh badan intelijen resmi negara seperti CIA dan FBI. Sedangkan para pelaku pengeboman yang secara terbuka mengklaim bertanggungjawab dalam aksi teror tersebut, justru hanya pion dari sebuah permainan politik tingkat tinggi.
Nah, para pemain kunci dari jaringan kekuatan politik yang melakukan penetrasi dan penyusupan ke badan-badan intelijen resmi maupun lembaga-lembaga pemerintahan resmi lainnya, adalah oknum-aknum pejabat yang memegang jabatan tinggi di pemerintahan Gedung Putih.
Inilah yang oleh Tarpley disebut sebagai Mole. Sedangkan pelaku lapangan seperti Osama bin Laden atau al Zawahiri, disebut sebagai patsy.
Mole adalah orang yang disusupkan ke dalam badan intelijen agar bisa mengatur dari dalam suatu operasi intelijen yang tujuannya bukan menggagalkan suatu aksi teror dari kelompok teroris, melainkan justru membantu dan memfasilitasi terjadinya suatu aksi teror namun demi kepentingan politik pemerintahan atau rejim yang sedang berkuasa.
Dalam kasus pengemboman WTC dan Pentagon 2001 lalu, Wakil Presiden Dick Cheney disinyalir merupakan salah seorang pemain kunci kelompok Neo Konservatif di Amerika dan Wakil Presiden yang jaringan pendukungnya telah disusupkan ke sebuah badan intelijen sohor Amerika bernama National Security Agency(NSA). Menurut berbagai cerita, NSA ini konon lebih canggih dan lebih berpengaruh dibandingkan dengan CIA yang selama ini dikenal oleh dunia internasional.
Selain NSA, jaringan kelompok Neo-Kon dari Dick Cheney ini juga disusupkan ke Federal Emergency Management Agency, juga sebuah badan intelijen yang cukup strategis berkaitan dengan keamanan nasional Amerika.
Paul Wolfowitz, Wakil Menteri Pertahanan Amerika urusan perencanaan pertahanan dan yang pernah menjadi Duta Besar Amerika di Indonesia pada 1980-an, disinyalir oleh Tarpley sebagai mole yang disusupkan CIA dan Departemen Kehakiman Amerika. Dengan demikian, Wolfowitz berhasil mengendalikan FBI yang berada dalam kendali Departemen Kehakiman dan CIA, dua badan intelijen paling penting dalam urusan operas kontra teror, meski kedua badan tersebut seringkali bersaing secara profesional.
Percaya tidak percaya, menjelang terjadinya tragedi WTC dan Pentagon, CIA dan FBI seperti mati kutu mengantisipasi dan mencegah terjadinya aksi terorisme berskala luas tersebut. Mungkinkah ini gara-gara ulah jaringan Neo Kon Wolfowitz di CIA dan FBI telah mematikan kewaspadaan para agen intelijennya sehingga membiarkan saja terjadinya aksi teror Osama bin Laden dan Al Qaeda?
Di Inggris, bahkan mole yang menyusup di badan intelijen Inggris M16 berikut badan intelijen militernya, langsung dari jaringan Perdana Menteri Tony Blair. Bahkan informasi mengenai adanya senjata pemusnah massal yang dimiliki Saddam Hussein dari Irak, ternyat berasal dari intelijen Inggris, dan oleh CIA kemudian informasi ini dimakan mentah-mentah. Nyatanya, informasi tersebut terbukti hanya rekaan Inggris belaka. Namun nasi sudah jadi bubur. Amerika dan Inggris sudah terlanjur menyerbu secara militer ke Irak.
Inilah suatu bukti nyata diterapkannya the state-sponsored terrorism. Terorisme yang difasilitasi secara diam-diam oleh pemerintahan yang sedang berkuasa. Tujuannya bisa macam-macam. Bisa untuk menyingkirkan saingan bisnis atau politik. Bisa untuk memberikan sarana alamiah bagi suatu rejim untuk melakukan suatu pengawasan dan kontrol ketat terhadap berbagai kegiatan sosial-budaya di suatu negara dengan dalih untuk melindungi keamanan nasional. Dan yang tak kalah penting, untuk memprovokasi terjadinya suatu perang antar negara. Seperti yang terbukti dengan serangan Amerika ke Afghanistan dan Irak dengan dalih kedua negara tersebut telah menjadi basis kelompok teroris yang telah mengebom WTC dan Pentagon.
Bagaimana Teror Bom di Indonesia
Marilah kita kembali ke pernyataan Presiden SBY menyusul tragedi Jumat berdarah tersebut. Kita mengapresiasi kegusaran SBY bahwa kejadian ini telah merusak suasana tentram dan kondusif di tanah air. Namun ketika mulai menyinggun mengenai kaitan aksi teror dengan hasil pemilihan umum, SBY nampaknya mulai bernada insinuatif.
Dengan mengungkap adanya data intelijen mengenai rencana pembunuhan dirinya maupun serangannya terhadap para pihak yang mewacanakan perlunya revolusi, nampaknya SBY sudah mulai mengelola isu terorisme ke dalam suatu jalin cerita yang yang kehilangan benar merahnya.
Seharusnya SBY menjawab pertanyaan sentral dari temuannya itu, apakah ini adalah hasil penyusupan aparat intelijen BIN maupun unit-unit intelijen lainnya, atau jangan-jangan ini adalah bagian dari skema operasi intelijen yang dilancarkan jaringan kelompoknnya sendiri di luar kaitannya dengan BIN, BAIS, maupun intelijen-intelijen taktis lannya.
Sehingga, ketika harus menjawab di balik aksi teror Hotel Marriot II, SBY seharusnya menjawab apakah aksi Marriot merupakan gerakan kontra intelijen di dalam tubuh badan-badan intelijen resmi yang bermaksud menyabotase dirinya sebagai kepala pemerintahan dan negara, atau justru aksi teror Marriot dikondisikan oleh adanya penyusupan dan penetrasi jaringan klandestin dirinya ke dalam tubuh badan-badan intelijen resmi tersebut, sehingga untuk kali ini aksi teror berhasil lolos dari jangkauan radar pengawasan intelijen pemerintah baik di BIN, kepolisian maupun unit-unit intelijen taktis lainnya.
Pada titik ini, pidato SBY sama sekali tidak memberi pencerahan untuk memetakan atau setidaknya memberi inspirasi siapa sebenarnya dalang di balik aksi teror biadab di Hotel Marriot maupun Ritz Carlton Jumat lalu.
Bahkan karena absurdnya insinuasi yang dilakukan SBY, publik secara langsung atau tidak langsung, akan tergiring pada kecurigaan jangan-jangan dua calon presiden saingan SBY ikut terlibat dalam memfasiltiasi aksi teror tersebut. Maklum, dua calon wakil presiden Wiranto dan Prabowo, merupakan dua jenderal yang selama ini menjadi sasaran tembak berbagai kalangan aktivis Hak-hak asasi manusia maupun pro demokrasi akibat sepak-terjangnya selaku petinggi militer di era pemerintahan Suharto yang diknela otoriter itu.
8
Namun Prabowo nampaknya cukup cerdas untuk tidak terjebak dalam sikap defensif atau berbalas serang terhadap SBY. Justru Prabowo menawarkan bantuan jika agenda utamanya adalah pemberantasan terorisme.
Kalau Prabowo memang serius dengan tawarannya, mungkin ada bagusnya juga bekerjasa sama dengan SBY. Siapa tahu, memang ada beberapa jaringan kelompok yang memang mendalangi aksi teror di Ritz Carlton dan Marriot tersebut. Dan dalang dari itu semua, dilakukan oleh suatu faksi di militer yang berada di luar kendali SBY, Prabowo maupun Wiranto. Atau jangan-jangan memang salah satu dari ketiga jenderal tersebut.
Yang jelas, isu sentral yang mendesak untuk dijawab adalah, ini murni aksi teror yang dilakukan oleh kelompok tertentu berdasarkan ideologi maupun motivasi politik, atau ini merupakan state-sponsored terrorism yang kunci terjadinya aksi dikarenakan adanyan penyusupan jaringan intelijen klik di tubuh pemerintahan sehingga Badan Intelijen sekaliber BIN telah dimandulkan di saat harus mengantisipasi terjadinya aksi teror seperti di Marriot dan Carlton Jumat lalu.